Para Perempuan Peniup Harapan
Perempuan-perempuan itu mengajarkan kita bahwa harapan mesti terus ditiupkan dan diperjuangkan bersama.
Harapan dan mimpi mesti diperjuangkan bersama. Ini diyakini benar oleh sejumlah komunitas warga di sejumlah kampung. Mereka memperjuangkan air minum dan jamban sehat. Di belakang itu semua ada perempuan-perempuan tangguh yang bekerja.
Lokalisasi Silir di Solo, Jawa Tengah, resmi ditutup tahun 1998. Namun, stigma negatif dan aroma kemiskinan di kawasan yang telah bersalin nama menjadi kampung Mojo sejak 2018 itu masih terasa sampai sekarang. ”Kalau kami mengaku tinggal di Silir, orang langsung mikir macam-macam,” ujar Wheny Susianti (38), perempuan yang sejak kecil tumbuh di pinggir lokalisasi Silir, Minggu (19/12/2021).
Rumah yang ia tempati sekarang hanya sepelemparan batu dari bekas jantung lokalisasi Silir yang kini telah menjadi gudang dan ruko. Di depan rumah Wheny bahkan masih ada ”peninggalan Silir” berupa kontrakan yang dulu digunakan untuk praktik prostitusi.
Wheny menceritakan, sejatinya praktik prostitusi terus berlangsung secara terselubung hingga era 2000-an. Pada periode itu, ia sedang mekar sebagai remaja dan ada beberapa lelaki hidung belang mengincarnya. Setiap ia membantu orangtuanya mengambil air minum di hidran umum sekitar 150 meter dari rumah, ia kerap digoda, ditawar, bahkan dilecehkan.
”Ada yang mengikuti sampai ke rumah. Saya sembunyi di kamar, masih ditungguin. Sampai gemetaran saya,” kata Wheny.
Muryanto yang juga tumbuh di Silir mengatakan, saat itu jumlah pekerja seks komersial (PSK) di Silir sekitar 200 orang dan sebagian besar pendatang. Mereka hidup berbaur dengan warga kampung yang tidak mencari makan di jalur itu. Hasilnya, apa yang terjadi di lokalisasi berimbas pada warga. ”Dulu, ini kampung ’Texas’. Di sini orang main judi, main perempuan, berantem, tembak-tembakan sampai ada yang mati,” kenang Muryanto.
Tidak heran jika kampung itu sering menjadi target razia oleh aparat keamanan. Wheny ingat, tahun 2000-an, dalam sepekan setidaknya terjadi 2-3 kali gropyokan (razia) oleh satpol PP yang dilakukan malam hari. Saking seringnya gropyokan, warga membuat sistem peringatan dini.
”Kalau malam-malam ada yang kentongan tiang listrik, artinya ada gropyokan. Orang sekampung lari meski bukan PSK karena takut ditangkap. Satu orang lari, yang lain ikut lari,” tambah Wheny, yang pernah nyungsep ke rawa-rawa saat melarikan diri.
Baca juga: Wheny Susianti, Juru Parkir Penggerak Warga
Pengalaman buruk itu berakhir pada 2015 saat Silir relatif sudah bersih dari praktik prostitusi. Namun, kehidupan tidak langsung membaik. Sebagai daerah yang lama mendapat stigma negatif, Silir cenderung terabaikan. Program pembangunan dari pemerintah memang masuk ke Silir, tapi masih banyak persoalan mendasar yang belum terselesaikan, terutama soal akses air minum dan jamban sehat.
Sampai tahun lalu, warga terutama yang tinggal di RT 001 RW 003 dan RT 009 RW 002 masih harus membeli berjeriken-jerikan air minum di hidran umum. Satu jeriken dihargai Rp 2.000. Pasalnya, air sumur di kampung itu berbau menyengat dan berwarna.
Seperti warga lainnya, Wheny memimpikan memiliki akses air minum di rumah sendiri. Tahun 2014, ia nekat mendatangi kantor kelurahan untuk mencari bantuan agar warga memperoleh akses ke air minum. Usahanya tidak berhasil, tapi bukan berarti sia-sia. Langkah itu mempertemukan dia dengan USAID IUWASH PLUS, jaringan pemerintah, dan komunitas warga dari kampung sebelah yang telah berhasil mengadakan air minum sendiri. Dari situ, dia belajar banyak tentang perilaku hidup sehat, bagaimana mengorganisasi warga, dan memperjuangkan kepentingan mereka.
Sejak saat itu, hidupnya berubah. Perempuan lulusan SMP yang kini sehari-hari bekerja sebagai juru parkir di Pasar Klithikan Notoharjo itu hanyut sebagai penggerak warga. Setiap hari usai bertugas sebagai juru parkir, ia mengurus anak dan suami. Setelah itu, ia keliling kampung untuk sosialisasi tentang perilaku hidup sehat, pengadaan air minum, dan sanitasi.
Usaha Wheny didukung penuh Ketua RT 001 RW 003 yang juga perempuan, yakni Titik Nurhayati. Titik yang merupakan orangtua tunggal dan bekerja di sebuah penerbitan menjadi ketua RT sejak 2018. Awalnya ia aktif di PKK. Tapi karena ketua RT sebelumnya dianggap kurang aktif, ia diminta warga menjadi ketua RT. ”Dulu di sini seperti kampung mati, nggak ada kegiatan. Setelah jadi ketua RT, saya kembangkan beberapa program perbaikan kampung.”
