16 Calon Pekerja Migran Belum Diketahui Keberadaannya
Polda Sumut merilis 16 nama calon pekerja migran yang hilang dalam kecelakaan kapal di Selat Malaka akhir tahun lalu. Kepolisian juga menambah jumlah tersangka menjadi sembilan atas kejadian itu.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kepolisian Daerah Sumatera Utara merilis nama-nama calon pekerja migran yang ikut dalam kapal yang tenggelam di Selat Malaka akhir tahun lalu yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Tercatat ada 16 nama yang hilang, kebanyakan adalah warga Jawa Timur. Kepolisian juga menambah jumlah tersangka menjadi sembilan orang atas kejadian itu.
Nama-nama yang hilang itu adalah Rokib asal Sampang (Jatim), Eka Melasari dan Suparno (Pamekasan, Jatim), Halela (Serang, Banten), Yolanda Lorenza (Bukittinggi, Sumbar), Rohani (Kota Baru, Kalsel), dan Jalaluddin Wahid (Bengkulu).
Selain itu Horriyah, Sito Rohma, Nursuada, Khosniah dari Pamekasan, sedangkan Syafii, Moh Hali, Lamsidin, Nor Hasanah, dan Misriyah dari Sampang.
Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Hadi Wahyudi, Kamis (6/1/2022), mengatakan, selain korban yang belum diketahui keberadaannya itu, terdapat delapan korban selamat yang berasal dari Jatim dan beberapa dari Sumut. Seluruh korban selamat sudah dipulangkan.
Hingga saat ini, Polda Sumut juga telah menetapkan sembilan tersangka atas kejadian itu. Sebanyak enam orang telah ditahan dan tiga orang lainnya masih dikejar petugas.
Enam orang yang ditahan adalah R yang berperan sebagai agen, IK sebagai pengawas pekerja di lokasi, SB pemilik tangkahan, DS penjemput pekerja, IL dan RA sebagai agen perekrut/pengumpul pekerja.
Kepolisian masih terus mendalami kasus. Masih dimungkinkan terjadi penambahan tersangka. Hadi menyampaikan, sejauh ini tidak ada indikasi keterlibatan aparat dalam kasus ini.
Ditolong nelayan
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Medan, Sumatera Utara, menyatakan, kapal naas itu awalnya bagian dari rombongan berisi 124 orang yang berangkat dari Batu Bara menuju Malaysia pada 22 Desember 2021. Namun, mendekati perairan Malaysia, kapal itu bermasalah.
Mesin kapal mati. Akibatnya, air mulai masuk kapal. Saat mesin kembali hidup, nakhoda memutuskan kembali ke perairan Indonesia guna berganti kapal.
Setelah sembilan jam perjalanan, calon pekerja lantas dipindahkan ke dua kapal kayu nelayan. Setiap kapal berisi 60 orang dan 50 orang. Sementara 14 orang lainnya tidak bersedia pindah ke kapal kayu. Mereka tetap bertahan di kapal rusak.
Dua kapal kayu itu lantas melanjutkan perjalanan hingga tiba di perairan Malaysia pada 24 Desember 2021 sekitar pukul 15.00. Namun, karena tidak ada yang menerima kehadiran mereka, kapal kembali ke Indonesia pukul 20.00.
Namun, mesin kapal pengangkut 50 orang itu rusak setelah menempuh lima jam perjalanan. Kapal terombang-ambing di laut. Karena kelebihan muatan, air masuk ke dalam kapal. Penumpang yang panik memilih melompat ke laut.
Pada 25 Desember 2021 pukul 08.00, 31 penumpang itu ditolong kapal nelayan Malaysia. Mereka kemudian diserahkan kepada nelayan Indonesia asal Tanjungbalai.
Kapal nelayan Tanjungbalai itu lalu membawa rombongan ke perairan Pulau Pandang, Batu Bara. Di situ, sebuah kapal lain menjemput rombongan itu hingga para penumpangnya mendarat kembali di Batu Bara.
Banyaknya calon pekerja yang memilih koridor tidak aman adalah tanda ada masalah di jalur normal.
Kepala UPT BP2MI Medan Siti Rolija mengatakan, pihaknya terus mengawal penyelidikan kasus ini. Pihaknya juga terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait agar kasus penyelundupan pekerja tidak terus berulang.
Instansi ini juga mengusulkan pembentukan satuan tugas untuk mengawasi pesisir timur Sumatera Utara yang rawan penyelundupan manusia.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Migran Care Wahyu Susilo meminta pemerintah tidak menutup mata atas kejadian penyelundupan pekerja migran yang terus berulang. Banyaknya calon pekerja yang memilih koridor tidak aman adalah tanda ada masalah di jalur normal.
Biaya penempatan pekerja migran yang masih tinggi menjadi salah satu penyebab masih maraknya penyelundupan. Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sudah mengamanatkan pembebasan dan penurunan biaya penempatan.