Kota Kupang diprediksi mengalami krisis air bersih yang semakin parah pada beberapa waktu mendatang. Menanam pohon dan menabung cadangan air tanah harus dilakukan saat ini untuk mencegah kondisi itu terjadi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Kegiatan penanaman pohon di mata air Oelneneno, Kelurahan Bello, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (13/12/2021).
Setelah lebih dari 10 detik, daun kering yang didorong aliran air itu belum bergerak sejauh lebih dari satu meter. Aliran itu terpancar dari mata air Oelneneno yang kini debitnya terus menyusut. Desember 2021, salah satu komunitas menanam ratusan anakan pohon di sekitar mata air itu. Mereka menancapkan harapan agar debit mata air kembali melimpah.
Daun kering itu dijatuhkan Gregorius Takene (39) ke dalam saluran air yang terhubung langsung dengan mata air. Ia sengaja menggunakan metode paling sederhana untuk membuktikan bahwa debit air telah menurun dari waktu ke waktu.
”Sampai sekitar 1990, belum sampai 10 detik, daun kering sudah lepas jauh beberapa meter. Air meluncur sangat deras,” kata tokoh masyarakat yang bermukim di sekitar mata air yang berlokasi di Kelurahan Bello, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu.
Sebelum debitnya menyusut, mata air Oelneneno menjadi sumber pengairan di Bello. Areal persawahan dan jalur irigasi yang sudah ada sejak era 1960-an adalah bukti bahwa Bello pernah menjadi sentra pertanian di Kota Kupang. Sayuran dan umbi-umbian yang beredar di pasar Kota Kupang salah satunya dipasok dari Bello.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Posisi mata air Oelneneno, Kelurahan Bello, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (13/12/2021). Debit mata air itu terus berkurang dari waktu ke waktu.
Jalur irigasi dan sawah itu kini masih ada tetapi sumber pengairannya mengandalkan hujan. Kondisi iklim Pulau Timor dengan hari hujan yang sangat minim membuat musim tanam di persawahan Bello hanya bisa sekali dalam setahun. Pasokan hasil pangan dari Bello berkurang. Kota Kupang pun bertumpuh pada sentra pangan dari Kabupaten Kupang.
Beberapa areal pertanian di Bello pun dijual pemiliknya dan telah berubah menjadi lokasi permukiman. Kawasan penyangga diratakan. Pengembang perumahan pun bergerak ke Bello dengan membangun beberapa kluster. Bello menjadi daerah pinggiran yang banyak diburu setelah mahalnya harga lahan di pusat kota.
Yang paling eksrem saat ini adalah jarak rumah penduduk dengan mata air Oelneneno hanya terpaut beberapa langkah kaki saja. Pohon-pohon yang berdiri rapat pun sudah tumbang. ”Padahal di sini dulu gelap sekali. Matahari susah tembus karena pohon-pohonnya besar dan rapat sekali. Siang hari pun tidak ada orang yang berani masuk kalau sendirian,” ucap Takene mengisahkan.
Sampai sekitar 1990, belum sampai sepuluh detik, daun kering sudah lepas jauh beberapa meter. Air meluncur sangat deras. (Gregorius Takene)
Oleh karena itu, anakan pohon yang ditanam sekelompok anak muda di sekitar mata air pada Desember 2021 itu membangkitkan harapan kembalinya debit air Oelneneno. Ada mahoni (Swietenia mahagoni), kemiri (Aleurites moluccanaus), dan jambu mete (Anacardium occidantale). Total sekitar 500 anakan pohon.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Sebanyak 700 anakan pohon ditanam di mata air Oelneneno, Kelurahan Bello, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (13/12/2021). Jenis pohon dimaksud antara lain mahoni, kemiri, dan jambu mete.
Anak muda itu tergabung dalam komunitas Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Matematika Universitas Katolik Widya Mandiri Kupang serta mahasiswa Pendidikan Matematika Universitas Katolik Widya Mandira Kupang. Selama hampir tiga jam, mereka bahu-membahu menanam dalam areal sekitar satu hektar.
