Memantik Terang Damai di Lembaran Sejarah Kelam Perang
Cahaya ratusan lilin menerangi 426 makam di Ereveld Pandu, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (23/12/2021) malam. Di momen Natal, nyala lilin di makam korban Perang Dunia II itu memantik terang damai agar tidak terulang.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Cahaya ratusan lilin menerangi 426 makam di Ereveld Pandu, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (23/12/2021) malam. Kompleks pemakaman Belanda itu menjadi makam korban Perang Dunia II yang meninggal di kamp konsentrasi Jepang pada 1942-1945. Kebanyakan korban merupakan warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan. Di momen Natal, nyala lilin itu memantik terang damai di atas sejarah kelam perang agar tidak terulang.
Hujan masih menyisakan rintik saat Siti Aminah (24) bersama puluhan orang lainnya menyusuri makam-makam di Ereveld Pandu, Kamis pukul 20.30. Dengan mengendarai sepeda motor, ia menembus hujan selama 45 menit dari Cibaduyut demi mengikuti peringatan bersama Belanda dan Indonesia menyambut Natal 2021.
Di deretan makam dengan salib berwarna putih, Siti menyalakan lilin di atas rumput yang masih basah. Matanya tertuju pada tulisan di salib yang mencantumkan nama beserta tanggal kelahiran dan kematian.
Setangkai mawar merah diletakkan di atas salah satu makam. Ia tak mengenal orang yang dikuburkan di situ, tetapi rasa kemanusiaan memanggilnya untuk mengenang korban Perang Dunia II tersebut.
”Ini pelajaran penting dari kelamnya dampak perang. Korbannya tidak hanya prajurit militer, tetapi masyarakat sipil yang tidak ikut berperang. Peristiwa ini perlu dikenang agar perang tidak terjadi lagi,” ujarnya.
Sebagai Muslim, Siti tidak risi berkunjung dan menyalakan lilin di makam umat Kristiani. Sebab, ia datang bukan untuk mempertentangkan keyakinan, melainkan memperkaya pengetahuan mengenai mengerikannya akibat perang.
”Kemanusiaan tidak memandang perbedaan agama dan negara. Yang jelas, kewajiban agamaku tetap aku jalankan,” ujar karyawan toko alat-alat perbengkelan di Bandung itu.
Selain menyalakan lilin dan meletakkan bunga, peringatan bersama itu juga menampilkan beragam pertunjukan seni, seperti musik, tari, dan pembacaan puisi dari berbagai komunitas. Salah satu penampilnya, Seftia Permana (29), membacakan puisi karyanya berjudul ”Damai”.
Sambil memegang payung berwarna hitam, suara Seftia menggelegar memecah keheningan saat membaca bait demi bait. Puisinya diawali bait menggambarkan kengerian yang berbunyi, Di langit Priangan, gelap mulai merangkak. Tidak ada tanda selain organ-organ yang tergantung sepanjang jalan. Jarum jam semakin berjarak. Rintih pedih bocah-bocah mulai pecah, tangisnya ditikam senapan.
Bait itu mencoba mengingatkan kembali kejamnya perang. Bahkan, anak-anak yang tak berdosa pun menjadi korban karena ambisi kekuasaan di masa lampau.
Walakin, puisi yang ditulis sepekan sebelumnya itu tak hanya meratapi kesedihan. Seftia tak lupa menyelipkan harapan. Meskipun masa lalu tak dapat diubah, masa depan bisa dipersiapkan agar lebih baik dengan tidak memendam kebencian.
Hal itu tersirat dari bait akhir puisinya yang berbunyi, Jiwa suci itu terbang melampaui hati kotor.Langit malam ini berpesan, ini bukan hanya persoalan agama yang mana. Lebih dari itu merupakan apa yang terkandung di masing-masing benaknya; perdamaian dan kemanusiaan. Semoga damai terus meruah, hari ini, esok, dan seterusnya.
Menurut Seftia, sejarah perang perlu dikenang bukan untuk merawat permusuhan, melainkan menjadi peringatan agar tidak terulang. Pemakaman Ereveld Pandu menjadi salah satu bukti nyata kisah suram perang.
