Setelah melewati tahun penuh kehilangan, para penyintas pandemi merayakan Natal dengan rasa syukur. Mengingatkan kita untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan hidup dan terus merawat harapan.
Oleh
YOLA SASTRA, AGUIDO ADRI, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, ABDULLAH FIKRI ASHRI, MELATI MEWANGI
·5 menit baca
Tahun 2021 menjadi salah satu masa sulit bagi Fransiska Amara Nilam (25). Gelombang kedua pandemi Covid-19 telah merenggut sosok ayah di tengah keluarganya. Walakin, warga Sleman, DI Yogyakarta, ini berupaya memaknai Natal dengan mensyukuri apa yang masih diberikan Tuhan sampai hari ini.
Perayaan Natal bersama keluarga tahun ini tentu terasa kurang. Untuk pertama kalinya, tidak ada lagi ayah di rumah. Perempuan yang bekerja sebagai pelatih moderator konten media sosial ini pun hanya merayakan Natal di rumah bersama ibu, adik laki-laki, bude, dan mbahnya.
Ibadah Natal yang sudah bisa ia hadiri secara langsung bersama teman-teman di gereja bisa sedikit mengurangi rasa kehilangan itu. Ini berbeda dengan Natal tahun lalu ketika ibadah dilakukan daring di rumah, saat itu masih lengkap dengan kehadiran sang ayah.
”Rasa (kehilangan) itu lebih terasa kalau peristiwanya sama. Ini kebetulan berbeda, dulu daring, sekarang luring. Kepikiran tentang Bapak pasti ada, itu tidak hilang, tetapi setidaknya bisa mengurangi,” ujarnya.
Ayah Amara meninggal dalam usia 55 tahun pada 13 Juni 2021 dalam keadaan terpapar Covid-19. Sang ayah kemungkinan besar terpapar saat bekerja sebagai office boy di sebuah perguruan tinggi. Saat itu sedang puncak pandemi Covid-19 gelombang kedua akibat kemunculan varian Delta.
Suatu hari, ayah Amara mengalami demam. Ia beristirahat di rumah, tetapi hingga tujuh hari tidak kunjung sembuh. Ia pun dibawa ke rumah sakit, masuk instalasi gawat darurat (IGD), dan dinyatakan positif Covid-19. Setelah lima hari dirawat, ayah Amara meninggal karena gagal napas. Padahal, sang ayah tidak punya riwayat penyakit penyerta (komorbid).
Pada momen Natal ini, Amara berharap semua orang tidak menyia-nyiakan dan menyepelekan kesempatan hidup yang diberikan Tuhan meskipun kasus Covid-19 mulai reda, pembatasan melonggar, sebagian orang sudah divaksinasi, dan kehidupan seolah sudah kembali normal.
”Setidaknya kita harus membentengi diri. Kalau tidak, kita yang menjadi korban atau takutnya orang lain yang akan jadi korban atas kelalaian kita,” ujarnya.
Pada momen Natal ini, Amara berharap semua orang tidak menyia-nyiakan dan menyepelekan kesempatan hidup yang diberikan Tuhan meskipun kasus Covid-19 mulai reda.
Berkumpul bersama
Seperti Amara, tahun ini menjadi Natal pertama yang di rayakan Jonas (39) dan keluarga tanpa kehadiran sang ayah. Pada Mei 2021, ayahnya meninggal karena Covid-19.
Kepergian itu tentu tak diduga karena ayahnya termasuk sehat, dengan pola makan terjaga dan kebiasaan berolahraga rutin, meski sudah termasuk lansia. ”Kami kaget saat positif dan selang seminggu dipanggil (Tuhan). Semua percaya Papa pasti sembuh dan kita bisa berkumpul lagi, tetapi ternyata tidak,” kata Jonas.
Kegembiraan saat berkumpul bersama keluarga seperti tahun-tahun sebelumnya tentu terasa berkurang. Meski begitu, bukan berarti sukacita dan nikmat Natal ikut hilang. Kepergian sang ayah justru menyatukan keluarga besar Jonas untuk bersama merayakan Natal tahun ini.
Jonas menuturkan, kejadian itu begitu memukul adik bungsunya, yang sudah melewatkan empat kali momen Natal untuk pulang ke Bogor dan berkumpul bersama keluarga besar.
