Kekerasan seksual terus terjadi, antara lain, di perguruan tinggi sehingga selain regulasi, diperlukan pula tindakan yang tegas terhadap pelaku untuk menekan kasus berulang.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
Kompas/Priyombodo
Perempuan aktivis membentangkan poster protes saat melakukan aksi memperingati Hari Ibu di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta Pusat, Rabu (22/12/2021). Mereka menuntut pengesahan terhadap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
SURABAYA, KOMPAS — Kampus-kampus semakin mengadopsi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Namun, kasus-kasus kekerasan seksual di kampus masih terjadi. Regulasi perlu diperkuat dengan tindakan tegas terhadap pelaku.
Kekerasan seksual diyakini terjadi di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Surabaya, Jawa Timur. Kasus itu baru-baru ini diungkap akun media sosial Instagram @dear_unesacatcallers. Informasi telah ditindaklanjuti oleh kampus dengan pemanggilan terhadap dosen berinisial H dari Program Studi Ilmu Hukum oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
Menurut Vinda Maya Setianingrum dari Humas Unesa, Selasa (11/1/2022), tim investigasi Satgas PPKS telah memanggil dan memeriksa terduga pelaku dan kalangan penyintas atau korban. Pelaku bahkan mengakui pernah melakukan kekerasan seksual, antara lain panggilan telepon video secara tidak senonoh. Selain itu, diduga kuat mencium mahasiswi yang sedang bimbingan skripsi.
Salah satu korban sudah lulus atau berstatus alumnus. Meski demikian, Unesa belum mengumumkan ada berapa korban kekerasan seksual yang melapor atau mengadu ke kampus dan terkait dengan perilaku dosen H itu. ”Untuk kepentingan investigasi, dosen terduga pelaku telah dinonaktifkan sejak kemarin (Senin, 10 Januari 2022),” ujar Vinda.
Vinda mengatakan, Unesa atau sebelumnya adalah IKIP Surabaya akan menjunjung prinsip keberpihakan kepada korban. Kampus mengapresiasi dan amat berterima kasih kepada penyintas yang berani bersuara kepada publik. Para penyintas amat diharapkan mengadu ke Satgas PPKS dengan jaminan perlindungan kerahasiaan identitas, juga pendampingan psikologis dan hukum. Unesa ingin menekan dan mencegah kekerasan seksual tak terjadi lagi.
Untuk kepentingan investigasi, dosen terduga pelaku telah dinonaktifkan sejak Senin, 10 Januari 2022.
Dihubungi secara terpisah, peneliti senior Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya Dian Noeswantari mengatakan, kian banyak kasus-kasus kekerasan bahkan kejahatan seksual terungkap ke permukaan. Kasus-kasus yang terjadi di lembaga pendidikan terutama kampus atau perguruan tinggi menguatkan pentingnya regulasi, terutama PPKS atau Permendikbudristek No 30/2021.
”Untuk kepentingan yang lebih luas, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual perlu segera disetujui atau diundangkan,” kata Dian. Regulasi menjadi panduan untuk PPKS di masa mendatang.
Dalam jangka pendek, keberadaan regulasi diharapkan mendorong penanganan atau penindakan kasus-kasus kekerasan seksual lebih memperhatikan atau berpihak kepada korban. Pelaku agar ditindak tegas dan dihukum sehingga jera.
Anggota Jaringan Peduli Perempuan Sumatera Barat mengikuti aksi damai antikekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jalan Jenderal Sudirman, depan Kantor Gubernur Sumatera, Padang, Sumatera Barat, Kamis (25/11/2021). Aksi ini menyikapi maraknya kasus kekerasan seksual, terutama terhadap anak, di Sumbar sekaligus memperingati Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Internasional. Peserta aksi menuntut sejumlah hal kepada pemerintah, antara lain adanya fasilitas rumah aman untuk korban kekerasan seksual, program pemulihan komprehensif, jaminan keberlanjutan pendidikan, dan pendidikan dini tentang organ genital bagi anak untuk mencegah kekerasan seksual.
Terdorong
Dian mengatakan, lembaga pendidikan terhormat, yakni kampus, tidak bebas dari noda kekerasan seksual. Dalam kasus di Unesa atau yang serupa di tempat lain, kekerasan seksual nyaris selalu terkait dengan relasi kekuasaan. Pengajar atau dosen memiliki kekuasaan dan kemudian ada yang terdorong untuk ”menguasai” orang lain. Posisi mahasiswa atau mahasiswi berada di bawah kekuasaan dosen atau birokrasi kampus.
”Ada ketimpangan kekuasaan. Mahasiswa tidak akan berani dengan dosen karena ada relasi di sana. Nah, pelaku memanfaatkan relasi kuasa itu untuk melakukan kejahatan,” kata Dian.
Langkah Unesa menonaktifkan dosen terduga pelaku cukup baik. Namun, kebijakan itu perlu dipertegas, misalnya dengan memberhentikan pelaku. Tindakan tegas bahkan keras, menurut Dian, akan memperlihatkan kewibawaan kampus atau lembaga pendidikan.
Wibawa itu juga bisa terlihat dari komitmen tinggi keberpihakan terhadap penyintas atau korban. Selain itu, berbagai upaya serius melalui kebijakan dan program kerja sehingga kasus-kasus kekerasan seksual tak terjadi lagi.
”Kampus juga perlu berkomunikasi dengan korban atau keluarga. Jika mereka menginginkan kasus dibawa ke ranah pidana, kampus perlu mendukung,” kata Dian. Dalam konteks itulah kemudian RUU TPKS menjadi penting sehingga menjadi regulasi khusus untuk penanganan kasus-kasus serupa di masa depan.