Lembaga Pembiayaan Keuangan Diduga Ambil Bagian Dalam Deforestasi di Kalteng
Lembaga pembiayaan keuangan di Indonesia dinilai ambil bagian dalam deforestasi. Perlu ada pemantauan dan evaluasi untuk memastikan aliran pinjaman uang digunakan untuk pembangunan berkelanjutan.
Oleh
DIONISIUS REYNADO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Lembaga pembiayaan keuangan diduga ikut ambil bagian dalam kerusakan lingkungan hingga konflik sosial di wilayah konsesi atau perizinan. Mereka dinilai lemah memastikan pengelolaan keuangan berkelanjutan.
Dari 10 perusahaan yang menerima pinjaman uang dari bank milik negara, lima di antaranya beroperasi di Kalimantan Tengah. Perusahaan diyakini terlibat dalam perusakan hutan dan konflik agraria.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik dengan tema ”Peran Pembiayaan Keuangan terhadap Perusahaan di Indonesia Studi Kasus di Kalimantan Tengah”, di Palangkaraya, Rabu (29/12/2021).
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono menyebutkan, dalam paparannya, terdapat 50 bank dan investor terbesar di dunia yang ikut mendorong laju deforestasi melalui pinjaman dana besar. Sayangnya, lembaga keuangan tersebut memiliki kebijakan lemah terhadap perusahaan perusak hutan.
Pada 2016-2021, lembaga keuangan di dunia telah meminjamkan uang 31,8 miliar dollar AS untuk 100 investor di dunia. Dari total anggaran itu, 37 persen berada di Indonesia yang dipinjamkan melalui tiga bank milik negara (BUMN) ke 14 perusahaan. Lima perusahaan dengan pinjaman terbesar ada di Kalteng.
Dimas menambahkan, terdapat tiga aspek yang dinilai, yakni lingkungan, sosial, dan tata kelola. Dari ketiganya, peneliti menggunakan 35 indikator penilaian. ”Setelah diteliti, Indonesia hanya mendapatkan skor 1.0 dan menjadi satu dari tiga negara yang lemah memitigasi risiko kerusakan lingkungan,” ungkapnya.
Data tersebut berkorelasi dengan kondisi di Kalteng saat ini. Kepala Departemen Organisasi dan Pendidikan Walhi Kalteng Bayu Herinata mengungkapkan, terdapat 344 konflik di wilayah konsesi dengan total luas lahan berkonflik sebesar 151.524 hektar. Sekitar 80 persen dari total konflik itu berasal dari wilayah perkebunan kelapa sawit.
”Dari lima perusahaan yang aliran pinjamannya besar itu beroperasi di Kalteng dan banyak ditemukan konflik sosial di dalamnya, belum lagi perusahaan yang melakukan pembakaran pada 2015 di lahan gambut untuk membersihkan lahan,” ungkap Bayu.
Peneliti Senior TUK Indonesia Rudiansyah menjelaskan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan OJK Nomor 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan. Kebijakan itu didasari inisiatif OJK mendukung pencapaian ekonomi hijau di Indonesia.
”Tapi, pelaksanaannya di lapangan terbukti sangat minim, dilihat dari laporan yang ada. Bahkan, lembaga keuangan tak paham lingkungan. Mereka tidak tahu soal gambut, sekat kanal, dan lain sebagainya,” ungkap Rudiansyah.
Menurut Rudiansyah, banyak kebijakan dibuat dengan sudut pandang pemerintah pusat sehingga tidak relevan lagi diterapkan di daerah. Oleh karena itu, lembaga keuangan di daerah perlu memahami risiko kerusakan lingkungan di daerahnya.
Lembaga keuangan, lanjut Rudiansyah, perlu memantau dan mengevaluasi perusahaan-perusahaan penerima izin sebelum mereka beroperasi, apalagi mengeksploitasi hutan. ”Dampaknya, risiko ini berujung pada bencana ekologis, Kalteng berpotensi besar, bahkan sudah terjadi,” kata Rudiansyah.
Perbankan, menurut Rudiansyah, memiliki andil besar terhadap penyelamatan lingkungan melalui kepastian keuangan berkelanjutan. ”Perbankan bertanggung jawab terhadap kerusakan yang dibuat perusahaan yang mendapat pinjaman,” katanya.
Kepala OJK Kalteng Otto Fitriandy menjelaskan, khusus di Kalteng belum ada pendataan debitor yang masuk dalam proyek pembangunan berkelanjutan yang menjadi fokus dalam POJK 51 Tahun 2017.
Hal itu disebabkan sebagian besar perusahaan yang menerima pinjaman bukan dari bank yang ada di daerah. Mereka mendapatkannya dari pusat sehingga pendataan harus dikumpulkan di OJK pusat.
Dari hasil laporan forest and finance tersebut, Otto mengungkapkan, dari lima perusahaan tersebut, pengawasan debitor tidak di bawah OJK Kalteng. Hal itu membuatnya tidak bisa mengomentari temuan-temuan tersebut.
Keuangan berkelanjutan, menurut Otto, merupakan dukungan menyeluruh dari institusi keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
OJK kemudian, lanjut Otto, sudah membentuk Tim Satuan Tugas Keuangan Berkelanjutan untuk memastikan hal itu. Bahkan, pihaknya juga membuat roadmap keuangan berkelanjutan tahun 2015-2019. Di dalamnya terdapat banyak kebijakan, mulai dari pembiayaan yang mendukung program berkelanjutan hingga penerapan risiko keuangan terhadap perubahan iklim.
”Ini kami jalankan salah satu upaya yang dilakukan OJK, bahkan ikut COP (Conference of the Parties) kemarin untuk menunjukkan komitmennya dalam keuangan berkelanjutan,” ungkap Otto.