Perjuangan warga RT 001 RW 003 dan RT 009 RW 002 untuk mendapatkan akses air minum mendorong mereka mendirikan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Mojo Waras yang diketuai Jumadi. Mereka mengorganisasi warga untuk mengadakan akses air minum ke rumah-rumah dengan mekanisme dana bergulir. Dananya berasal dari pemerintah, pinjaman KSM Dabagsari Makmur, dan hibah dana bergulir dari donasi pembaca Kompas yang dikelola oleh Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas.
Pada pengujung 2021, setelah berjuang tujuh tahun, akhirnya air minum mengalir ke rumah-rumah warga. ”Saya bersyukur sekali. Sejak tinggal di sini tahun 2003, baru sekarang saya bisa minum dari air yang mengalir di rumah sendiri. Ini nggak pernah saya bayangkan sebelumnya,” ujar Titik.
Kini Titik dan warganya melangkah lebih jauh, yakni memperjuangkan jamban sehat dan nama baik kampung. yang kini bernama Mojo. ”Kami ingin mengubur nama Silir. Kami ingin kampung ini dikenal sebagai Kampung Mojo,” ujarnya.
Arisan jamban
Inisiatif warga juga muncul di Dusun Nglawisan, Magelang, Jawa Tengah dan Tunjungsekar, Kota Malang, Jawa Timur. Seperti di Kampung Mojo, ada perempuan yang memainkan peran sentral dalam gerakan ini.
Di Dusun Nglawisan ada Sri Napsiah, kader kesehatan Dusun Nglawisan, Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Magelang, selama sepuluh tahun. Ia sejak lama prihatin melihat warga di sekitarnya buang air besar di sungai. Padahal, aliran dari sungai itu dipakai masyarakat untuk mengairi sawah serta mencuci pakaian, sayuran, dan alat masak. Hasilnya, sungai yang kotor menjadi sarang penyakit.
Baca juga: Sri Napsiah Menggagas Arisan Jamban
Berangkat dari rasa prihatin itu, ia mengajak masyarakat yang belum punya jamban untuk ikut arisan jamban sebesar Rp 3.000 per bulan per orang. Setiap peserta mendapatkan uang arisan sebesar Rp 650.000 sebagai sebagai ”pancingan” untuk membangun jamban dan septik tank SNI yang biayanya sekitar Rp 1,5 juta per unit. Warga tinggal menambahi sisanya.
Arisan jamban pertama kali bergulir pada 3 Oktober 2018. Target awalnya hanya 14 kepala keluarga yang belum punya jamban, kenyataannya peserta mencapai 45 orang. Sampai sekarang, Sri aktif mengampanyekan prilaku hidup sehat di kalangan warga sambil momong cucu dan mencari tambahan penghasilan dengan menjahit pakaian.
Di Tunjungsekar, Kota Malang, ada Yeny Purwanty yang menyedekahkan waktunya untuk perbaikan lingkungan. Ia adalah mantan pekerja migran di Singapura. Suaminya ketua RT 004 RW 001 sejak 2015. Namun, lantaran sibuk bekerja, tugas suaminya diambil alih oleh Yeny. ”Kalau rapat di RW atau kelurahan, saya satu-satunya perempuan, ha-ha-ha,” ujarnya.
Seperti Sri, Yeny prihatin hidup di permukiman padat yang kotor. ”Warga di sini sejak dulu buang air besar ke sungai. Yang punya jamban juga buang kotorannya ke sungai. Saya juga dulu begitu,” katanya malu-malu.
Sungai jadi tong sampah, terutama pembalut dan popok sekali pakai untuk bayi. ”Air sungainya sedikit dan tidak mengalir. Bayangkan baunya seperti apa,” katanya.
Didorong keinginan mengubah wajah kampungnya, Yeny memetakan persoalan dan menghitung berapa banyak warga yang buang air besar secara terbuka. Ternyata dari 56 rumah, hanya 10 yang punya septik tank. Temuan itu ia presentasikan kepada pemerintah daerah, LSM, puskesmas, dan pihak lain yang dianggap bisa membantu.
Pada 2019, pemerintah akhirnya membangun septik tank komunal di beberapa RW di Tunjungsekar. Namun, masih ada warga yang belum mendapatkan akses. Baru pada 2021 ada donasi dana hibah bergulir dari pembaca Kompas untuk membangun septik tank di rumah-rumah warga. ”Sekarang 100 persen rumah punya septik tank,” kata Yeny.
Ia mengenang, dulu saat membujuk warga agar membangun septik tank dan tidak buang sampah dan limbah ke sungai, susahnya minta ampun. Ia harus mengetuk rumah warga satu per satu dan menggelar acara makan bersama. ”Saya didiamkan sebagian warga sampai dua tahun, ha-ha-ha. Tapi saya jalan terus. Prinsip saya, kalau bukan kita (yang berjuang mengubah keadaan), siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Perempuan-perempuan itu mengajarkan kita bahwa harapan mesti terus ditiupkan dan diperjuangkan bersama.