Tak Beri Kontribusi Optimal, Pemerintah Provinsi Kalteng Evaluasi Izin Tambang
Selama 23 tahun tujuh perusahaan pemegang izin kontrak karya di Kalteng tidak beraktivitas dan tidak memberikan kontribusi optimal untuk daerah sehingga pemerintah pun lakukan evaluasi dan merekomendasikan untuk dicabut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mengevaluasi tujuh perusahaan pemegang izin kontrak karya batubara karena dinilai tidak memberikan kontribusi terhadap daerah. Dua di antaranya direkomendasikan dicabut karena masa waktu yang sudah habis di tahun ini.
Hal itu sejalan dengan tindakan pemerintah pusat yang mencabut 192 izin di sektor kehutanan dengan total luas sebesar 3,1 juta hektar dari data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Di Kalteng setidaknya terdapat 50 jenis perizinan yang dicabut dengan total luas lahan 384.380,73 hektar.
Sugianto menjelaskan, evaluasi perizinan itu menghasilkan dua rekomendasi, yakni penciutan luas lahan pemegang izin dan pencabutan izin. Rinciannya, lima perusahaan wilayahnya diciutkan dan dua perusahaan direkomendasikan untuk dicabut izinnya. Ketujuh perusahaan itu berada di wilayah Daerah Aliran Sungai Barito atau di Kalimantan Tengah bagian utara.
Tujuh perusahaan yang dievaluasi itu, lanjut Sugianto, memegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diberikan pemerintah pusat pada tahun 1998. Selama 23 tahun diberikan kesempatan untuk melakukan eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, dan operasi produksi. Namun, sampai saat ini perusahaan-perusahaan tersebut belum memberikan kontribusi optimal bagi daerah.
”Untuk wilayah PKP2B yang berstatus konstruksi atau operasi produksi itu wilayahnya diciutkan, lalu area yang diciutkan tersebut diberikan kepada BUMD sehingga ada kesempatan daerah meningkatkan pendapatan daerah,” ungkap Sugianto di Palangkaraya, Jumat (7/1/2022).
Total luas lahan dari tujuh perusahaan pemegang izin kontrak karya atau PKP2B itu mencapai 221.109 hektar. ”Ini sejalan dengan kebijakan Presiden yang mencabut izin perusahaan tambang mineral dan batubara yang tidak produktif,” kata Sugianto.
Sugianto menambahkan, rekomendasi itu dibuat juga karena dampak-dampak yang dihasilkan dari perizinan yang merugikan dan mengganggu aktivitas masyarakat.
Selain kerusakan alam, dampak dari aktivitas pertambangan itu juga merusak infrastruktur. Bahkan, perusahaan-perusahaan itu ia nilai tidak berkontribusi bagi peningkatan pendapatan asli daerah yang digunakan untuk pembangunan di Kalteng.
Menurut Sugianto, setiap tahun Pemerintah Provinsi Kalteng setidaknya mengalokasikan anggaran Rp 750 miliar untuk rehabilitasi infrastruktur jalan yang rusak akibat aktivitas pemegang izin. ”Harusnya anggaran itu bisa dialokasikan untuk pembangunan yang bermanfaat langsung bagi masyarakat Kalteng,” katanya.
Pemprov Kalteng, jelas Sugianto, berkomitmen untuk terus melakukan pembenahan dengan memberikan kemudahan izin usaha yang transparan dan akuntabel. Namun, izin-izin yang disalahgunakan pasti akan direkomendasikan untuk dicabut.
Pembenahan dan penertiban izin ini merupakan bagian integral dari perbaikan tata kelola pemberian izin pertambangan dan kehutanan serta perizinan lainnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono menjelaskan, pencabutan izin dan evaluasi perizinan yang dilakukan pemerintah merupakan momentum untuk menyelesaikan konflik agrarian yang masih tinggi di Indonesia, khususnya di Kalteng. Banyak hak masyarakat yang hilang karena izin-izin tersebut.
”Pengakuan dan hak yang hilang ini harus dikembalikan ke masyarakat, jaminan atas hak pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar menjadi langkah utama yang bisa dilakukan pemerintah daerah ataupun pusat,” kata Dimas.
Dimas menambahkan, dengan banyaknya pencabutan izin itu perbaikan atas kerusakan ekosistem yang terjadi selama izin dikelola perusahaan juga harus dilakukan. Artinya, setelah izin dicabut, kerusakan ekosistem karena adanya investasi itu akan menjadi beban pemerintah sehingga tanggung jawab itu harus diambil pihak korporasi.
Pengakuan dan hak yang hilang ini harus dikembalikan ke masyarakat, jaminan atas hak pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar menjadi langkah utama yang bisa dilakukan pemerintah daerah maupun pusat.
”Kewajiban pemegang izin di antaranya menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air sesuai ketentuan undang-undang,” kata Dimas.
Kebijakan pemerintah untuk mengevaluasi dan mencabut beragam izin itu juga jadi momen untuk perbaikan tata kelola lahan. Pihaknya yakin pemerintah daerah kerap mendapatkan pelaporan konflik agraria, pencemaran lingkungan, hingga perusakan ekosistem dari masyarakat. Pelaporan ini seharusnya ditindak bukan sekadar menjadi catatan belakan.
”Pelaporan ini ditindaklanjuti oleh daerah sebagai bentuk perbaikan tata kelola perizinan,” kata Dimas.