Anakan pohon diambil dari dinas lingkungan hidup setempat. Setiap kali musim hujan, pihak dinas menyiapkan anakan untuk ditanam di dalam wilayah Kota Kupang. Siapa saja, terutama komunitas masyarakat, diperbolehkan mengambilnya. Anakan itu gratis sementara ongkos pengangkutan ke lokasi tanam menjadi tanggung jawab komunitas.
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Matematika Universitas Katolik Widya Mandiri Kupang Agung Hermanus Riwu mengatakan, penanaman pohon di mata air itu sebagai bentuk tanggung jawab sosial mereka untuk menyelamatkan lingkungan. Dalam pengamatan mereka, mata Air Oelneneno termasuk lokasi yang mendesak ditangani.
Menurut dia, komunitas telah menyepakati bahwa secara periodik, akan ada perwakilan komunitas yang datang memantau perkembangan tanaman tersebut. Tujuannya untuk memastikan bahwa anakan itu terus tumbuh dan besar sehingga harapan agar debit mata air akan bertambah, dapat terwujud.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Matematika Universitas Katolik Widya Mandira Agung H Riwu dan tokoh masyarakat Bello Gregorius Takene secara bersamaan menanam pohon di mata air Oelneneno, Kelurahan Bello, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Senin (13/12/2021).
”Mungkin ini yang membedakan dengan penanaman pohon oleh banyak komunitas. Mereka menanam lalu pergi sehingga anakan tidak terawat, dan akhirnya banyak yang mati. Kami tidak ingin itu terjadi. Kami akan mengawal tanaman di mata air ini,” kata guru pada SMP Katolik Giovanni Kupang itu.
Selain menanam, dalam aksi itu mereka juga menggali lubang di beberapa titik. Lubang dimaksud disebut tempat tabungan air. Pada saat musim hujan, air otomatis masuk ke dalam lubang untuk menambah cadangan air tanah di Kota Kupang. Bello berada di ketinggian. Lubang air sangat membantu pasokan air tanah lokasi itu dan di dataran lebih rendah.
Gerakan bersama
Kegiatan menanam pohon dan membuat lubang penyerapan air oleh komunitas ini selaras dengan program Pemerintah Kota Kupang. Wali Kota Kupang Jefri R Kore mengimbau masyarakat agar menanam pohon dan membuat lubang resapan atau disebut program ”tanam air”. Tanam pohon bertujuan menjaga kerindangan lingkungan sedangkan tanam air untuk menambah pasokan air tanah.
Mungkin ini yang membedakan dengan penanaman pohon oleh banyak komunitas. Mereka menanam lalu pergi sehingga anakan tidak terawat, dan akhirnya banyak yang mati. (Agung Hermanus Riwu)
Kota Kupang merupakan wilayah langganan kekeringan setiap tahun. Bahkan sering kali masuk kategori kekeringan ekstrem. Sepanjang musim kemarau, mulai Apri hingga November, tampilan Kota Kupang sangat tidak menarik. Daun pohon-pohon berguguran. Di sejumlah ruang terbuka hujan, warna pohon yang seharusnya hijau pun malah menguning.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Seorang biarawati Katolik ikut dalam penanaman pohon di mata air Oelneneno, Kelurahan Bello, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Senin (13/12/2021).
Dampak lain dari musim kemarau adalah sumur-sumur mengering. Mobil tangki air pun beroperasi mulai subuh hingga tengah malam untuk melayani kebutuhan warga. Permintaan air bersih meningkat. Harga jual pun kadang dinaikkan dari Rp 70.000 menjadi Rp 85.000 untuk tangki berukuran 5.000 liter.
Sejumlah hasil studi menyebutkan, krisis air bersih di Kota Kupang akan semakin parah pada waktu-waktu mendatang. Karena itu, musim hujan menjadi momentum untuk menambah cadangan air tanah di kota berpenduduk sekitar 400.000 jiwa itu. Komunitas yang sudah bergerak menanam pohon dan menabung air, seperti di sekitar mata air Oelneneno, perlu diapresiasi.