Oknum Perwira Polisi Ancam dan Intimidasi Jurnalis, Polda NTT Minta Maaf
Seorang perwira di Polda NTT mengintimidasi dan mengancam jurnalis yang tengah meliput rekonstruksi kasus pembunuhan di daerah tersebut. Setelah didesak, Polda NTT akhirnya meminta maaf.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Rekonstruksi kasus pembunuhan terhadap Astri Manafe (30) dan anaknya, Lael (1), di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (21/12/2021), menuai kecaman. Penyebabnya, ada oknum perwira polisi yang melarang dan mengintimidasi jurnalis yang melakukan liputan di lokasi itu.
Tak terima dengan perlakuan tersebut, puluhan jurnalis di Kota Kupang menggelar aksi damai di depan Markas Kepolisian Daerah NTT pada Rabu (22/12/2022) siang. Oknum anggota tersebut bernama Ajun Komisaris Laurens yang bertugas di Direktorat Kriminalisasi Umum Polda NTT.
Menurut informasi yang dihimpun Kompas, oknum perwira itu melarang Irvan, jurnalis Pos Kupang, mengambil video. Padahal, oknum itu tahu bahwa orang yang dilarang adalah jurnalis. ”Dari mana?” tanyanya. ”Dari Pos Kupang,” jawab Irvan.
Perwira itu kemudian meminta anak buahnya untuk mengambil dan memeriksa telepon genggam milik Irvan. Jika ada gambar, mereka diminta menghapusnya. Ada anggota yang sempat berusaha mengambil telepon genggam itu, tetapi tidak berhasil.
Video bernada intimidatif dan ancaman yang direkam Irvan kemudian beredar di media sosial sehingga menuai tanggapan beragam dari publik. Simpati pun mengalir kepada jurnalis, sementara kecaman mengarah ke Polda NTT. Bahkan, muncul tundingan bahwa ada yang tidak beres dengan proses penyidikan di Polda NTT.
Rekonstruksi tersebut merupakan rangkaian dari proses penyidikan dengan tersangka Randi (31). Randi diduga melakukan pembunuhan berencana terhadap Astri dan Lael. Astri merupakan selingkuhan Randi dan Lael adalah anak dari hubungan mereka.
Laurensius Leba Tukan, jurnalis senior di NTT, menyatakan, oknum perwira Polda NTT itu mencederai asas kebebasan pers dalam mengumpulkan informasi. Rekonstruksi dimaksud berlangsung di ruang publik sehingga jurnalis dapat meliput kegiatan tersebut.
”Mengapa sampai polisi mengintimidasi dan mengancam kegiatan jurnalistik. Ini ada apa? Apa yang sedang disembunyikan dari rekonstruksi ini? Jika ada orang yang menghalangi kerja pers, ia sedang melindungi sebuah kejahatan,” ujar Laurens.
Jhon Seo dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kupang mengatakan, larangan dan ancaman oknum polisi ini dinilai sebagai upaya menghalang-halangi kerja pers, seperti yang diamanatkan Pasal 4 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. AJI mengecam tindakan oknum polisi tersebut.
”Kami menyesalkan tindakan oknum anggota kepolisian yang melarang dan mengancam wartawan saat melakukan kerja-kerja jurnalistik. Kami meminta Kapolda NTT untuk memberikan sanksi bagi oknum polisi yang menghalangi kerja-kerja jurnalistik,” katanya.
AJI juga mendesak agar oknum anggota polisi itu meminta maaf secara terbuka ke publik. Jika tuntutan ini tidak diindahkan dalam waktu 2 x 24 jam, AJI Kota Kupang akan membawa masalah ini ke Mabes Polri.
Kepala Bidang Humas Polda NTT Komisaris Besar Rishian Krisna mengatakan, ada kesalahpahaman antara oknum polisi tersebut dan wartawan. Kondisi itu terjadi secara spontan. Pihaknya juga menyayangkan kejadian tersebut.
”Kejadian kemarin juga menusuk hati nurani kami. Kami mohon maaf. Ini mungkin menjadi pelajaran bagi kami ke depan untuk menjadi lebih baik lagi. Semoga ini menjadi yang terakhir, ke depan kami lebih baik lagi,” kata Krisna.