Santriwati di Magelang Diperkosa Bergiliran, Salah Satu Pelaku Teman Dekat
Seorang santri wanita diperkosa tiga pelaku secara bergiliran di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Salah seorang pelaku adalah teman dekat korban dan pelaku lain, temannya yang masih di bawah umur.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — ADP (19), seorang santriwati dari sebuah pondok pesantren di Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, diperkosa oleh tiga pelaku, PA (21), NI (25), dan N (15) di Desa Wonoroto, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang. Aksi bejat ini dilakukan tiga pelaku secara bergiliran selama tiga hari, mulai Minggu (2/1/2022) hingga Rabu (5/1/2022). Ketiganya sudah ditangkap aparat polisi.
”Selama tiga hari tersebut, pemerkosaan terjadi saat pelaku dan korban sama-sama berada dalam kondisi mabuk,” ujar Kepala Kepolisian Resor (Polres) Magelang Ajun Komisaris Besar Sajarod Zakun, Jumat (14/1/2022).
Dalam aksi penangkapan pelaku, polisi menyita sejumlah barang bukti berupa satu botol minuman keras merek Vodka Mansion House yang sudah dalam kondisi kosong, satu gelas, tali rafia, telepon selular, serta sejumlah pakaian korban dan pelaku.
PA diketahui sebagai teman dekat korban, Sementara NI, yang rumahnya menjadi lokasi pemerkosaan, adalah teman PA. Adapun N yang masih di bawah umur, baru datang ke rumah NI, pada Senin (3/1/2022). Setelah melihat aksi dua pelaku lain, dia pun ikut terlibat memperkosa korban.
Atas kejadian ini, tiga pelaku dinyatakan melanggar Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. Adapun, untuk pelaku N, akan ada perlakuan khusus sesuai Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kejadian pemerkosaan ini bermula saat korban bertemu dengan PA pada Minggu (2/1/2022) di sekitar Jalan Raya Kecamatan Bandongan. Mereka sebelumnya sudah membuat janji. Pada Minggu siang, sekitar pukul 12.00, pelaku mengajak korban pergi ke rumah NI untuk bermalam di sana.
Sesampai di lokasi, ADP dicekoki minuman keras berkali-kali dan dibiarkan hingga tertidur. Pada Senin (3/1/2022), barulah rudapaksa dimulai. Bermula dari NI, pemerkosaan kemudian juga dilakukan oleh PA. Saat melakukan aksinya, baik NI dan PA, terus-terusan mengancam. Mereka mengatakan akan memukul dan membunuh korban jika ADP menolak disetubuhi.
Pada Senin sekitar pukul 19.30, N kebetulan datang berkunjung ke rumah NI. Ketika itu, dia pun sempat melihat aksi bejat rekannya. ”Melihat aksi tersebut, pelaku yang masih di bawah umur kemudian justru ingin ikut terlibat memperkosa,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Magelang Ajun Komisaris M Alfan Armin.
Pelaku N kemudian justru membantu melancarkan aksi pemerkosaan dengan mengikat tangan korban dengan tali rafia. Pemerkosaan dilakukan bergantian, setiap pelaku ada yang melakukan persetubuhan tiga kali hingga enam kali. Selama melakukan aksi tersebut, pelaku terus minum minuman keras.
Alfan mengatakan, NI sebenarnya juga tinggal bersama dengan ayah dan adiknya. Namun, kejadian pemerkosaan ini sama sekali tidak diketahui oleh keluarga. ”NI sering kedatangan tamu. Mereka menganggap korban dan pelaku PA adalah teman yang biasa sekadar datang dan nongkrong di kamar NI,” ujarnya.
Keluarga dan pihak pondok pesantren yang merasa kehilangan ADP kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Keluarga ADP juga mencoba menghubungi keluarga PA, di Desa Pasangsari, Kecamatan Windusari, dan meminta tolong perangkat desa setempat untuk ikut mencari serta menghubungi PA.
Ketika informasi hilangnya korban bersama PA sudah tersebar luas hingga ke desa sekitar, warga kemudian menemukan ADP bersama pelaku PA dan N di Desa Wonoroto, Kecamatan Windusari. Kala itu, mereka bertiga bertujuan pergi ke rumah salah seorang rekan PA, di dekat rumah NI.
Warga yang melihat korban bersama pelaku langsung melaporkan keberadaan mereka ke polisi. Salah seorang pelaku, PA, mengaku dirinya teman dekat korban. Kepada polisi, dia mengaku menyesal karena sebenarnya tidak tega melakukan perbuatan tersebut. ”Perbuatan tersebut saya lakukan dalam kondisi tidak sadar karena mabuk,” ujarnya.
Direktur Rifka Annisa’s Women’s Crisis Center Defirentia One Muharomah mengatakan, kekerasan seksual sebenarnya sudah menjadi fenomena gunung es yang diduga sebenarnya sudah marak terjadi di berbagai tempat sejak lama. Namun, dengan kasus yang terus berulang, hal ini semestinya menjadi peringatan kepada keluarga dan institusi pendidikan, termasuk yang berbasis keagamaan, untuk tidak lagi tabu membicarakan perihal kekerasan seksual sebagai bagian dari pendidikan bagi anak-anak dan generasi muda.
”Pendidikan, penyadaran tentang kekerasan seksual adalah bagian dari upaya penting agar tidak ada lagi anak-anak, generasi kita yang menjadi korban, ataupun justru menjadi pelaku,” ujarnya.
Defirentia mengatakan, lingkungan, termasuk keluarga mesti berhenti menyalahkan korban. Sebaliknya, pada posisi saat segala hal buruk telah terjadi, korban semestinya juga terus mendapatkan dukungan moral dan semangat. ”Dalam hal ini, keluarga, sekolah, ataupun pondok pesantren tempat dia mendapatkan pendidikan harus bisa menjamin hak-haknya untuk tetap mendapatkan pendidikan,” ujarnya.