Menapaki Tahun Baru dengan Semangat Pejuang Kemerdekaan di Palembang
Sekitar 75 tahun yang lalu, di masa tahun baru, tidak ada bunyi petasan atau kembang api. Yang ada adalah letusan senjata dan mortir, serta teriakan merdeka dari para pejuang.
Tujuh setengah dekade lalu, tidak ada kemeriahan bunyi petasan atau kembang api saat Tahun Baru. Yang ada hanya letusan senjata dan mortir serta pekikan merdeka dari para pejuang kemerdekaan Indonesia. Tidak ada orang yang berkumpul melihat pesta kembang api, hanya mereka yang gugur di medan perang. Kini, Palembang telah merdeka. Saatnya generasi muda mengisi kemerdekaan dengan inovasi dan kreasi seturut dengan perkembangan zaman guna menghargai mereka yang telah berkorban.
Di tengah ingar-bingar letusan kembang api pada Jumat (31/12/2021) malam, Kholid Zaim (24) dan lima kawannya datang ke Taman Makam Pahlawan Ksatria Ksetra Siguntang, Palembang, Sumatera Selatan. Di sana terbaring para pahlawan, termasuk mereka yang gugur dalam perang lima hari lima malam di Palembang 74 tahun lalu.
Berbekal lilin menyala, Kholid berziarah ke beberapa makam. Mereka pun kemudian berkumpul di satu ruangan dan merenungkan perjuangan para pahlawan. Bagi Kholid, cara ini lebih baik dibandingkan harus membuang waktu melihat letusan kembang api.
Di ruangan itu, dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya, Syafruddin Yusuf, mengatakan, kisah heroik para pejuang yang saat ini sudah terbaring seakan membawa kaum milenial yang datang itu ke labirin masa lalu.
Pada 75 tahun lalu, Palembang belumlah seperti ini, jalan aspal masih jarang, yang ada jalan tanah merah dan hutan belantara di beberapa sisi kota. Di tengah keterbatasan akses itu, para pejuang bertaruh nyawa mengangkat senjata untuk mengusir penjajah dari Bumi Sriwijaya.
Dimulai pada hari pertama tahun 1947, provokasi para tentara Belanda yang menembakkan senjata dari markas militernya di kawasan Benteng Kuto Besak (BKB). Tembakan itu dianggap sebagai bentuk serangan Belanda kepada pejuang pembela kemerdekaan Indonesia.
Mendengar bunyi letusan senjata itu, para pejuang Indonesia kemudian membalasnya. Dua jam berselang, ujar Syafruddin, ada sekelompok gadis Belanda, yang pulang dari kawasan Bagus Kuning, Plaju, Palembang, menuju kawasan BKB menggunakan kapal. Mereka baru merayakan Tahun Baru.
Namun, di tengah perjalanan, ada seseorang yang menembak kapal tersebut sehingga rusak dan tenggelam. Semua penumpang di dalam kapal tewas tenggelam.
Pemantik
Kejadian ini menjadi salah satu pemantik tentara Belanda melakukan serangan membabi buta di beberapa titik di Palembang. Alasan lain adalah situasi pelanggaran demarkasi yang dilakukan Belanda.
Baca juga: Geliat Budak Mudo Palembang Mengenali Akarnya
Hal ini juga tertuang dalam disertasi sejarawan Universitas Padang, Mestika Zed, yang menuliskan bahwa Belanda melanggar kesepakatan status quo dengan Indonesia.
Bahkan, menurut jurnalis sejarah Kota Palembang, Dody Oskandar, perang itu adalah pembantaian warga Palembang karena jumlah korban ditaksir mencapai ribuan orang. Akan tetapi, kisah tragis ini seakan disembunyikan HJ Wijnmalen, Kepala Administrasi Sementara Belanda di Palembang.
Dia mengirim pesan kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, melaporkan bahwa selama pertempuran militer di Palembang, korbannya hanya dua orang Tionghoa dan satu orang Indonesia tewas serta beberapa korban lain. Laporan itu bertentangan dengan data Palang Merah Internasional, yakni korban jiwa yang berjatuhan mencapai 3.500 jiwa. Bagaimana tidak? Serangan Belanda datang dari berbagai penjuru darat, sungai, dan udara.
Namun, orang pertama yang gugur dalam perang tersebut adalah Letnan Satu Djoko Soerodjo. Dia ditembak tentara Belanda dari kawasan pertokoan, yang kini sudah diubah menjadi Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Sebagai bentuk penghargaan, dibangun sebuah monumen kecil di bagian hilir Jembatan Ampera, yang kini kian redup di tengah megahnya Stasiun Kereta Layang Ringan (LRT) Ampera.
Syafruddin berpendapat, Palembang menjadi salah satu kota yang diincar Belanda lantaran memiliki potensi alam yang luar biasa. Saat itu, Palembang menjadi daerah penghasil minyak terbesar di kawasan Asia Tenggara. Dua ladang minyak tersebut dikelola oleh perusahaan American Standard Oil Company dan Royal Shell di Palembang. Selain itu, Palembang juga menjadi pusat militer dan politik di wilayah Sumatera bagian selatan.
Kekayaan komoditas
Belum lagi kekayaan komoditas seperti karet, kapas, dan hasil hutan dari kawasan uluan. ”Itulah sebabnya, sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 1945, Belanda berupaya merebut kembali Kota Palembang pada masa Agresi Militer Ke-2,” kata Syafruddin.
