Pandemi Covid-19 dua tahun terakhir tidak hanya merenggut nyawa warga, tetapi juga menyisakan duka keluarga. Meski Natal kali ini tak lagi sebahagia sebelumnya karena ditinggal kerabat, harapan terus dirawat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 dua tahun terakhir tidak hanya merenggut nyawa warga, tetapi juga menyisakan duka bagi keluarga. Perayaan Natal kali ini pun tidak sebahagia sebelumnya karena ditinggal kerabat. Meski demikian, harapan tetap terpanjat di hari yang penuh berkat.
Peringatan Natal bagi Susanti (45) kini tak lagi sama dengan sebelumnya. Pandemi Covid-19 memaksanya tidak bisa bertatap muka dengan keluarganya. Bahkan, suaminya, Filipus Aay (52) harus pergi untuk selamanya karena terpapar virus korona baru.
Sore itu, Sabtu (25/12/2021), Susanti bersama anaknya, Gabriel Theresia (12), hanya bersilaturahmi dengan saudaranya. “Saudara dari luar kota enggak pada kumpul, takut bawa virus. Ibu saya juga sudah tidak muda lagi,” ujar warga Pekalipan, Kota Cirebon, Jawa Barat itu.
Susanti pun menjalankan ibadah secara virtual karena pengunjung gereja dibatasi. Sudah dua tahun terakhir sejak pandemi Covid-19, Natal baginya menjelma sepi. Ia masih ingat petaka itu datang sebulan sebelum perayaan Natal 2020.
Saat itu, ia dan suami sedang sibuk menyiapkan peringatan Natal di gereja. Susanti berperan sebagai paduan suara sedangkan suaminya bertugas mendokumentasikan kegiatan. Namun, Filipus tiba-tiba sakit. Ia pilek, batuk, dan sesak napas.
Keluarga mengira Filipus sakit karena perubahan cuaca seperti biasanya. “Kami enggak nyangka ternyata itu Covid-19. Suami saya sempat dirawat tiga hari di rumah sakit. Tapi, meninggal akhir November 2020. Semua persiapan Natal buyar,” kenangnya.
Ia tak sempat menemani sang suami di detik-detik akhir kehidupannya. Bahkan, Susanti dan anaknya harus terkurung di rumah selama 14 hari karena isolasi mandiri. Momentum ibadah dan makan bersama suami saat Natal tidak bisa lagi ia rasakan.
Sempat terpuruk, wirausaha ini mencoba bangkit. Ia kembali berdagang dan aktif di gereja. Bahkan, bersama Radio Suara Gratia, ia turut memberikan makanan gratis bagi warga yang menjalankan isolasi mandiri. Susanti tak ingin kesulitannya saat isolasi dirasakan orang lain.
“Selama Tuhan memberikan kesempatan berbuat, berbakti, kenapa kita enggak gunain waktu itu? Saya bersyukur masih bisa hidup,” ungkapnya.
Selama Tuhan memberikan kesempatan berbuat, berbakti, kenapa kita enggak gunain waktu itu?
Semangat hidupnya juga masih menyala karena pesan mendiang suaminya. “Kalau kita mengerjakan sesuatu untuk orang lain harus tulus. Lakukan semua itu untuk Tuhan meskipun orang yang kita bantu tidak mengingatnya,” ujar Susanti, menirukan ungkapan almarhum suaminya.
Meskipun sepi, Susanti berharap, Natal kali ini memberikan damai bagi semua orang. Ia berharap pandemi cepat berlalu dan tidak ada lonjakan kasus baru lagi agar orang-orang bisa menjalani hidup tanpa dibatasi ketakutan lagi.
Natal tahun ini bagi keluarga Kristo D Komar (54) juga berbeda dengan sebelumnya. Ayahnya, Bontot Komar, dan ibu sambungnya, Yumiko Kashu, tak lagi bisa berkumpul bersama di hari yang kudus itu. Keduanya berpulang untuk selamanya setelah terpapar Covid-19.
Keluarga Kristo, warga Kota Cirebon, Jawa Barat, terdiri dari beragam latar belakang agama dan pekerjaan. Kristo beragama Islam sedangkan istrinya Kristen. Mendiang ayahnya juga Islam sedangkan keluarga lainnya Nasrani. Meski demikian, Natal selalu menjadi ajang berbaur di keluarga mereka.
“Kalau Natal, kami makan bareng. Biasanya juga ada pembagian angpao (uang saku)untuk anak-anak dan cucu-cucu. Bapak dan Ibu Yumiko yang ngasih,” ujar Kristo di rumahnya di Blok Sigendeng, Kelurahan dan Kecamatan Kesambi, Rabu (22/12/2021).
Sebagai perajin batik, Yumiko juga kerap mengabadikan momen Natal dalam gambar. Ciri khas sketsa warga asal Jepang itu adalah corak pinguin dengan perpaduan warna hitam dan putih. “Biasanya, dia gambar pinguin pakai topi santa dan ucapan Merry Christmas,” lanjut Kristo.
Momen itu tak mungkin terulang lagi. Yumiko (60) dan Komar (86) telah tiada. Kristo mengisahkan, petaka itu terjadi kala pertengahan 2021. Pada 26 Juni, keduanya drop dengan gejala demam, batuk, dan sesak napas. Mereka dinyatakan positif Covid-19.
Kristo tak tahu dari mana orangtuanya tertular virus tak kasat mata itu. Akan tetapi, saat itu, penyebaran Covid-19 memasuki gelombang kedua. Ruang isolasi di rumah sakit dipadati pasien Covid-19, termasuk Kristo yang kepayahan mencari ruangan untuk keluarganya.
Ia mendatangi tiga rumah sakit dan menunggu berjam-jam untuk mendapatkan ruangan isolasi. “Bahkan, ada keluarga pasien yang sudah menunggu tiga hari. Kami putuskan pulang dan merawat bapak di rumah saja. Padahal, bapak sudah tak sadar,” ujarnya.
Meskipun dibantu perawat, penanganan pasien Covid-19 dengan gejala berat di rumah sungguh sulit. Tabung oksigen, misalnya. Keluarga baru mendapatkannya pukul 03.00 setelah dipesan sejak pukul 15.00. Apalagi, empat anggota keluarga juga kala itu sedang terpapar Covid-19, termasuk Kristo.
Pada 29 Juni pagi hari, Yumiko yang didiagnosis menderita diabetes dan tekanan darah tinggi dinyatakan meninggal dunia. “Bapak saya enggak tahu ibu Yumiko meninggal sampai bapak juga sudah tidak ada 5 Juli,” paparnya.
Kendati Yumiko dan suaminya tak lagi berkumpul dalam Natal kali ini, keluarga tetap memanjatkan doa kepada mereka. “Kami akan menjaga batik-batik peninggalan ibu Yumiko. Termasuk masker dengan corak pinguin. Meski sudah tiada, ibu seolah tetap mengingatkan kami untuk menjalankan protokol kesehatan,” tutupnya.