Polda Jatim Turunkan Propam Selidiki Kasus Penganiayaan Warga Banyuwangi
Penganiayaan itu terjadi di lahan yang disengketan warga dengan perusahaan perkebunan. Hingga Sabtu (15/1/2022), warga masih ketakutan.
Oleh
SIWI YUNITA /AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Polda Jatim menurunkan tim Propam untuk menyelidiki dugaan kasus penganiayaan yang dilakukan serombongan polisi terhadap seorang mahasiswa dan tiga warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Penganiayaan itu terjadi di lahan yang disengketakan warga dengan perusahaan perkebunan. Hingga Sabtu (15/1/2022) warga masih khawatir kejadian berulang.
Tim Propam Jatim turun sejak Jumat (14/1/2022) ke Banyuwangi. ”Propam Polda Jatim sudah turun ke Banyuwangi untuk melakukan penyelidikan,” kata Kepala Bidang Humas Polda Jatim Kombes Gatot Repli Handoko saat dihubungi dari Malang.
Kasus penganiayaan ini mencuat setelah warga melaporkan kasus ini ke LBH Surabaya dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur. Berdasarkan informasi dari LBH Surabaya dan Walhi Jatim, peristiwa ini bermula dari masuknya sekitar 15 anggota polisi dengan dua mobil di lahan konflik Desa Pakel pada Jumat (14/1/2021) pukul 00.45. Lahan itu selama ini masih menjadi sengketa antara warga Pakel dan PT BSMS, perusahaan di bidang perkebunan dan dagang.
Rombongan polisi yang disertai dengan petugas satpam perusahaan PT BSMS bertemu dengan tiga warga, yakni FZ (19) HR (30), WL (43), dan satu mahasiswa pendamping, yakni ES (21) yang saat itu juga berjaga-jaga di lahan sengketa.
Namun, mereka tak bisa menunjukkan, hanya membaca lewat telepon genggam (Utsman).
Warga pun menanyakan maksud dan tujuan dari rombongan polisi dan petugas keamanan masuk ke wilayah sengketa pada dini hari. Namun sebelum warga mendapatkan jawaban jelas, mereka dipukul, dihajar, diinjak, bahkan dipukul dengan gagang senjata api hingga kepala salah satu warga bocor.
Polisi bahkan sempat mengancam akan menembak mereka. Warga berupaya kabur, tetapi dikejar. Dua orang di antaranya ditangkap dan dimasukkan ke dalam mobil berikut sepeda yang mereka kendarai.
Peristiwa itu berlanjut dengan pencegatan mobil polisi oleh warga beramai-ramai di pintu keluar desa. Dua warga yang sebelumnya ditangkap polisi pun dilepas. Warga yang datang beramai-ramai pun menanyai surat tugas dari polisi yang menangkap rekan mereka. Mereka juga menanyakan maksud dan tujuan datang ke lahan sengketa bersama dengan sekuriti perusahaan PT BSMS.
”Namun mereka tak bisa menunjukkan, hanya membaca lewat telepon genggam,” kata Utsman, pendamping warga dari Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur.
Kepala Polres Banyuwangi Ajun Komisaris Besar Nasrun Pasaribu dalam rekaman video yang dikirim Humas Polda Jatim menyatakan, fakta yang sebenarnya adalah timnya berpatroli. Secara tiba-tiba di lokasi perkebunan tersebut dihadang beberapa pengendara motor dan warga. Mereka berhadap-hadapan dan berkomunikasi. Komunikasi dilakukan secara humanis.
”Kemudian kami juga dilakukan penghadangan pada anak buah kami yang sedang berpatroli sehingga setelah ada komunikasi dengan baik akhirnya kami bisa kembali ke wilayah Polsek Licin,” katanya.
Mengenai adanya penganiayaan, menurut Nasrun, jika memang benar petugas kepolisian melakukannya ia akan menegakkan hukum. Begitu pula warga jika ada yang melakukan tindak pidana, hukum juga akan ditegakkan.
Puncak Konflik
Peristiwa itu merupakan puncak dari konflik lahan antara warga dan PT BSMS. Terakhir Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara menyatakan tidak menerima gugatan PT BSMS terhadap kepala Desa Pakel, Banyuwangi, pada Senin (10/1/2022). Pengadilan juga membebankan biaya perkara kepada PT BSMS Rp 8.398.000.
PT BSMS menggugat Kepala Desa Pakel atas adanya surat keterangan Kades Pakel dengan nomor 593/315/429.422.06/2018. Surat itu di antaranya berisi keterangan tentang adanya ratusan hektar tanah di wilayah administrasi Pemerintah Desa Pakel yang telah lama dikuasai oleh PT Bumi Sari.
LBH Surabaya mencatat pada 24 September 2020 warga pakel menduduki kembali lahan yang diambil PT BSMS. Dua tahun terakhir, LBH Surabaya juga mencatat ada 13 warga pakel harus bolak-balik ke dipanggil ke Polres Banyuwangi.
Konflik tanah di desa itu telah berlangsung bertahun-tahun, bahkan sejak zaman pemerintahan Belanda. Warga yang telah turun-temurun menggarap lahan mengklaim memiliki surat izin penggarapan dari Pemerintah Belanda dengan bukti Akta 129 yang terbit pada 1925.
Luasan yang disebut sekitar 4.000 bahu atau 3.000 hektar. Namun tahun 1929 Jawatan Kehutanan Belanda turut mengklaim tanah mereka. Konflik ini berlanjut hingga Indonesia merdeka melawan Perusahaan Jawatan yang saat itu telah beralih ke Pemerintah Indonesia.
Perlawanan warga sempat surut pada tahun 1965 karena isu gestapu. Tanah pun sempat dikelola perusahaan swasta. Pada tahun 2018, warga mengirim surat ke Badan Pertanahan Nasional, dan didapati bahwa tanah sengketa bukan tanah HGU. Namun muncul PT BSMS di tanah itu. Warga pun menduduki kembali tanah itu pada tahun 2020. Sejak saat itu, konflik meruncing dan melibatkan pula aparat keamanan.
Maryati (24), ibu rumah tangga di Pakel, mengatakan, selama konflik berlangsung, kondisi desanya tak pernah tenang. Tanaman warga sering dirusak tanpa ada yang tahu perusaknya. Sering kali dipanggil polisi. ”Saya sampai takut lihat polisi karena suasananya tegang, hingga kini pun saya masih takut, apalagi ada kejadian Jumat lalu,” ujarnya saat dihubungi dari Malang.
Ibu satu anak itu selama ini menggarap lahan yang diturunkan oleh keluarganya. Lahan itu ia tanami jagung dengan hasil rata-rata Rp 700.000 sekali panen. Hasil penjualan jagung itu dipakai untuk menghidupi keluarganya sehari-hari.