Pandemi telah meluluhlantakkan sektor pariwisata di Toraja selama lebih setahun terakhir. Geliat pariwisata di penghujung 2021 adalah momen untuk bangkit dan memulihkan pariwisata pada 2022 dengan adaptasi baru.
Oleh
RENY SRI AYU
·5 menit baca
Pelataran Patung Kristus di Buntu Burake, Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Rabu (29/12/2021) siang, cukup ramai. Mendung di atas langit Makale membuat suasana yang sebelumnya panas berangsur teduh.
Pengunjung menyebar di berbagai sisi untuk mengabadikan patung Kristus yang tingginya sekitar 45 meter. Dari pelataran yang berada di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut itu, mata dimanjakan lanskap Tana Toraja yang dikelilingi pegunungan.
Di tempat ini, rasanya tak ada titik yang tak menarik untuk berfoto atau sekadar menikmati pemandangan alam yang sungguh elok. Di antara pengunjung pada sore itu, ada Lilis Suryani (38), karyawan perusahaan swasta nasional di Jakarta. Bersama 10 kerabatnya, mereka menikmati libur akhir tahun.
”Tadinya sudah janjian dengan teman-teman mau ke Toraja tahun 2020. Ternyata ada pandemi, lalu ada pembatasan kegiatan sosial. Akhirnya baru kesampaian sekarang. Lama tidak liburan, jadinya kami menikmati betul,” katanya.
Di kawasan dataran tinggi itu, wisatawan dengan sabar menunggu munculnya kabut tebal serupa awan. Biasanya kabut tebal muncul sebelum matahari terbit dan berlangsung pukul 08.00 hingga pukul 09.00 WITA.
Keramaian pengunjung terjadi pula di kawasan wisata Ke’te Kesu, Toraja Utara. Obyek wisata yang menyajikan tongkonan (rumah adat) tua dan kuburan gantung itu nyaris tak pernah sepi dalam sepekan terakhir.
Saat kabut muncul, lembah akan tertutup, hanya menyisakan pemandangan puncak-puncak gunung. Pemandangan ini membuat pengunjung seakan berada di atas awan. Itu pula sebabnya kawasan Lolai kondang dengan sebutan ”Negeri di Atas Awan”.
Pagi itu kabut tak begitu tebal. Namun, pengunjung yang memadati pelataran To’tombi tetap tak beranjak. Mereka menikmati bentang alam Toraja Utara dari ketinggian. Mereka menyebar di berbagai sudut sembari menikmati kopi, teh, susu, dan penganan, misalnya pisang goreng dan roti.
Devan Marchiano (19), mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulsel, yang datang bersama 15 temannya, memilih duduk di salah satu sudut sembari melihat kabut tipis yang perlahan hilang.
”Mumpung bisa liburan, kami menikmati jalan-jalan (di Toraja). Lagi libur kuliah juga, jadi banyak waktu berkeliling ke beberapa tempat wisata,” ucap Devan.
Keramaian pengunjung terjadi pula di kawasan wisata Ke’te Kesu, Toraja Utara. Obyek wisata yang menyajikan tongkonan (rumah adat) tua dan kuburan gantung itu nyaris tak pernah sepi dalam sepekan terakhir.
Alang, bangunan lumbung padi berbentuk tongkonan, yang berjejer di pelataran Ke’te Kesu, tak pernah sepi dari wisatawan. Mereka duduk menikmati suasana kompleks tongkonan.
Mulai Bergeliat
Toraja lebih sepekan terakhir tampak bergeliat. Wisatawan terlihat dimana-mana. Jalan-jalan ramai dari pagi hingga malam. Di lokasi objek-objek wisata, hotel, hingga rumah makan, kendaraan memenuhi area parkir. Setelah terpuruk hampir dua tahun akibat pandemi, geliat ini disambut gembira dan penuh rasa syukur pengelola pariwisata dan sektor terkait.
Julius Tandipadang, pengelola kawasan wisata To’tombi mengakui dalam beberapa hari terakhir, kunjungan cukup ramai. Setidaknya 300-500 wisatawan silih berganti datang setiap hari.
