Di Krayan, Presiden Pun Naik Mobil Ilegal
Distribusi kebutuhan dan peraturan tentang perdagangan lintas batas perlu disesuaikan dengan perkembangan warga di perbatasan. Sekelumit transaksi ilegal akan menahun jika warga harus menunggu pembangunan jalan rampung.
Malam begitu dingin dan Lastilo masih belum tenang. Sebagai koordinator lokal yang menyiapkan kendaraan untuk rombongan Presiden Joko Widodo, ia belum mendapatkan mobil yang dinilai cocok oleh perwakilan istana. Padahal, seminggu lagi adalah jadwal Presiden berkunjung ke tempat tinggalnya di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Dalam rapat dengan perwakilan Istana malam itu, utusan dari Sekretariat Presiden akan memastikan ketersediaan kendaraan untuk mobilitas rombongan. Utusan dari istana bilang, Presiden akan hadir untuk meninjau pembangunan jalan perbatasan RI-Malaysia di kawasan Long Midang.
”Dari Istana memutuskan kendaraan untuk RI 1 dari Krayan saja, tidak membawa mobil kepresidenan,” kata Lastilo, menirukan perwakilan Istana malam itu.
Untuk urusan mobil rombongan, Setpres sudah menyetujui kendaraan yang Lastilo ajukan, yakni 34 mobil Hilux Vigo Double Cabin. Namun, pihak Istana belum sreg dengan mobil untuk Presiden yang Lastilo ajukan.
Setelah menunjukkan beberapa spesifikasi dan foto kendaraan, salah satu tim lapangan dari Paspampres meminta Lastilo untuk memperlihatkan mobil termahal dan terbaik yang dimiliki warga Krayan.
Lastilo akhirnya menunjukkan sebuah foto. Perwakilan Istana setuju dengan mobil di dalam foto itu: mobil Fortuner hitam keluaran 2019—mobil Lastilo sendiri. Mobil itu kemudian dibawa dan diteliti oleh kepolisian dan tim kepresidenan. Setelah dicek kondisi mesin dan fasilitas mobil, pihak Istana sepakat mobil itu yang akan digunakan untuk mobilitas Presiden.
Baca juga : Jalan Perbatasan untuk Membuka keterisolasian
Malam itu, Lastilo bisa sedikit lega. Sebanyak 35 mobil sudah tersedia untuk ditumpangi Presiden Joko Widodo, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, beserta rombongan. Keesokan harinya, semua mobil dikumpulkan oleh tim kepresidenan.
Khusus mobil untuk Presiden, pelat nomor Malaysia yang melekat di depan dan belakang mobil diganti dengan pelat merah bertuliskan ”Indonesia 1”. Tak lupa tersemat bendera merah putih kecil di kap mobil.
Jokowi tiba
Presiden Jokowi beserta rombongan mendarat dengan helikopter di Bandara Yuvai Semaring Krayan pada 19 Desember 2019. Selanjutnya, Presiden menaiki motor kustom Kawasaki W175 berkelir hijau. Diikuti Paspampres di belakangnya, Jokowi melalui jalan tanah yang becek dan licin. Mereka menelusuri jalan perbatasan dan pos lintas batas di Long Midang yang sedang dibangun pemerintah.
Dari titik perbatasan, Presiden kembali ke Long Bawan dengan menumpangi mobil yang sudah disiapkan Lastilo. Saat bercengkrama dengan warga, Menteri Erick Thohir berujar kepada Lastilo, ”Ini mobil pejabat kalau di Jakarta. (Mobil) tahun 2019 ini, ya? Beli di mana, Pak?”
”Beli di Malaysia, Pak,” jawab Lastilo.
Saat bertemu Kompas pada awal Desember 2021, Lastilo bersemangat menceritakan hal tersebut. Pengalaman menjadi koordinator kendaraan untuk Presiden adalah pengalaman pertama dan yang paling berkesan buat pria 47 tahun itu. ”Waduh, RI 1, Mas. Enggak pernah membayangkan,” katanya mengenang.
