Hukuman 10 Bulan Penjara untuk Penganiaya Jurnalis ”Tempo” Nurhadi
Dua anggota polisi, yakni Brigadir Kepala Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi, penganiaya jurnalis ”Tempo”, Nurhadi, dihukum penjara 10 bulan dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu (12/1/2022).
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO
Jurnalis Tempo, Nurhadi, bersaksi dalam konferensi pers secara virtual. Nurhadi, korban penganiayaan anggota Polri saat menjalankan tugas jurnalistik di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (27/3/2021).
SURABAYA, KOMPAS — Dua anggota Polri penganiaya jurnalis Tempo, Nurhadi, dihukum penjara 10 bulan dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Rabu (12/1/2022). Kedua terdakwa ialah Brigadir Kepala Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi.
”Menjatuhkan pidana kepada terdakwa masing-masing 10 bulan penjara,” kata Ketua Majelis Hakim Muhamad Basir dalam persidangan yang juga disiarkan melalui akun Youtube AJI Indonesia.
Selain hukuman penjara, majelis hakim mewajibkan kedua terdakwa membayar restitusi kepada korban senilai Rp 13,819 juta. Terdakwa juga harus membayar restitusi kepada saksi kunci Fahmi senilai Rp 21,85 juta.
Restitusi merupakan uang ganti rugi dari terdakwa kepada korban. Ganti rugi itu menjadi biaya hidup selama kedua korban tidak bisa bekerja karena merasa terancam keselamatannya. Selain itu, peralatan kerja mereka rusak. Restitusi juga masuk dalam tuntutan jaksa.
Puluhan wartawan Sidoarjo berunjuk rasa mengecam kekerasan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi, Senin (29/3/2021).
Namun, vonis itu lebih ringan dari tuntutan 1 tahun 6 bulan penjara. Jaksa penuntut umum (JPU) Winarko menyatakan pikir-pikir untuk banding. Sejauh ini, JPU mengapresiasi majelis karena mengakomodasi dakwaan yang dikenakan kepada terdakwa.
Dakwaan itu ialah Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Kedua terdakwa terbukti bersalah dengan sengaja dan melawan hukum melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi kerja pers.
”Kami pikir-pikir untuk banding karena sebagian besar dakwaan sudah diambil majelis,” ujar Winarko seusai sidang.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Dua jurnalis melakukan aksi teatrikal tentang kekerasan yang menimpa rekan mereka pada unjuk rasa ”Tolak Kekerasan pada Jurnalis” di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Senin (29/3/2021). Aksi tersebut dipicu oleh kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat kepada rekan mereka dari Tempo, Nurhadi, saat melakukan tugas jurnalistik pada Sabtu (27/3/2021).
Purwanto dan Firman didakwa menyekap dan menganiaya Nurhadi saat menjalankan tugas di Surabaya. Sebelumnya, Tempo menugaskan Nurhadi untuk meminta konfirmasi kepada mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji. Angin diduga terlibat kasus suap pajak.
Nurhadi menjalankan penugasan itu pada 27 Maret 2021 dengan mendatangi Graha Samudra Bumimoro, Surabaya. Saat itu berlangsung resepsi pernikahan anak Angin dengan anak mantan Kepala Biro Perencanaan Polda Jatim Komisaris Besar Achmad Yani. Saat berusaha meminta konfirmasi, Nurhadi mengalami penganiayaan dan teror dari sejumlah orang, antara lain kedua terdakwa.
Penasihat hukum terdakwa Joko Cahyono menyatakan, tidak mengakui kliennya menganiaya dan menghalangi kerja jurnalistik Nurhadi. Joko berdalih, kliennya menempuh upaya persuasif dengan mengajak Nurhadi dan saksi F ke Hotel Arcadia untuk berdamai. Kedua terdakwa bukan penganiaya.
”Bukti materialnya tidak ada,” katanya. Untuk vonis itu, penasihat hukum juga pikir-pikir.
Anggota Tim Advokasi Nurhadi, Salawati Taher, berharap, vonis yang kurang dari dua pertiga tuntutan bukan kompensasi atas pengabulan tuntutan restitusi. Yang disesalkan, tidak ada perintah penahanan dalam vonis majelis hakim pada terdakwa. Keselamatan Nurhadi masih terancam sebelum putusan tetap.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Surabaya Eben Haezer yang dihubungi secara terpisah menyesalkan putusan majelis hakim yang lebih rendah daripada tuntutan jaksa. Selain itu, majelis hakim tidak memerintahkan penahanan terhadap kedua terdakwa.
”Artinya, keselamatan Nurhadi dan saksi masih terancam,” kata Eben Haezer.
Majelis hakim, katanya, dianggap tidak peka dengan kasus-kasus kekerasan terhadap pers. Putusan yang lebih rendah serta masih adanya ancaman berpotensi menjadi yurisprudensi bagi penanganan kasus-kasus serupa di masa depan.