“Memang jumlahnya belum sama jika dibanding sebelum pandemi yang bisa sampai 700 bahkan 1.000 per hari. Tapi ini patut kami syukuri. Saat pandemi tempat ini pernah tutup beberapa kali. Saat dibuka pun, tidak ada wisatawan. Pekerja terpaksa kami rumahkan. Situasinya memang bikin kami sempat putus asa,” katanya.
Pagi itu kabut tak begitu tebal. Namun, pengunjung yang memadati pelataran To’tombi tetap tak beranjak. Mereka menikmati bentang alam Toraja Utara dari ketinggian.
Hal sama dikatakan Lynda Megaria Pasaka. Perempuan petualang ini mengelola wisata minat khusus Toranggo Buya yang bergerak dalam wisata arung jeram dan cycling Sulawesi. Dia juga mengelola Home Stay Villa Luna. Umumnya peminatnya adalah wisatawan asing.
“Sebelum pandemi, setidaknya ada 1.000 orang setiap tahun yang saya bawa arung jeram dan bersepeda. Penginapan saya selalu terisi. Sebenarnya sudah banyak yang mendaftar untuk tahun 2020. Lalu semua membatalkan akibat pandemi. Setahun lebih saya sama sekali tak punya tamu. Karyawan terpaksa saya istirahatkan sementara,” katanya.
Lesunya pariwisata juga turut dirasakan pengusaha kopi, Sulaiman Miting. Dia bercerita, saat belum pandemi, sedikitnya dia memanggang biji kopi dua kali sehari dengan total lima kilogram biji kopi sekali panggang. Umumnya kopi ini dibeli wisatawan untuk menjadi buah tangan.
“Akhirnya roasting hanya sekali dalam dua atau tiga hari. Pernah selama satu bulan hanya sekali saya roasting kopi. Saya coba menjual secara daring tapi hasilnya sangat jauh berbeda dibanding jika wisatawan ramai,” katanya.
Dengan pukulan yang meluluhlantakkan pariwisata di Toraja, maka geliat yang mulai nampak saat ini bagi pelaku usaha kecil dan pariwisata, seperti menemukan oase di padang gersang. Pariwisata bangkit kembali di 2022 menjadi harapan dan tekad bersama.
Harapan ini bertumpu pada wisatawan domestik yang menggeliatkan pariwisata. Tentu juga kepada pemerintah pusat yang diharapkan tak membuat kebijakan yang menyulitkan pelaku pariwisata maupun orang-orang yang akan berwisata.
Tekad membangkitkan pariwisata sebenarnya sudah dimulai September lalu saat pelaku pariwisata di Sulawesi Selatan meluncurkan tagar #keSulselmi (ke Sulsel saja/Ayo ke Sulsel). Slogan itu diwujudkan dengan mendorong dan membenahi pariwisata terutama pada aspek kesehatan sebagai adaptasi baru ditengah pandemi.
Ketua ASITA (Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies) Sulsel, Didi Leonardo Manaba mengakui, industri pariwisata di Sulsel menjadi salah satu sektor yang sangat terpuruk selama pandemi. Sebagian besar usaha pariwisata tutup. Sebagian mencoba bertahan dengan beralih ke usaha lain, namun juga tak banyak menolong.
“Karena itu kami meminta dukungan pemerintah untuk membantu kami bangkit. Tentu kami tak sekedar menjual destinasi atau paket wisata tapi kami juga akan membangun kepercayaan bahwa saat ini kami semua berbenah dan beradaptasi," kata Didi.
Ia menambahkan, "Untuk sementara kami berharap pariwisata bisa bangkit melalui wisatawan domestik. Tentu dukungan pemerintah juga kami harapkan untuk memudahkan orang berwisata terutama terkait perjalanan dalam wisata."
Berdasarkan data Dinas Pariwisata Sulsel, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dalam dua tahun terakhir rata-rata diatas 17.000 per tahun. Adapun wisatawan domestik umumnya diatas 9.000.000 per tahun . Karena itu wisatawan domestik menjadi sasaran dalam upaya kebangkitan pariwisata di Sulsel.
Para pengelola wisata di Toraja serius berbenah untuk menerapkan aturan protokol kesehatan. Mereka berkomitmen menjamin keselamatan pengunjung. Ayo ke Toraja, mi!