Selamat dari Tsunami Flores dengan Perahu Motor (2)
Ketika peringatan tsunami berkumandang, sejumlah warga kampung Wuring tidak berlari menjauhi pesisir. Mereka malah naik perahu motor yang sandar di belakang rumah mereka. Ada lansia dan bayi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Setelah menyantap nasi kuning tanpa ikan itu, saya bergegas menuju Kampung Wuring. Kabarnya, sekitar 700 orang dari kampung itu mengungsi akibat gempa berpotensi tsunami dengan magnitudo 7,4 di Laut Flores pada Selasa 14 Desember 2021. Wuring terletak di pesisir Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, berhadapan dengan Laut Flores.
Kamis (16/12/2021) pagi itu, saya menyusuri perkampungan Wuring yang padat. Lorong utama di tengah kampung hanya bisa dilewati satu mobil. Perkampungan itu dulunya rumah-rumah panggung yang tiangnya ditancapkan di laut. Perlahan warga menimbun tanah di kaki tiang sehingga terbentuk daratan yang menjorok ke tengah laut sekitar 300 meter dari darat.
Rumah-rumah terus dibangun ke tengah laut. Bagian pinggir permukiman yang diapit air laut masih berbentuk panggung, sedangkan rumah di bagian tengah yang berada di atas tanah, rata-rata sudah dirombak dengan konstruksi pondasi beton. Konstruksi rumah warga yang dulu mengandalkan batang kayu mangrove sebagai tiangnya, sebagian diubah beton. Mangrove di pesisir sudah habis tanpa bersisa.
Padahal, mangrove dapat berfungsi meredam tsunami. Di banyak tempat yang pernah dilanda tsunami, wilayah yang tidak terdampak parah adalah yang di pesisirnya berdiri rapat hutan mangrove. Secara alamiah, fungsi mangrove adalah sabuk hijau pelindung daratan dari terjangan gelombang dan abrasi.
Laju permukiman membuat Pelabuhan Wuring yang sebelumnya berada di tengah laut pun disalip deretan perumahan. Pelabuhan terimpit di tengah permukiman. Di pelabuhan, saya bertemu awak kapal-kapal phinisi yang membawa beras dari Sulawesi Selatan. Mereka mengeluhkan pendangkalan pesisir. Setiap kali hendak merapat ke pelabuhan, mereka menghitung waktu pasang agar kapal tidak kandas.
Saat menyusuri perkampungan, tiba-tiba sebuah truk polisi tiba di gerbang kampung. Truk membawa ratusan pengungsi, kebanyakan lanjut usia, para ibu dan anak-anak. Mereka baru saja kembali dari tempat pengungsian. Mereka mau kembali setelah diyakinkan pemerintah sempat bahwa gempa sudah reda.
Namun, raut wajah mereka masih menunjukkan ketakutan. Mereka penyintas gempa dan tsunami tahun 1992. Peristiwa Sabtu siang tanggal 12 Desember kala itu masih menghantui. Mereka pun menghubungkan dengan gempa kali ini yang datang pada Desember. Rasa trauma mereka bangkit.
Ketika gempa 1992, Wuring menjadi lokasi di Maumere yang terdampak paling parah. Permukiman itu rata dengan tanah. Gelombang tsunami akibat gempa bermagnitudo 7,5 menyapu Wuring. Pusat gempa saat itu hanya berjarak sekitar 35 kilometer dari Wuring.
Kamsina (65), penyintas tsunami 1992 menuturkan, dua anaknya meninggal terseret tsunami. Ia selamat setelah meraih sebuah batang pohon yang tertahan di akar mangrove. Ia masih ketakutan sehingga ikut mengungsi. Ia pun menyadari, kampung Wuring yang kembali ditempati itu berisiko terdampak jika terjadi tsunami.
Saat gempa 2021 yang diikuti peringatan tsunami, permukaan air di Wuring sempat naik beberapa sentimeter saja. Kamsina berusaha lari sebelum digendong beberapa pria. Belum lagi kondisi permukiman padat yang menyulitkan evakuasi. Kendaraan macet. Banyak warga lari meninggalkan kendaraan. Dulu, pemerintah sempat merelokasi warga, tetapi mereka kembali lagi ke sana.
Naik perahu
Saya terus berjalan hingga ke ujung kampung yang semakin jauh ke tengah laut. Di sana, anak-anak bermain bola dan layang-layang. Para orangtua beraktivitas seperti biasa. Tak tampak raut wajah ketakutan. Ini berbeda dengan warga di gerbang kampung yang justru punya peluang selamat lebih tinggi jika terjadi tsunami. Mereka lebih dekat ke darat.
Saya mendapati Mustamin (45) yang bersama temannya merangkai besi untuk tiang rumah. Di dalam rumah panggung yang berdiri di atas air itu tampak beberapa perempuan lanjut usia dan bayi. Mustamin menuturkan, pada saat gempa bermagnitudo 7,4 pada 14 Desember 2021 itu, mereka tidak berlari ke darat.
Mereka malah mencari perlindungan ke atas perahu motor yang berlabuh di samping rumah. Setiap rumah memiliki perahu motor. Orang tua, perempuan, dan anak-anak dinaikan ke perahu motor. Cara penyelamatan diri seperti ini berdasarkan pada pengalaman tsunami sebelumnya. Mustamin juga penyintas bencana itu.
Pada Sabtu 12 Desember 1992 siang, gempa bermagnitudo 7,5 kemudian diikuti gelombang tsunami bergulung dengan kencang dari Laut Flores menuju pesisir Maumare. Mustamin bersama keluarga naik ke atas sebuah perahu motor yang tengah berlabuh di dekat tiang rumah panggung mereka.
Perahu motor dimaksud rata-rata berukuran kecil. Ukuran paling besar itu panjangnya sekitar 6 meter dan tidak lebih dari 1,5 meter. Mesin pendorongnya diesel berkekuatan 10 tenaga kuda untuk memutar propeler. Perahu motor itu setiap hari mereka gunakan mencari ikan. Wuring merupakan kampung nelayan di Maumere.
Secepatnya mesin perahu dihidupkan, haluan diarahkan menghadap datangnya gelombang raksasa itu. Perahu motor terus melaju ke tengah laut "menjemput" tsunami. "Waktu gelombang semakin dekat, kami anak-anak diminta tutup mata dulu. Tiba-tiba saja perahu motor kami sudah terangkat. Kami di tengah laut sekitar tiga jam sampai air laut normal lagi, " tuturnya.
Saat itu, hampir semua warga Wuring yang naik ke atas perahu selamat dari gelombang tsunami, sedangkan warga yang berlari ke darat terseret air dan tertimpa bangunan. Ada pula yang terperosok ke dalam lubang tanah yang terbelah akibat gempa.
Memang, para ahli mengajurkan bahwa cara menyelamatkan diri pada saat tsunami adalah menjauhi pesisir. Namun, cara yang dilakukan Mustamin dan masyarakat sekitar ini bagi mereka adalah yang terbaik. "Kami tahu bagaimana caranya menghadapi gelombang karena hidup kami di laut," kata pria asal Suku Bajo itu.