Pemkot Surakarta Akan Kelola Kawasan Sriwedari Jadi Ruang Publik
Sengketa kawasan Sriwedari antara ahli waris dan Pemerintah Kota Surakarta tak kunjung rampung. Namun, pemerintah bakal berjuang untuk membuat kawasan tersebut tetap menjadi milik publik.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Sengketa kawasan Sriwedari antara ahli waris dan Pemerintah Kota Surakarta tak kunjung rampung. Namun, pemerintah bakal berjuang untuk membuat kawasan tersebut tetap menjadi milik publik. Nantinya, kawasan tersebut hendak dijadikan ruang publik yang diisi beragam kegiatan kebudayaan.
”Pemerintah Kota Surakarta akan terus berupaya dan berjuang agar tanah Sriwedari tetap menjadi ruang publik bagi masyarakat Surakarta,” kata Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, di Bale Tawangarum, Balai Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (24/12/2021).
Gibran menegaskan komitmennya untuk selalu merawat dan memelihara kawasan tersebut. Pasalnya, kawasan itu tergolong kawasan cagar budaya dan lekat dengan sejarah. Pihaknya akan mengembalikan fungsi kawasan tersebut sebagai ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan publik.
Sekretaris Daerah Kota Surakarta Ahyani Sidik mengungkapkan, pengembangan kawasan Sriwedari sudah masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) serta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dari kota tersebut. Adapun fokus pengembangan kawasan mengedepankan basis kebudayaan mengingat kuatnya unsur sejarah di sana.
Pemerintah Kota Surakarta akan terus berupaya dan berjuang agar tanah Sriwedari tetap menjadi ruang publik bagi masyarakat Surakarta.
Luas kawasan Sriwedari lebih dari 9 hektar. Sejumlah bangunan yang terdapat di kawasan tersebut meliputi Museum Radya Pustaka, Gedung Wayang Orang Sriwedari, Stadion Sriwedari, Museum Keris, dan kompleks Taman Sriwedari.
”Menurut rencana, Gedung Wayang Orang Sriwedari akan dibuat menjadi museum. Lalu, kami akan membangun gedung pertunjukan baru yang lebih modern,” kata Ahyani.
Lebih lanjut, Ahyani menyatakan, pihaknya juga akan merevitalisasi Taman Segaran yang selama ini terbengkalai di kawasan tersebut. Kelak, taman itu akan dijadikan ruang publik yang juga bisa diramaikan dengan pertunjukan budaya. Konsep revitalisasinya tetap didasarkan pada desain lama dari kawasan tersebut.
Namun, kendala yang dihadapi berupa belum rampungnya urusan sengketa terkait lahan Sriwedari. Sengketa itu terjadi antara ahli waris Wirjodiningrat sebagai pemilik lahan dengan Pemkot Surakarta. Puluhan tahun lamanya sengketa tersebut telah berlangsung.
Anwar Rachman, kuasa hukum ahli waris Wirjodiningrat, menyatakan, lahan Sriwedari secara sah menjadi milik para ahli waris. Pernyataan itu didasari putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, yaitu Putusan Mahkamah Agung RI No:3000-K/Sip/1981 juncto No: 125-K/TUN./2004, No:3249-K/Pdt/2012.
Menurut putusan tersebut, kata Anwar, ahli waris berhak atas tanah seluas 99.889 meter persegi. Kepemilikan ditandai dengan adanya akta jual beli No 10, tanggal 13 Juli 1877, dari Notaris Pieter Jacobus, Eigendom Verponding No 295 (RVE 295) dan Akta Asisten Resident Surakarta 05 Desember 1877 No 59 atas nama Raden Mas Tumenggung (RMT) Wirjodiningrat.
”Mereka (Pemkot Surakarta) sudah berkali-kali menggugat, tetapi tidak pernah bisa dibuktikan. Setelah ini, seharusnya eksekusi,” ucap Anwar.
Sementara itu, Wahyu Winarto, kuasa hukum Pemkot Surakarta, mengungkapkan, ada yang janggal dari putusan yang menyatakan kepemilikan ahli waris atas lahan Sriwedari. Pada sidang awal, lahan yang diajukan hanya seluas 3,4 hektar. Namun, dalam putusan akhirnya, kepemilikan lahan menjadi lebih dari 9 hektar. Di lahan tersebut, lanjut Wahyu, ada sejumlah lahan yang masih berstatus hak pakai (HP) dari Pemkot Surakarta. Lahan-lahan tersebut ialah HP 40, 41, 42, dan 26.
Menanggapi hal itu, Kepala Seksi Sengketa Kantor Pertanahan Kota Surakarta Slamet Suhardi mengungkapkan, eksekusi atas tanah yang dinyatakan sah milik ahli waris, menurut RVE 295, tidak bisa dilakukan. Sebab, Pemkot Surakarta juga masih punya hak pakai yang sah.
Di sisi lain, ujar Slamet, yang menjadi obyek sita adalah lahan RVE 295. Lahan tersebut sudah tidak dikenal. Lahan yang bisa dieksekusi hanya lahan dengan status hak milik atau hak guna bangun berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. ”Tidak bisa diajukan eksekusi karena bukan hak atas nama tanahnya, tetapi hanya RVE 295,” kata Slamet.