Lewat puisi, bapak satu anak itu ingin mengajak para pemuda untuk lebih peduli sejarah. Membedah kesalahan masa lalu sembari merefleksikannya untuk memperbaiki masa depan.
Bait puisi itu mencoba mengingatkan kembali kejamnya perang. Bahkan, anak-anak yang tak berdosa pun menjadi korban karena ambisi kekuasaan di masa lampau.
”Di sini bukan untuk terus menganggap Belanda hanya sebatas penjajah. Sampai kapan mau bermusuhan terus? Pesannya lebih menekankan bahwa perang merugikan pihak yang menang dan kalah,” katanya.
Perang Dunia II telah berakhir 76 tahun lalu, tetapi perang masih terjadi. Di sejumlah negara Timur Tengah, konflik memperebutkan kekuasaan terus berkecamuk dan menimbulkan banyak korban jiwa.
Anak-anak, perempuan, dan warga sipil turut menjadi korban. Menurut Seftia, pemimpin dunia semestinya memetik pelajaran berharga dari lembaran hitam Perang Dunia II yang telah merenggut puluhan juta nyawa manusia.
”Masak tidak ada cara lain selain perang. Saatnya mengajak generasi muda merawat perdamaian dengan berkaca dari masa lalu,” katanya.
Koordinator Kelompok Anak Rakyat (Lokra) Gatot Gunawan, penyelenggara peringatan bersama itu, berharap anak muda Indonesia belajar sejarah dari beragam sudut pandang. Tujuannya agar tidak terjebak pada satu pemahaman dan mengabaikan hal lain yang tidak kalah penting.
Gatot menyebutkan, hubungan Belanda-Indonesia memang tidak baik di masa kolonial. Namun, di sisi lain, banyak juga warga sipil Belanda menjadi korban perang saat Perang Dunia II.
”Banyak korbannya justru tidak ikut angkat senjata. Sebagian dari mereka adalah suster, balita, dan warga biasa. Ini harus jadi catatan, perang bisa menjadi petaka, bahkan oleh orang yang tidak terlibat,” ucapnya.
Gatot menuturkan, peringatan bersama yang dimulai tahun lalu itu akan dijadikan agenda tahunan. Ketika itu, lilin dinyalakan di 256 makam anak.
Nyala lilin menjadi simbol menerangi gelap kisah perang menuju lorong perdamaian. Oleh sebab itu, pihaknya melibatkan anak muda agar tidak apatis terhadap sejarah.
”Peringatan bersama ini menjadi sarana untuk saling belajar perdamaian dan toleransi. Acaranya terbuka untuk umum agar bisa diakses semua orang,” katanya.
Opzichter atau pengawas Ereveld Pandu, Dicky Purwadi, mengatakan, terdapat sekitar 4.000 kuburan di kompleks pemakaman seluas 3 hektar itu. Sekitar 70 persen merupakan warga sipil, sedangkan sisanya militer.
”Banyak yang bilang tempat ini kuburan khusus tentara Belanda, padahal bukan, melainkan korban Perang Dunia II, termasuk anak balita,” ujarnya.
Dicky menambahkan, di kompleks tersebut juga terdapat makam warga Muslim yang menghadap kiblat. Sebab, selain orang Belanda, ada juga orang Indonesia korban perang dikebumikan di sana.
Di antara ribuan makam itu, beberapa di antaranya bertuliskan geexecuteerd yang berarti dieksekusi dan onbekend (tidak dikenal). Mereka adalah korban perang yang tidak diketahui identitasnya.
”Pemakaman ini adalah dampak mengerikan dari perang. Jumlah korban mungkin lebih besar karena belum semua ditemukan. Ini pelajaran agar ambisi politik keserakahan tak dijadikan dasar melegalkan perang,” jelasnya.
Setelah dua jam menyala, cahaya lilin-lilin yang menerangi ratusan makam mulai padam. Malam berkabut mengiringi puluhan peserta peringatan bersama itu melangkah pulang. Namun, harapan agar perang tidak terjadi lagi tak akan pernah redup.