Salah satu kisah yang paling heroik, menurut Syafruddin, adalah kisah Kapten A Rivai yang gugur dalam perang lima hari lima malam ketika memimpin pasukannya di kawasan Sungai Jeruju, 8 Ilir, Palembang, pada 3 Januari 1947.
Saat itu, Rivai dalam kondisi terluka di bahu karena sehari sebelumnya berperang melawan tentara Belanda. Namun, saat dalam perawatan dr Ibnu Sutowo, Rivai gelisah dengan perang yang berkecamuk lagi. Dia pun kembali bangkit memimpin pasukannya dalam kondisi tubuh masih terluka.
Baca juga: Pasar Tradisional Pembentuk Kota Palembang
Di tengah pertempuran, Rivai tertembak sehingga gugur di Sungai Jeruju. Berkat aksi heroik Rivai, kini namanya disematkan sebagai nama jalan protokol di Palembang.
Syafruddin menyebutkan, perang lima hari lima malam di Palembang merupakan kejadian yang sangat penting lantaran perang itu tidak hanya dilakoni oleh orang Palembang, tetapi juga datang dari sejumlah daerah, seperti Lampung, Lahat, dan Padang.
”Mereka datang dari sejumlah daerah di Sumatera bagian selatan untuk mempertahankan Palembang. Tidak melihat agama ataupun sukunya,” ucap Syafruddin.
Tidak hanya itu, karena kekurangan personel, para pelajar pun ikut mengangkat senjata mereka, yang dinamai Tentara Pelajar. Mereka berperang dengan senjata seadanya, tak secanggih milik Belanda. ”Hanya berpegang dari senjata rampasan Jepang dan senjata yang disusupkan dari Singapura,” lanjut Syafruddin.
Perang berakhir pada 5 Januari 1947 setelah Pemerintah Indonesia dan Belanda berunding di BKB. Dalam perundingan tersebut diputuskan pasukan TRI dan pejuang lainnya harus mundur sejauh 20 kilometer dari pusat kota. Adapun Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), polisi, dan pemerintahan sipil tetap berada di dalam Kota Palembang. Pada mulanya Belanda tidak menerima dan tetap memaksakan keinginannya.
Ketua Delegasi Indonesia Letnan Kolonel Bambang Utoyo memberikan penjelasan dan alasan bahwa ALRI tidak mempunyai hubungan dengan TRI (AD). Begitu juga polisi dan pemerintahan sipil perlu tetap di dalam kota untuk membantu Belanda menjaga ketertiban dan keamanan dalam kota. Alasan tersebut dapat diterima Belanda sehingga pasukan yang meninggalkan Palembang atau mundur sejauh 20 kilometer dari Palembang adalah TRI dan laskar perjuangan lainnya.
Koordinator Sahabat Cagar Budaya Robby Sunata berpendapat, perang lima hari lima malam di Palembang merupakan kejadian yang penting, bahkan menjadi perhatian pemerintah pusat.
”Perang ini baru selesai ketika pemerintah pusat yang waktu itu berada di Yogyakarta mengutus Adnan Kapau Gani, Menteri Kemakmuran, berunding dengan Belanda di Palembang dan akhirnya perang itu pun selesai,” tuturnya.
Menurut Robby, saat ini tidak banyak kaum milenial yang tahu mengenai kisah ini. Sebab, memang tidak ada lagi kurikulum sejarah yang memaparkan hal itu. ”Ini sungguh berbahaya karena bisa saja orang Palembang tidak tahu apa yang dilakukan pendahulu dalam mempertahankan kemerdekaan,” katanya.
Oleh sebab itu, mulai tahun ini, ujar Robby, sekitar 50 komunitas sejarah di Palembang bersepakat mengusung lagi kisah semangat para pejuang ke tengah-tengah kaum milenial. ”Perjuangan ini mengedepankan rasa kebersamaan, mengesampingkan sekat agama, suku, dan lain-lain,” lanjutnya.
Incaran Belanda
Palembang memang sudah menjadi incaran Belanda sejak lama, bahkan sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam, tepatnya pada 1819-1821. Dalam Perang Menteng itu, Belanda kalah dan mundur. Namun, pada 1821, mereka datang lagi dengan membawa pasukan yang lebih besar. Akhirnya kesultanan pun harus menyerah.
Peneliti sejarah Universitas Sriwijaya, Muhammad Ikhsan, menuturkan, sebenarnya ada berbagai cara yang bisa dilakukan untuk mengingat perjuangan para pendahulu, yakni dengan memasukkannya dalam kurikulum mata pelajaran sejarah atau setidaknya menjadikannya sebagai muatan lokal.
Cara lain adalah menjadikan nama pejuang sebagai nama jalan di Palembang beserta penjelasannya. Memang sudah ada beberapa nama pejuang yang disematkan sebagai nama jalan, tetapi lebih banyak lagi yang belum. ”Tujuannya agar mereka yang penasaran dengan nama jalan tersebut akan mencari asal-usulnya,” katanya.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumatera Selatan Farida Wargadalem berharap dengan berkaca pada semangat para pejuang, para kaum milenial saat ini dapat mengisi kemerdekaan dengan cara yang lebih bermanfaat.
”Karena mengisi dan mempertahankan kemerdekaan jauh lebih sulit dibandingkan merebut kemerdekaan,” kata Farida.