Dari Malaysia
Lastilo bercerita, mobil itu ia beli tahun 2019 dengan harga sekitar Rp 500 juta dari pemilik terakhir, yakni warga Malaysia. Menurut penuturan penjualnya, mobil itu sebelumnya dimiliki oleh orang Brunei Darussalam, kemudian dijual ke Malaysia.
Mobil itu masuk ke Krayan tanpa biaya tambahan lain. Bahkan, pelat nomor mobil tersebut masih aktif di Malaysia. ”Bayar pajaknya setahun 15.000 ringgit Malaysia,” ujarnya. Itu setara Rp 51 juta dengan kurs Rp 3.400 per ringgit Malaysia.
Mobil berpelat Malaysia bukan hal aneh di Krayan. Hampir semua mobil di Krayan berasal dari Malaysia. Mobil Hilux bergardan ganda mudah sekali dijumpai lalu lalang di jalan tanah berlumpur dan jalan aspal di dataran tinggi itu. Sejumlah mobil tersebut digunakan untuk mengangkut pasir, batu, semen, dan hasil panen warga.
Kenapa hal itu terjadi? Sebab, lima kecamatan di Krayan belum tersambung darat dengan wilayah Indonesia lain. Untuk menuju wilayah ini, satu-satunya jalan adalah menggunakan pesawat perintis dari Kota Tarakan, Tanjung Selor, Pulau Nunukan, atau Kabupaten Malinau.
Baca juga : Rindu Krayan Tersambung Seutuhnya ke Indonesia
Jalan dari Malinau menuju Krayan sepanjang 200 kilometer yang dibuka pemerintah belum bisa dilalui kendaraan. Satu-satunya akses terdekat untuk membeli kebutuhan dasar dan penting, warga Krayan mendapatkannya dari kampung Ba’kelalan, Malaysia, yang berbatasan darat dengan wilayah Krayan.
Itu sudah berlangsung sebelum Indonesia merdeka. Warga di Ba’kelalan perlu beras adan dan garam gunung Krayan untuk dijual kembali atau dikonsumsi. Sementara warga Krayan butuh gas elpiji, minyak goreng, gula, hingga bahan bangunan dari Malaysia.
Hubungan timbal balik itu berlangsung secara tradisional. Pada masa silam, sebelum akses darat terbuka, warga Krayan berjalan kaki melewati hutan sambil menggendong hasil panen menggunakan bekang—sejenis tas yang terbuat dari rajutan rotan—ke Malaysia. Saat pulang, mereka membawa kebutuhan yang tak ada di Krayan, seperti minyak goreng, gula, solar, dan kebutuhan lain.
Berdasarkan Border Trade Agreement RI-Malaysia 1970, warga perbatasan bisa melakukan hal itu sepanjang untuk kebutuhan hidup. Peraturannya, setiap orang hanya bisa berbelanja di Malaysia paling banyak 600 ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp 2 juta per orang per bulan (kurs Rp 3.400 per ringgit Malaysia). Itu pun hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, tidak untuk dijual kembali.
Namun, kebutuhan kedua warga negara itu bertambah seiring tahun berganti. Sejumlah warga membeli barang di Malaysia untuk dijual kembali di Krayan. Sekali angkut, tentu saja lebih dari 600 RM. Warga juga butuh kendaraan untuk mengangkut hasil panen atau bahan bangunan. Paling mudah, warga membeli mobil dari Malaysia.
Mobil Hilux bergardan ganda paling mudah dibeli dan itu sesuai dengan kebutuhan warga Krayan. Rata-rata mobil bekas yang ada di Krayan merupakan kendaraan operasional perusahaan sawit atau perusahaan kayu di Malaysia. Harganya mulai dari Rp 70 juta. Mobil gardan ganda cocok di Krayan karena sebagian besar jalan antardesa berupa tanah berlumpur yang jika hujan sangat sulit dilalui.
