Pemkot Cirebon Akui Warga Sulit Lepas dari Tambang Ilegal
Pemkot Cirebon telah berupaya menjalankan program alih profesi bagi petambang pasir di Argasunya. Namun, program itu belum optimal.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pemerintah Kota Cirebon, Jawa Barat, mengakui, warga di Kelurahan Argasunya belum sepenuhnya lepas dari tambang pasir. Selain minim lapangan kerja, program alih profesi yang pernah dijalankan juga tidak optimal. Padahal, aktivitas galian C itu ilegal dan menelan korban jiwa.
Sekretaris Daerah Kota Cirebon Agus Mulyadi mengatakan, pemkot sudah membuat program alih profesi bagi petambang pasir di Argasunya. Program itu berupa usaha peternakan sapi hingga pengolahan plastik.
”Ternyata belum berhasil karena alih profesi itu jangka panjang. Masyarakat butuh uang untuk bisa hidup hari itu,” katanya, Jumat (24/12/2021).
Peternakan sapi, misalnya, menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mendapatkan keuntungan. Adapun lahan pertanian nyaris tidak ada di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti. Daerah itu berupa lahan tandus yang kekeringan setiap kemarau. Argasunya juga menjadi tempat pembuangan akhir sampah.
Akhirnya, warga hampir tidak punya pilihan mata pencarian lain kecuali tambang pasir. Padahal, selain dilarang berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 16 Tahun 2004, galian C itu juga beberapa kali menelan korban jiwa. Pada Kamis (23/12/2021), Rohim (50), warga setempat, tewas tertimbun pasir bersama sebuah truk.
”Pengawasannya langsung (seharusnya) oleh Satpol PP Provinsi Jabar karena ada perda provinsi yang mengaturnya. Ini jadi bahan evaluasi kami,” ungkap Agus. Pihaknya akan merumuskan program alih profesi yang menghasilkan uang untuk kebutuhan warga sehari-hari. Pihaknya belum bisa memastikan penerapan program itu.
Surip, Ketua RW 010 Kelurahan Argasunya, mengatakan, sekitar 30 persen dari 1.000 jiwa di daerahnya bergantung pada galian C. Mereka menjadi tukang gali, buruh angkut, sopir truk, hingga pemecah batu. Dalam sehari, buruh galian bisa meraup Rp 50.000 hingga Rp 150.000.
Pihaknya beberapa kali meminta warga agar tidak lagi menggali pasir. Apalagi, galian C juga mulai mendekati permukiman warga. ”Tapi, banyak warga yang datang gali pasir untuk cari makan. Dari luar Argasunya juga ada. Kalau bisa, mah, alih fungsi (profesi),” ujar Surip.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Cirebon mencatat, penambangan yang dimulai sejak 1980-an itu telah membuat 48,3 hektar lahan kritis atau sekitar 7 persen dari 675 hektar luas Argasunya. Bekas galian C tersebar di Kampung Kopi Luhur, Sumur Wuni, Cibogo, Surapandan, dan Kedung Jumbleng.
Dari pendataan 2018, Dinas Lingkungan Hidup Kota Cirebon mencatat, daerah bekas tambang pasir merupakan tanah milik 137 warga. Sebagian besar dari 18.541 penduduk Argasunya juga masih menggantungkan hidup pada galian C yang masih aktif.
Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Fahri Siregar berjanji mengusut tuntas kasus itu. ”(Galian) ini kategorinya ilegal. Kita akan laksanakan (penyelidikan) sesuai prosedur karena ada kelalaian yang menyebabkan orang meninggal. Kami akan kenakan pasal pidana sesuai perundang-undangan,” ucapnya.