Tradisi Pengikat Persaudaraan dan Persatuan
”Marbinda” dan ”mandokhata” menjadi pengikat persaudaraan orang Batak. Jika ”marbinda” menyembelih hewan, ”mandokhata” menjadi tempat curhat dan introspeksi.
Marbinda dan mandokhata menjadi pengikat persaudaraan orang Batak. Jika marbinda menyembelih hewan, mandokhata menjadi tempat curhat, introspeksi, lalu saling memaafkan agar langkah anggota keluarga memasuki tahun baru menjadi ringan tanpa beban. Ini biasa dilakukan setiap keluarga inti satu ayah dan ibu saat pergantian tahun dari pukul 00.00 sampai pukul 02.00-03.00. Etnis Batak memiliki kohesi sosial yang kuat, antara lain, karena marbinda dan mandokhata.
Matahari belum terbit di Desa Cinta Damai, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (24/12/2021) pagi. Lagu Natal terdengar sayup-sayup dari rumah-rumah. Di Kampung Huta Bakkara Desa Cinta Damai, warga bersiap melakukan tradisi marbinda, menyembelih ternak untuk perayaan Natal dan Tahun Baru.
Seekor babi seberat 124 kilogram diangkut gerobak ke halaman rumah. Setelah doa syukur, warga menyembelihnya. Gotong royong dimulai untuk melaksanakan tradisi tahunan itu.
Ada yang mengurus daging ternak untuk dibagikan pada warga. Ada yang menyeduh kopi, teh manis, serta kudapan untuk parhobas, panitia pelaksana marbinda. ”Marbinda adalah bentuk ucapan syukur yang kami laksanakan setiap Natal dan Tahun Baru. Kami mengumpulkan uang dari hasil panen padi untuk membeli ternak,” kata Jaraden Manalu (57), parhobas dalam tradisi marbinda tersebut.
Di Huta Bakkara, marbinda diikuti sekitar 70 keluarga. Mereka mengumpulkan uang setelah panen padi pada Februari dan Oktober 2021, yakni Rp 150.000 per keluarga. Hasil yang dikumpulkan dari panen Februari untuk membeli ternak pada perayaan Natal dan hasil panen Oktober untuk membeli ternak yang akan disembelih untuk Tahun Baru.
Jaraden meminta agar setiap bagian ternak dibagi menjadi 70 bagian sama rata. Bagian has dalam misalnya harus dibagi sama rata. Demikian juga bagian rusuk, hati, dan kaki. Semua harus dibagi sama rata. ”Bagian hati meskipun kecil harus dibagi menjadi 70 bagian,” kata Jaraden.
Anggiat Samosir (62), warga Huta Bakkara, mengatakan, marbinda punya banyak makna bagi warga. Selain ucapan syukur dalam perayaan Natal dan Tahun Baru, ia juga merupakan bentuk kebersamaan bagi warga dengan prinsip si sada hudon, yakni makan dari satu ternak yang sama. ”Marbinda ini mempersatukan dan menjaga persaudaraan di kampung kami,” katanya.
Saat parhobas sibuk menjagal daging, wangi bumbu-bumbu masak sudah tercium dari dapur rumah di Huta Bakkara. Ramida Manullang (55) sedang menumbuk cabai, bawang, andaliman, dan bumbu masak lain di dapurnya. Ia juga menyangrai kelapa parut. ”Kami mau siapkan makanan untuk perayaan malam Natal. Sebagian akan saya panggang dan sebagian lagi kami buat jadi saksang,” kata Ramida.
Tiap keluarga biasanya mendapat sekitar 1,5 kilogram daging. Tradisi marbinda membantu dia menyajikan daging untuk keluarga pada hari istimewa itu. Apalagi, anak-anaknya yang merantau biasanya pulang ke kampung. Jika membeli daging saat Natal, harga biasanya meroket dari Rp 50.000 menjadi sekitar Rp 150.000 per kilogram.
Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas Huria Kristen Batak Protestan Manguji Nababan mengatakan, marbinda adalah tradisi leluhur yang hingga kini hidup di tengah masyarakat di Sumatera Utara. Tradisi itu biasanya dilakukan pada 24 dan 31 Desember. ”Saya melintas sepanjang belasan kilometer di Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, hampir semua kampung melaksanakan tradisi marbinda,” kata Manguji.
Batak perantau
Para perantau dari tanah Batak ke Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya masih melakukan tradisi itu dengan cara masing-masing. S Mida Silaban (58), perantau Batak di Bekasi, Jawa Barat, saban tahun masih melanjutkan tradisi itu bersama keluarga besar, sanak saudara, dan komunitasnya di perantauan. Tuntutan zaman dan lingkungan rantau yang multietnis dan agama membuat tradisi marbinda berubah dari bentuk awalnya. Marbinda dilakukan dengan memotong seekor ternak, bisa kerbau, sapi, babi, dan lain-lain, tergantung kesepakatan dan kesanggupan.
Menurut Mida, marbinda tradisi saat Tahun Baru. Perayaan Natal cenderung ke perayaan jemaat di lingkungan gereja. Sementara itu, Tahun Baru menjadi perayaan dengan komunitas keluarga atau lingkungan tempat tinggal, bahkan dari berbagai agama dan kepercayaan.
Ia merantau ke Jabodetabek 30 tahun silam. Seingatnya, tahun 1996 dan 1997, ia bersama warga Batak yang baru merantau masih melakukan marbinda. Hanya, tidak lagi memotong hewan dengan biaya urunan lalu dibagikan agar semua bisa merasakan makan enak saat perayaan Tahun Baru.
