Teluk Maumere yang sepi mengisyaratkan warga di pesisir itu tengah didera ketakutan akan gempa dan tsunami. Pengalaman buruk masa lalu itu mendadak hadir.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Kamis (16/12/2021), pesawat baling-baling yang terbang dari Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur, memasuki Pulau Flores dari arah selatan. Pesawat yang saya tumpangi itu terbang rendah setelah pilot menurunkan ketinggian jelajah. Kurang dari tujuh menit, pesawat sudah melewati rentang terpendek pulau seluas 13.540 kilometer persegi itu, kemudian berputar balik.
Pilot mengarahkan moncong pesawat menuju kota kecil di sisi utara Flores, namanya Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. Flores memanjang dari timur ke barat sekitar 350 kilometer dalam tarikan garis lurus. Di pulau itu terdapat delapan kabupaten, jumlah penduduknya lebih kurang 2 juta jiwa. Lokasi ibu kota kabupaten itu di pantai utara dan selatan Flores.
Sekilas dari udara, kota itu tumbuh di atas dataran rendah, rata, dan nyaris tanpa bukit. Sebagian perumahan penduduk dan pusat ekonomi berjejer sepanjang bibir pantai yang berbentuk teluk. Ujung landasan Bandar Udara Frans Seda yang didarati pesawat berjarak sekitar 200 meter dari laut. Ternyata nama Maumere tak lepas dari identitas kota itu. Dalam bahasa lokal ma'u berarti pantai, sedangkan mere berarti luas.
Perairan di hadapan Maumere pagi itu teduh, tak bergelombang. Konon katanya, terumbu karang di Teluk Maumere eksotis sebagaimana kesaksian para pencinta alam bawah laut yang biasa berburu pesona di sana. Kesaksian mereka itu saya peroleh dari unggahan beberapa akun media sosial, juga dikisahkan dalam sejumlah reportase jurnalistik.
Pesona Teluk Maumere tak terbantahkan. Tahun 2017, Teluk Maumere meraih juara pertama kategori tempat menyelam paling populer dalam Anugerah Pesona Indonesia. Dua tahun kemudian, pada Juni 2019, Emir Qatar Syeikh Tamim bin Hamad al-Thani melewati malam dengan kapal pesiar mewah yang berlabuh di atas teluk itu.
Namun, dari jendela pesawat pagi itu saya melihat tak banyak perahu motor yang lalu lalang di teluk. Perahu dari sepanjang garis pantai mulai Waioti hingga Wuring ditambatkan di pinggir pantai. Padahal, setiap pagi perahu nelayan biasanya pulang dari Laut Flores membawa tangkapan. Laut Flores yang kaya akan potensi ikan menjadi ladang penghidupan nelayan.
Seorang ahli ikan tuna yang pernah saya temui di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, pada 2018, memuji kualitas tuna dan keberagaman biota laut di Laut Flores. Dikatakan, Maumere menjadi titik pendaratan ikan tuna terbesar di utara Flores. Amerika Serikat beberapa kali mengimpor tuna dari Laut Flores.
Selain untuk ekspor, ikan dari Maumere dijual ke daerah lain di Flores, termasuk untuk menopang permintaan ikan dari destinasi wisata superpremium Labuan Bajo, sekitar 518 kilometer arah barat Maumere. Maumere selalu kelimpahan ikan. Warga setempat menuturkan, sepanjang hari, di sejumlah ruas jalan berjejer penjual ikan. Warga tak harus datang ke pasar ikan.
Namun, pagi ini tidak kelihatan penjual ikan. Sekitar pukul 06.00 sebelum saya tiba di kota itu, kata Minggus (47), sopir yang mengantar saya, hanya ada 1 penjual di sekitar Waioti. Tidak sampai 15 menit, jualannya langsung ludes. Ikan yang dijual pun hanya pelagis kecil yang dijaring di pesisir. Bukan ikan pelagis besar atau ikan karang yang dipancing di tengah laut yang jauh.
Ada apa ini? Saya bertanya kepada Minggus.
Rasa penasaran itu terjawab di sebuah warung nasi kuning. Penjual makanan menyodorkan nasi kuning dengan lauk telur goreng bercampur mi. ”Mohon maaf, untuk sementara nasi kuning tidak pakai ikan. Nelayan takut melaut jadi stok ikan habis,” kata Novi, penjual makanan di jalan lintas Maumere-Manggepanda.
Ternyata isu bahwa akan terjadi gempa besar dan tsunami tengah meneror warga di kota berpenduduk sekitar 80.000 jiwa itu. Nelayan tidak berani melaut. Warga yang tinggal di pesisir menjauh. Mereka mencari tempat yang berada ketinggian. Banyak pula yang tidur di luar rumah. Mereka siaga berlari jika terjadi gempa besar.
Dua hari sebelumnya, Selasa (14/12/2021), warga Maumere dikagetkan gempa bermagnitudo 7,4. BMKG melaporkan, episenter gempa tektonik itu berada pada koordinat 7,59 Lintang Selatan dan 122,24 Bujur Timur dengan kedalaman 10 kilometer di bawah permukaan laut.
Titik gempa sekitar 150 kilometer arah timur laut Maumere. BMKG sempat mengeluarkan peringatan dini tsunami yang berpusat di Laut Flores. Warga diminta menjauh dari pesisir. Benar saja, gempa menyebabkan permukaan air laut naik di pesisir Kampung Wuring, Maumere.
Tak ada korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat gempa tersebut. Seorang warga dari Kampung Kabor dilaporkan meninggal akibat terjatuh saat melarikan diri. Korban itu memiliki riwayat penyakit jantung. Secara umum, evakuasi mandiri oleh warga berjalan dengan baik.
Gempa itu mengingatkan kembali warga Maumere akan gempa bermagnitudo 7,5 yang diikuti tsunami pada 12 Desember 1992. Saat itu, semua pesisir Maumere hancur. Pulau-pulau kecil yang berdiri di hadapan Maumere juga terdampak. Pulau Babi, misalnya, terdampak paling parah. Korban meninggal saat itu lebih dari 2.000 orang.
Di tengah situasi trauma akan bencana masa lalu itu, masih banyak warga berusaha menguatkan diri. Mereka tetap beraktivitas seperti biasa, berkumpul dan berdoa agar dijauhkan dari bahaya tersebut. Mereka yakin, kota yang pernah dikunjungi pemimpin umat Katolik seluruh dunia, yakni Paus Yohanes Paulus II, senantiasa dilindungi Tuhan.