Danau Toba Jangan Hanya Andalkan Keindahan Alam dan Pembangunan Infrastruktur
Membangun pariwisata Danau Toba tidak cukup mengandalkan keindahan alam dan infrastruktur. Direktorat Jenderal Kebudayaan menghidupkan kembali ekosistem kebudayaan di Danau Toba. Kebudayaan pun menggeliat lagi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Membangun pariwisata Danau Toba tidak cukup hanya mengandalkan keindahan alam dan pembangunan infrastruktur. Selain itu, ragam promosi dan pengembangannya jangan hanya berhenti sebagai program pemerintah, tetapi mampu hidup di tengah masyarakat.
”Aktivitas kebudayaan semakin hidup di tengah masyarakat kawasan Danau Toba, seperti desa adat, sanggar seni, seniman tenun ulos, budayawan, hingga kiprah perajinnya,” kata Direktur Pelindungan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Irini Dewi Wanti dalam acara Malam Apresiasi Seni Budaya di Medan, Sumut, Selasa (21/12/2021) malam.
Acara itu merupakan penutupan program Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh-Sumut, unit kerja di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, di kawasan Danau Toba. Acara ini dihadiri komunitas kebudayaan, pegiat budaya, akademisi, dan pekerja seni. Pertunjukan seni musik tradisi digelar dalam kesempatan itu.
Irini mengatakan, berbagai program dilaksanakan untuk menghidupkan lagi ekosistem kebudayaan di Danau Toba. Beberapa di antaranya adalah pengelolaan desa adat, pertunjukan sendratari Warna Danau, atraksi Komunitas Budaya Anak Danau, dan festival musik tradisional.
”Selain itu, kami juga menyusun dan menerbitkan Ensiklopedia Kebudayaan Kawasan Danau Toba, pemberdayaan perajin di Danau Toba, dan terakhir Ulos Extravaganza,” kata Irini.
Pelaksana Tugas Kepala BPNB Aceh-Sumut Nurmatias mengatakan, kebudayaan merupakan satu dari tiga unsur pembangunan Danau Toba sebagai anggota UNESCO Global Geopark. Dua unsur lain adalah geologi dan keanekaragaman hayati.
”Saya berharap progam ini bermanfaat bagi pemajuan kebudayaan di Sumut, khususnya kawasan Geopark Danau Toba,” kata Nurmatias.
Direktur Rumah Karya Indonesia Marojahan Manalu yang menjadi salah satu kurator dalam program itu mengatakan, kegiatan jangan hanya berhenti dalam program kerja pemerintah saja. ”Ekosistem kebudayaan harus benar-benar hidup di tengah masyarakat Danau Toba. Harus ada masyarakat yang menghidupi kebudayaan dan keseniannya,” kata Marojahan.
Ia mengapresiasi masyarakat di beberapa desa yang sudah mulai menghidupi kebudayaannya, seperti Desa Meat di Kabupaten Toba dan Desa Tipang di Humbang Hasundutan. Di Desa Meat kini hidup Sanggar Meat Na Bisuk dengan anggota lebih dari 60 anak-anak dan remaja. Mereka melakukan kegiatan seni tradisi, khususnya tari dan musik.
”Sebelumnya, kalau mau buat pertunjukan tari di Danau Toba harus mendatangkan anak-anak seni dari Kota Medan. Kini, anak-anak dari Danau Toba yang mengisi pertunjukan-pertunjukan seni di sana,” kata Marojahan.
Desa Meat juga kini semakin hidup lewat komunitas partonun (petenun) ulos, khususnya ulos ragihotang. Motif ulos itu berasal dari Desa Meat dan kini sudah bertambah lagi jumlah partonun ulos. Kini, anggotanya lebih kurang 25 orang.
Kegiatan kesenian dan kebudayaan itu pun tidak hanya mendukung pariwisata. Semuanya ikut menghidupi perekonomian masyarakat serta melindungi dan menghidupi lagi kebudayaan di Toba.
Ke depan, Marojahan berharap program itu berkelanjutan di tengah masyarakat. Potensi kesenian dan kebudayaan pun sangat besar untuk dikembangkan menjadi daya tarik pariwisata di Danau Toba.