Marbinda versi komunitas Mida, anggota urunan membeli daging. Daging dimasak, lalu dibagikan ke anggota komunitas agar semua bisa merasakan makan enak, makan di luar menu sehari-hari atau menu yang relatif mewah.
Tahun-tahun berikutnya, marbinda di komunitas berganti rupa, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai luhur, makan enak bersama dan bermaaf-maafan. Bentuknya keluarga inti, keluarga besar, hingga komunitas berkumpul di suatu tempat untuk makan enak bersama dan saling bermaafan.
Kegiatan tidak hanya bagi anggota keluarga Batak dan beragama Kristen, tetapi juga anggota keluarga lain di komunitas itu dari suku mana pun dan agama apa pun. Makanan enak pada kegiatan itu biasanya berbahan daging dan ikan yang diolah menjadi makanan khas Batak, seperti daging saksang atau panggang dan ikan mas arsik.
Menurut perempuan yang lahir dan besar di Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, itu tradisi di komunitasnya masih berlangsung hingga pergantian tahun 2019 ke 2020. Setelah ada pandemi, marbinda bertransformasi. Acara berkunjung dan berkumpul berganti dengan berkirim makanan ke keluarga dekat.
”Kami saling kirim makanan meskipun sangat terbatas. Tinggal 30 persen yang terlaksana. Biasanya saling telepon dan saling kirim makanan, terbatas pada keluarga paling dekat. Tidak hanya dekat dari segi jarak, tetapi juga perasaan. Saya bisa kirim ke Citayem, Bogor, Jawa Barat, bahkan ke Medan,” ujarnya.
Untuk tahun ini komunitas Mida belum memutuskan menggelar lagi acara berkumpul saat Tahun Baru, mengingat pandemi belum selesai. Kalaupun ada keluarga yang mengajak berkumpul, akan dilakukan di tempat terbuka, bukan di rumah, dengan pembatasan.
Meski di perantauan, Mida ingin tradisi tersebut terus dilakukan dan diwariskan ke generasi muda karena mengandung banyak nilai-nilai baik. Bagi anak-anak, misalnya, kegiatan saling berucap maaf dan kata-kata baik saat berkumpul itu menjadi kesempatan untuk belajar berbicara di hadapan orang banyak. Apalagi, momen itu tidak biasa, bahkan kadang tidak ada di tengah keluarga sehari-hari, sekolah, hingga gereja.
”Ada pembentukan karakter di sana. Meskipun belepotan, itu melatih anak berbicara. Sejak usia 2-3 tahun, anak sudah diajarkan. Semakin dewasa semakin berkembang, biasanya menyampaikan maaf dan harapan ke depan,” ujar Mida.
Kenangan manis
Tradisi marbinda juga masih menjadi nostalgia manis dari masa kecil yang terlupakan bagi dua warga Bekasi, Poltak Hutabarat (53) dan Rittar Sibuea (54). Bagaimana tidak, masa itu kondisi perekonomian tak sebaik sekarang. Praktis makan enak macam berlauk daging hanya bisa dilakukan setahun sekali. Itu pun dengan cara berpatungan dan bergotong royong, mengumpulkan uang, membeli ternak, menyembelih, lalu membagikan dagingnya sama rata.
Saat di perantauan, Poltak mengaku memang pernah menggelar satu-dua kali. Pesertanya sekitar 25 orang di lingkungannya di Jababeka, Kabupaten Bekasi. Mereka mengumpulkan dana membeli dua ekor babi untuk disembelih. Kegiatan itu dilakukan terakhir sekitar lima tahun lalu dan tak berlanjut lantaran kesibukan yang tak memungkinkan.
Sementara Rittar bercerita, dulu di lorong rumah orangtuanya di Banjar Danau Toba, Laguboti, Kabupaten Tobasa, ada 50 kepala keluarga. Warga berpatungan sesuai kemampuan. Kalau ada keluarga yang mampu mungkin uang patungannya jauh lebih besar, sedangkan yang kurang mampu menyumbang tenaga. Biasanya setiap tahun, panitia ditunjuk secara bergilir.
Manortor
Sementara it, pertemuan pada malam tahun baru, ada yang melakukan tanpa menyembelih hewan. Elselina Sipayung (67), warga Pancoran, Jakarta Selatan, bersama keluarga besar satu ayah dan ibu hingga generasi keempat setiap malam Tahun Baru rutin berkumpul. ”Tradisi itu terhenti karena pandemi sehingga kami hanya keluarga inti berkumpul di rumah,” kata pensiunan bidan di RS Budi Kemuliaan Jakarta yang biasa dipanggil Nyak Hilda.
Untuk mengobati kerinduan, antarsaudara lalu saling berkomunikasi lewat panggilan video. ”Namun, tanggal 31 Desember nanti kami mau pakai Zoom. Biar serulah, kami ada 100-an anggota keluarga, termasuk anak-anak,” ujar Else yang lahir di Negeri Dolok, Simalungun, Rabu (22/12/2021).
Selain saling introspeksi, acara tepat di pergantian tahun itu juga untuk saling memaafkan dan tentu saja ada hiburan. Menurut Else, acara hiburan juga menjadi acara paling ditunggu seusai acara inti. Saat Natal, ia dan keluarga besar biasa berkumpul di salah rumah anggota keluarga untuk kebaktian keluarga, makan bersama, lalu menyanyi dan manortor (menari). Pada pergantian tahun, setelah acara inti selesai, istirahat beberapa jam, paginya diisi hiburan yang tentu saja ada kesempatan untuk menyanyi dan menari.