”Adik saya seperti ada penyesalan. Dia yang paling sedih karena baru bertemu Papa setelah Papa sudah di dalam peti, memakai kemeja biru muda dan selendang etnik Bali yang ia berikan saat Natal tahun lalu,” ujarnya.
Selepas kepergian sang ayah, adiknya berjanji untuk selalu menyempatkan pulang dalam kondisi apa pun. Ia tidak mau lagi menyesal.
Tahun ini, keluarganya tetap mempertahankan tradisi untuk merayakan Natal bersama. ”Kami ke makam Papa membawa kue natal, kopi, pohon natal kecil, sementara Mama membawa bunga dan kaktus. Kami tetap merayakan Natal bersama Papa,” ujarnya.
Hidup berjalan
Rintik hujan membasahi tanah Kota Bandung, Jawa Barat, saat Yongky Yulius (28) dengan khidmat berdoa di misa malam Natal 2021, Jumat (24/12/2021), selepas senja. Ucapan dari pendeta menjadi penguatnya meski Natal ini harus dia lalui tanpa sapaan sayang dari ibunya yang meninggal karena Covid-19.
”Baru tahun ini saya misa Natal ingat sendiri. Biasanya selalu diingatkan nyokap (ibu),” ujarnya sambil tersenyum.
Ucapan dari pendeta menjadi penguatnya meski Natal ini harus dia lalui tanpa sapaan sayang dari ibunya yang meninggal karena Covid-19.
Karena masih pandemi, Yongky memilih beribadah secara daring di rumah indekos. Yongky melipat tangan dan menunduk saat berdoa syafaat. Matanya terpejam, meresapi setiap doa yang diucapkan sang pelayan firman.
Meski ia terlihat tegar, Natal kali ini jauh berbeda selepas kepergian ibunya. ”Kebetulan waktu itu saya sedang bekerja dari rumah. Semua berjalan begitu cepat, hanya dua minggu setelah Ibu dinyatakan positif,” kenangnya.
Kehilangan ini menambah kesendirian Yongky karena ayahnya telah lebih dulu meninggal beberapa tahun silam. Namun, dia sadar, larut dalam kesedihan tak akan menyelesaikan masalah.
”Di satu sisi, saya merasa benar-benar berbeda. Kehilangan Ibu membuat saya merasa kosong. Tetapi, di sisi lain, ini hari kelahiran Yesus, jadi harus dimaknai dengan sukacita. Hidup harus tetap berjalan,” ujarnya.
Susanti (45) juga tak mau terus terpuruk selepas kepergian suaminya. Selama dua tahun terakhir ini, Natal baginya menjelma sepi. Ia masih ingat, petaka itu datang sebulan sebelum Natal tahun 2020.
Saat itu, ia dan suami sedang sibuk menyiapkan perayaan Natal di gereja. Namun, Filipus tiba-tiba sakit. Ia pilek, batuk, dan sesak napas.
Awalnya, keluarga mengira Filipus hanya sakit karena perubahan cuaca seperti biasanya. ”Kami enggak nyangka ternyata itu Covid-19. Suami saya sempat dirawat tiga hari di rumah sakit, tetapi meninggal akhir November,” kenangnya.
Sempat terpuruk, Susanti mencoba bangkit. Ia kembali berdagang dan aktif di gereja. Bahkan, ia turut memberikan makanan gratis bagi warga yang sedang menjalani isolasi mandiri. Susanti tak ingin kesulitannya saat isolasi dirasakan orang lain.
”Saya bangkit karena pengharapan sama Tuhan. Selama Tuhan memberikan kesempatan untuk berbakti, kenapa kita enggak menggunakan waktu itu? Saya bersyukur masih bisa hidup,” ungkapnya.
Amara, Jonas, Yongky, dan Susanti hanya segelintir dari ribuan hingga jutaan warga yang terpaksa merelakan orang yang mereka sayangi pergi akibat paparan Covid-19. Puncak jumlah kasus aktif di Indonesia tercatat pada 24 Juli 2021, ketika gelombang kedua Covid-19 menyerang. Saat itu, ada 574.135 kasus aktif. Pada Juli 2021, lebih dari 35.000 orang meninggal akibat Covid-19.
Pada momen Natal kali ini, yang kembali harus dirayakan di tengah pandemi dan kemunculan varian baru, rasa syukur dan harapan yang tetap mereka panjatkan mengingatkan kita untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan hidup yang telah diberikan Yang Kuasa.