Yosep Liang (55), warga Long Midang, juga memiliki mobil bergardan ganda berpelat nomor Malaysia. Itu ia lakukan karena ongkos angkut mobil sangat mahal jika membeli dari Indonesia. Sebab, untuk mengangkut mobil dari kota terdekat harus menggunakan pesawat TNI.
”Untuk mobil, biaya angkut paling murah Rp 30 juta. Itu belum tentu bisa langsung dikirim. Harus menunggu dengan orang lain yang juga mengirim barang,” ujar Yosep.
Yosep menyadari membeli mobil dari Malaysia melanggar peraturan. Sebab, untuk impor kendaraan, seseorang perlu mendapatkan persetujuan dari Kementerian Perdagangan. Namun, hal itu terlampau rumit di perbatasan Krayan. Tak ada perwakilan dari Kemendag, sementara kebutuhan warga terus berkembang.
”Semoga pemerintah buka mata dan memperhatikan. Bisa dibuat kebijakan seperti di Batam yang membolehkan membeli mobil dari luar negeri tanpa melewati pajak tertentu dan hanya boleh digunakan di Krayan,” ujar Yosep.
Aparat dan pemerintah yang bertugas di Krayan juga seolah tutup mata dan tak bisa berbuat banyak. Sebab, mobil dan sejumlah barang kebutuhan lain dari Malaysia paling murah dan mudah mereka dapatkan.
”Selama ini kita tahu, semua transaksi yang terjadi di perbatasan ini hampir semua ilegal. Aparat yang lain juga tak bisa berbuat apa-apa karena ini kebutuhan. Pihak sebelah (Malaysia) juga tutup mata dengan itu. Mereka juga punya kepentingan sama,” ujar Camat Krayan Heberli.
Dampak pembiaran bertahun-tahun ini dirasakan warga ketika pandemi Covid-19. Pemerintah Malaysia membuat kebijakan lockdown. Barang dari Malaysia tak bisa masuk setiap bulan ke Krayan. Akibatnya, stok kebutuhan pokok terbatas sehingga harga menjadi tinggi.
Baca juga : Ironi Perdagangan di Perbatasan Saat Pandemi Semen di Krayan Capai Rp 300.000
Heberli menyebutkan, program Jembatan Udara (Jembara) dari APBN atau Subsidi Ongkos Angkut (SOA) dari APBD provinsi dan kabupaten dengan total Rp 8,5 miliar pada 2021 tak membantu banyak. Jembara hanya dua kali seminggu melayani tiga kecamatan. Sekali angkut, barang pokok yang mampu dibawa hanya 950 kg. Itu tak cukup untuk memenuhi warga di lima kecamatan di Krayan.
Subsidi dari pemerintah itu juga terbatas. Hanya untuk kebutuhan pangan, tak bisa untuk mengangkut semen atau tabung elpiji. Jika warga memesan semen ke Kota Tarakan, harganya bisa Rp 1,5 juta per zak. Padahal, sebelum pandemi, warga bisa mendapatkan Rp 125.000 per zak. Pembangunan infrastruktur yang menggunakan dana desa jadi terhambat.
Selama ini kita tahu, semua transaksi yang terjadi di perbatasan ini hampir semua ilegal. Aparat yang lain juga tak bisa berbuat apa-apa karena ini kebutuhan.
Saat ini, jalan perbatasan di Long Midang yang dikunjungi Presiden pada akhir 2019 itu sudah beraspal. Warga sudah bisa melalui jalan itu tanpa harus berjibaku dengan tanah lumpur. Namun, dengan sekelumit persoalan kendaraan ilegal dan kebutuhan pokok lain di muka, menyiratkan satu hal: pembangunan jalan bukan semata-mata solusi di perbatasan.
Distribusi kebutuhan pokok dan penting hingga ke daerah terpencil, seperti Krayan, perlu dipikirkan. Selain itu, peraturan tentang perdagangan lintas batas juga penting disesuaikan dengan perkembangan masyarakat setempat. Tentu saja persoalan yang sama ini akan menahun jika warga harus menunggu rampungnya pembangunan akses darat ke Krayan.