Gunung Ile Lewotolok di NTT Kembali Semburkan Lava Pijar
Gunung Ile Lewotolok di Lembata, Nusa Tenggara Timur, kembali mengeluarkan lava pijar dan awan panas dengan ketinggian sekitar 600 meter dari puncak gunung. Warga di sekitar gunung meminta relokasi segera dilakukan.
Oleh
kornelis kewa ama
·2 menit baca
LEWOLEBA, KOMPAS — Gunung Ile Lewotolok di Lembata, Nusa Tenggara Timur, kembali mengeluarkan lava pijar, Selasa (4/1/2022) sekitar pukul 22.30 Wita. Hal itu membuat sebagian warga yang tinggal di kaki gunung kembali cemas dan mengungsi.
Aktivitas Gunung Ile Lewotolok meningkat sejak akhir 2020. Sejak itu, warga yang tinggal di kaki gunung hidup tidak nyaman karena khawatir terdampak letusan. Akibatnya, warga meninggalkan rumah menuju kebun yang berjarak 12 kilometer dari kawah dan menuju Lewoleba yang berjarak 25 km dari puncak gunung.
Salah satu desa yang rentan terdampak letusan adalah Desa Lamagute, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata. Kepala Desa Lamagute Andreas Koli, Rabu (5/1/2022), mengatakan, guncangan, gemuruh, awan panas, dan hujan abu memang kerap terjadi. Namun, kejadian pada Selasa disebutnya lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Akan tetapi, Koli membantah sejumlah video viral yang menyebutkan terjadi pijaran api dan semburan awan panas. Pada video tersebut terlihat warga berlari di siang hari. Padahal, kata Koli, kejadian pada Selasa terjadi malam hari.
”Mungkin (video viral) itu diambil saat letusan 27 November 2020,” katanya.
Relokasi warga rawan terdampak letusan gunung, kata dia, masih dilakukan. Atas bantuan Keuskupan Larantuka, sebanyak 137 rumah tangga dari Desa Lamagute bakal direlokasi ke Bukit Indah Kampung Ata Watun.
Tempat itu sekitar 25 km dari Desa Lamagute. Setiap rumah tangga mendapatkan tanah berukuran 15 meter x 15 meter dengan rumah berukuran 6 m x 9,5 m.
”Keuskupan tidak menyerahkan tanah menjadi hak milik, tetapi dipakai turun temurun. Sampai anak cucu dan cicit pun tetap tinggal di situ, tetapi tidak boleh dijual. Untuk lahan perkebunan dan pertanian, tetap di Lamagute,” kata Koli.
Martha Keneka (45), warga Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape, mengatakan, kini merasa hidupnya tidak aman. Sepanjang 2021, dia sudah 12 kali mengungsi ke Lewoleba meninggalkan rumah yang hanya berjarak sekitar 3 km dari puncak gunung.
”Pascaerupsi November 2020, ada wacana desa akan direlokasi, tetapi tidak dilakukan sampai hari ini,” katanya.
Respons berbeda dikatakan Bupati Lembata Tomas Ola Langoday. Dia mengatakan, erupsi, letusan, dan lava pijar kerap terjadi. Masyarakat disebut sudah terbiasa dengan kondisi itu.
”Letusan, pijaran lava, dan semburan abu vulkanik itu hampir setiap hari terjadi. Itu bukan hal baru. Masyarakat sudah terbiasa,” katanya.