Indeks Kualitas Lingkungan Naik, Banyak Pekerjaan Rumah bagi Kalsel
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan membaik. Meskipun demikian, perbaikan masih tetap diperlukan, terutama peningkatan indeks kualitas air dan tutupan lahan.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
MARTAPURA, KOMPAS — Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan membaik. Skornya meningkat dari 68,43 pada 2020 menjadi 70,90 pada tahun ini. Meskipun demikian, perbaikan masih tetap diperlukan, terutama peningkatan kualitas air dan tutupan lahan.
Jika dilihat dari komponen penyusun Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), perbaikan skor Kalsel terutama ditunjang oleh Indeks Kualitas Udara dengan skor mencapai 89. Sementara untuk skor Indeks Kualitas Lahan dan Indeks Kualitas Air masih di bawah 60 atau dalam kategori sedang.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalsel Hanifah Dwi Nirwana mengatakan, skor IKLH Kalsel yang tercapai pada tahun ini sudah melampaui target IKLH 2021 yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalsel 2016-2021, yaitu 70,26.
”Meskipun IKLH sudah baik, masih banyak PR (pekerjaan rumah) yang harus kami kerjakan, seperti mengatasi persoalan banjir, kebakaran lahan, pencemaran air. Kami perlu juga memahami kondisi yang dirasakan masyarakat, dan tidak sekadar mengejar skor indeks,” kata Hanifah, dalam acara temu media di Taman Hutan Raya Sultan Adam, Kabupaten Banjar, Rabu (29/12/2021).
Mengacu komponen penyusun IKLH, masih butuh upaya untuk memperbaiki Indeks Kualitas Lahan (IKL) dan Indeks Kualitas Air (IKA) di Kalsel. IKL Kalsel baru mencapai skor 50, sedangkan IKA Kalsel baru mencapai skor 55,40 pada 2021. Target IKA 2021 dengan skor 55,90 masih belum tercapai.
Menurut Hanifah, dari hasil pemantauan di beberapa titik sungai yang sudah disepakati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, kondisi air sungai di Kalsel masih cemar sedang, termasuk Sungai Martapura.
”Yang menjadi persoalan utama untuk IKA, yaitu masih tingginya kadar Escherichia coli atau e-coli. Sumber pencemar air yang paling dominan adalah limbah domestik dan sampah,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Dinas Lingkungan Hidup Kalsel meluncurkan program Sungai Martapura Bungas sebagai program prioritas untuk memperbaiki kualitas air. Sejak diluncurkan 5 Juni 2021, eksistensi program tersebut tetap dijaga. Salah satunya dengan kegiatan bersih sampah di Sungai Martapura setiap Jumat.
”Prioritas program Sungai Martapura Bungas adalah pengendalian pencemaran dari limbah domestik dan sampah. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah penanaman masif di sepanjang Daerah Aliran Sungai Martapura,” katanya.
Implementasi
Sungai Martapura termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito dengan panjang 95,64 kilometer. Sub-DAS Martapura memiliki berbagai permasalahan. Di hulu yakni hilangnya sumber resapan air karena penggundulan hutan dan alih fungsi hutan. Adapun di bagian tengah, berupa pencemaran dari berbagai kegiatan domestik. Sementara di hilir, yakni permukiman kumuh serta pencemaran dari limbah domestik dan industri.
”Program Sungai Martapura Bungas nantinya akan diimplementasikan juga pada sungai-sungai lain di Kalsel,” ujar Hanifah.
Masalah kualitas air tidak hanya karena pencemaran oleh masyarakat, tetapi juga karena ada kerusakan hutan dan aktivitas perusahaan di hulu Sungai Martapura. (Denny S Ainan)
Menurut Ketua Pena Hijau Indonesia Denny S Ainan, upaya memperbaiki IKA Kalsel dengan mewujudkan program Sungai Martapura Bungas adalah langkah yang baik. Namun, program itu harus dilakukan secara terpadu, tidak hanya di Sungai Martapura yang melintasi Kota Banjarmasin dan Martapura, serta Kabupaten Banjar, tetapi harus sampai ke hulu Sungai Martapura.
Berdasarkan data, luas kawasan hutan tangkapan air di hulu Sungai Martapura mencapai 178.000 hektar (ha). Kawasan itu berada di Riam Kanan dan Riam Kiwa. Dari luasan tersebut, areal seluas 67.000 ha di antaranya sangat kritis. Kondisinya turut diperparah dengan adanya 17 perusahaan pertambangan dan perkebunan yang beroperasi di daerah hulu.
”Masalah kualitas air tidak hanya karena pencemaran oleh masyarakat, tetapi juga karena ada kerusakan hutan dan aktivitas perusahaan di hulu Sungai Martapura. Perbaikan itu semua masih menjadi PR,” kata Denny.