Teguh Santika Membangun Harapan Suku Batin Sembilan
Bersama para ibu di komunitas suku Batin Sembilan, Teguh menjadi barisan terdepan yang menyambangi para perambah liar. Bukan untuk mengajak perang, melainkan untuk merangkul mereka guna menghutankan kembali yang rusak.
Oleh
Irma Tambunan
·5 menit baca
Hingga tiga tahun lalu, Teguh Santika (42) masih menjalani cara hidup berpindah di tengah hutan, sebagaimana warisan leluhurnya. Situasi belakangan mengetuk-ngetuk pintu kesadaran. Lembaran baru harus dibangun.
Kedatangan para pendatang yang merambah liar ke dalam hutan menjadi keprihatinan Teguh dan seluruh warga komunitas seminomadik suku Batin Sembilan. Sebab, hutan itulah rumah mereka.
Bersama para ibu di komunitas suku Batin Sembilan, Teguh menyambangi para perambah liar di hutan itu. Bukan untuk mengajak perang, melainkan untuk merangkul mereka guna memulihkan kembali hutan yang rusak.
Dengan keibuannya, wanita yang kerap dipanggil Bi Teguh ini telaten menyisir perambah-perambah yang nekat menggusur Hutan Harapan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka diminta untuk berhenti. Sebagai gantinya, ia tawari mereka bibit-bibit tanaman buah dan tanaman hutan. Semua bibit telah disiapkan komunitas itu.
Memang tak semuanya mau menerima ajakan. Sebagian bahkan menolak karena berkeras membuka monokultur. Apalagi mereka telah membeli lahan dari makelar dengan iming-iming meraup untung dari hasil sawit.
Jika sudah begitu, Teguh tak mungkin lagi memaksa. Ia hanya dapat melapor kepada petugas penjaga hutan yang memangku wilayah itu.
Di tengah hutan yang berubah, ketenteraman hidup komunitas pedalaman Batin Sembilan makin terhadang. Pendatang menerobos masuk dari berbagai jalur. Membangun pondok baru dan kebun. Kerap mereka dapati pohon buah dan getah-getahan telah ditebangi. Padahal, semua tanaman itu menjadi sumber penghidupan mereka turun-temurun.
Teguh menyadari maraknya perambahan liar tak semata kenekatan para pendatang. Di baliknya, sejumlah makelar lahan bermain. Tak jarang mereka gerakkan massa untuk bertindak anarkistis demi melawan penegakan hukum.
Saking sulitnya membangun upaya persuasif, Teguh bersama suaminya, Rusman, yang merupakan Pemimpin Adat Batin Sembilan Wilayah Kandang Rebo, serta sejumlah pemimpin kelompok lainnya mengirimkan surat peringatan kepada makelar lahan dan perambah di wilayah Masai Rusa dan Hulu Badak, Agustus 2019. Isinya agar praktik liar dalam hutan itu dihentikan, seperti jual beli lahan, penebangan, hingga pembukaan dan pembakaran lahan.
Rupanya isi surat peringatan diabaikan. Maraknya perambahan bahkan sampai menyebabkan kebakaran di hutan. Warga terpaksa memerangi api bersama regu pemadam.
Tak lama setelahnya, aparat penegak hukum menindak 22 perambah. Namun, perjuangan mengamankan hutan tidaklah mudah. Pada satu malam di bulan September 2019, sekelompok orang mendatangi mereka, menuntut pembebasan para pelaku yang ditahan. Keberadaan warga Batin Sembilan terancam karena mereka jadi bagian dari upaya penjagaan hutan.
Selain oleh perambah dan pembalak, ancaman kehidupan suku Batin Sembilan kini diperparah oleh rencana pembangunan jalan angkutan batubara. Pembangunan itu diajukan sebuah perusahaan kepada pemerintah. Jalurnya membelah Hutan Harapan. Itu pula yang mengkhawatirkan Teguh. Apalagi izinnya telah keluar. Pembukaan dalam kawasan yang merupakan satu-satunya hutan dataran rendah Sumatera tersisa dengan keragaman hayati tinggi bakal semakin parah.
Jika benar-benar terjadi, pembangunan jalan itu akan menembus zona inti hutan. Tak terbayangkan ribuan pohon bakal ditebang. Ruang hidup komunitas adat yang menempati jalur tersebut bakal semakin terancam.
Begitu pula 307 spesies burung, 64 jenis mamalia, 123 jenis ikan, 55 jenis amfibi, 71 jenis reptil, dan 917 spesies tanaman endemik. Di antaranya, 26 spesies berstatus langka dan kritis, seperti harimau sumatera, gajah sumatera, tapir, ungko, anjing hutan, trenggiling, dan rangkong.
Hidup berpindah
Berdarah suku Batin Sembilan, Teguh lahir dan besar dengan cara berpindah-pindah di tengah hutan. Kawasan itu dulunya merupakan hutan beralas hak pengusahaan hutan (HPH) yang masih cukup baik kondisinya. Masih rimbun dan melimpah dengan hasil hutan.
Masyarakat Batin Sembilan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, jernang, madu sialang, getah jelutung, damar, dan berbagai jenis tanaman obat-obatan. Begitu pula ikan-ikan di sungai sebagai sumber protein. Sedangkan akar-akaran dijadikan bahan anyaman untuk alas tidur. Di sana menjelajah sekitar 228 keluarga.
Sejak 13 tahun lalu, hutan itu beralih konsesi untuk kepentingan restorasi ekosistem. Di saat yang sama, tekanan perambahan dan pembalakan liar bertubi-tubi.
Teguh mengakui kehidupan nomadik di komunitas adat itu telah mengakar kuat turun-temurun. Ia menjalaninya sejak masa kecil. Mengikuti penjelajahan orangtuanya untuk behumo (berladang). Namun, jika membandingkan dengan masa mudanya dulu sangatlah berbeda. Hasil hutan begitu mudah didapat. Damar yang dulu pernah ia kumpulkan bersama orangtuanya masih besar-besar. Tak butuh waktu lama untuk mengumpulkan damar.
Sedangkan di masa kini makin sulit mendapati buah-buahan di hutan. Sebab, pohonnya terus berkurang. Apalagi tanaman obat tak lagi lengkap di hutan.
Teguh menyadari, dirinya tak mampu mengubah kebijakan. Namun, setidaknya ia masih dapat mengayomi kaumnya. Dalam ketidakpastian akan masa depan hutan, ia mengajak warganya bertahan. Caranya dengan mengurangi praktik hidup berpindah karena hasil yang didapat dari cara itu tak lagi mencukupi. Kini, sebagian warga mulai menetap untuk bercocok tanam. Agroforestri menjadi pilihan mereka.
Ia pun semakin mengakrabi cangkul. Bibit-bibit jahe, padi, singkong, dan ubi ditanam mengisi sela rerimbunan pohon. Setelah panen, hasil penjualannya dimanfaatkan untuk membeli bibit lagi. Sisanya dibagi kepada seluruh anggota kelompok.
Teguh kerap berpesan kepada para ibu bahwa menjelajah hutan untuk mencari getah dan buah-buahan boleh-boleh saja. Akan tetapi, tanaman yang telah dibesarkan jangan ditinggal lama. ”Kalau ditinggal lama, semak akan menutupi,” ujarnya. Jangan sampai kerja keras di masa tanam menjadi sia-sia karena tanaman termakan semak.
Teguh Santika
Lahir: 30 Januari 1979
Saudara: Anak pertama dari dua bersaudara
Suami : Rusman (Pemimpin Adat Batin Sembilan Wilayah Kandang Rebo)