Menelisik Jejak Raja-raja Bintauna di Bolaang Mongondow Utara
Tiga abad lalu berdiri sebuah kerajaan bernama Bintauna di hamparan di antara perbukitan utara Pulau Sulawesi. Namun, kini Bintauna layaknya reruntuhan kejayaan masa lalu yang terlupakan, terbenam dalam arus zaman.
Tiga abad lalu berdiri sebuah kerajaan bernama Bintauna di atas hamparan padang luas yang dikelilingi perbukitan utara Pulau Sulawesi. Peradabannya berkembang disokong tanah yang subur dan sungai-sungai yang tak pernah kering. Namun, kini Bintauna layaknya reruntuhan kejayaan masa lalu yang terlupakan, hanyut dalam derasnya arus zaman.
Ersad Mamonto (26) berangan-angan suatu saat Bintauna, kampung halamannya, bisa termashyur di Nusantara karena kekayaan sejarah dan budayanya, paling tidak di kalangan penggemar sejarah. ”Ada cita-cita kami untuk menggerakkan pariwisata pada masa depan,” katanya, Selasa (16/11/2021), di Desa Vahuta.
Angan itu bukan tanpa alasan. Bintauna dan Sangkub, dua kecamatan di Bolaang Mongondow Utara, Sulawesi Utara, yang dulu masuk dalam wilayah Swapraja Bintauna, hingga kini masih mempertahankan keutuhan warisan budayanya. Wujudnya adalah delapan situs makam raja-raja yang tersebar di wilayah pedalaman dan dekat pesisir.
Makam-makam itu belum berstatus cagar budaya sehingga tiada pihak yang secara resmi ditugaskan merawatnya. Maka, Ersad dan puluhan pemuda yang tergabung dalam paguyuban mahasiswa bernama Inomasa Study Club mengambil inisiatif.
Mereka rutin berkunjung ke makam untuk memangkas tanaman liar yang tumbuh di sekitarnya. Namun, bagi mereka kegiatan tersebut lebih sakral daripada sekadar bersih-bersih. Itulah saat untuk berziarah dan menapaktilasi jejak para leluhur pendiri Bintauna, sebagaimana telah mereka jadwalkan pagi itu.
Jejak makam raja
Perjalanan 23 kilometer dari Desa Vahuta di Bintauna menuju pedalaman Pangkusa, Sangkub, butuh waktu hampir sejam. Rute itu berujung di tepi Sungai Boyaw, dekat Bendungan Sangkub. Enam perahu motor alias katinting tertambat di sana, siap membawa rombongan 30-an pemuda dan beberapa tetua adat melintasi waktu menuju negeri lama Bintauna.
Konon, nama Bintauna berasal dari dua kata, yaitu vinta yang artinya bintang dan o una-una yang artinya terdahulu. Legenda menyebutkan, nama itu muncul ketika seorang pria bernama Sahaya memimpin sukunya mengarungi air bah dengan kapal seperti Nabi Nuh. Di tengah guncangan badai, ia melihat sebuah cahaya seperti bintang jauh di sebuah pulau, lalu mengarahkan haluannya ke sana untuk mendirikan negeri.
Tempat yang ditunjuk Sahaya itu kini dikenal sebagai Desa Huntuk. Dari sana, suku Bintauna diceritakan hidup berpindah-pindah selama ratusan tahun hingga mereka sampai di tempat bernama Ra’a Minanga pada abad ke-17. Di sanalah Kerajaan Bintauna didirikan dengan Paduka Morete’o sebagai raja pertama yang memimpin pada 1675-1720.
Kini, Ra’a Minanga tak ubahnya dataran mahaluas di antah berantah. Hanya sawah, ladang jagung, dan lambaian nyiur berlatar bukit-bukit hijau yang terbentang di depan mata. Tak ada satu puing istana pun yang dulu ditempati Morete’o, apalagi permukiman warga. Namun, di sanalah para peziarah dapat ”berjumpa” dengan sang raja.
Morete’o disemayamkan dalam sebuah kubur batu yang berundak dengan sebuah limas persegi panjang sebagai puncaknya, mirip atap rumah gadang. Ada tiga makam lain yang mendampinginya, diduga milik permaisuri serta pasangan pendeta kerajaan. Makam itu pun sekaligus menjadi penanda Kerajaan Bintauna pernah eksis di sana.
Yanti Datunsolang (55), salah satu penggiat budaya, menyebut makam-makam itu terbuat dari pasir dan kerikil yang dicampur batu karang. Bentuknya tak pernah berubah. Pada 2008 masyarakat mempertegas batas-batas antara makam dan perkebunan warga dengan membangun sebuah pagar batu dengan gapura yang letaknya tidak tepat di tengah.
Baca juga : Menabuh Kulintango, Menyelamatkan Bintauna
Yadi Mulyadi, pengajar Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, yang pernah meneliti makam tersebut bersama tim Balai Arkeologi Sulut, mencatat bahwa bagian kepala dan kaki makam-makam itu mengarah ke timur dan barat. Dapat dipastikan makam itu bukan makam Islam.
Karena itulah, setelah membersihkan makam, seorang pemangku adat bernama Ismail Paulus memimpin penghormatan dengan menyerukan Tivato, tuturan adat dalam bahasa Bintauna. Melalui Tivato, ia mengungkapkan kerinduan mereka terhadap leluhur dan meminta restu bagi kunjungan mereka.
Sebaliknya, di makam Raja Patilima Datunsolang yang hanya 200 meter dari Morete’o, para peziarah berdoa secara Islam. Beberapa sejarawan Sulut mencatat raja ketiga Bintauna itu sebagai raja pertama yang memeluk Islam. Ia dilantik pada 1783 di Kesultanan Ternate. Karena itu, makam Patilima yang berbentuk persegi dengan sudut-sudut yang meruncing ke atas itu telah mengarah pada kiblat.
Ziarah makam mereka lanjutkan dengan mengarungi sungai lagi menuju daerah yang disebut Lasako. Di atas sebuah bukit kecil terbaring raja kedua Bintauna, Datu, yang memerintah selama 1720-1783. Konon, raja saat itu diberi gelar Datu ro no solako, atau ”Datu telah dewasa”. Dari situlah muncul marga Datunsolang, trah pemimpin Bintauna.
Sayangnya, jirat makam Raja Datu kini sudah rusak. Bebatuan yang menyusunnya pecah berserakan. Ismail Paulus mengatakan, makam itu dirusak orang-orang yang meyakini ada harta karun tersimpan di dalamnya. Walakin, para peziarah tetap membersihkan dan merapikan makam, lalu menaburkan bunga tanda penghormatan bagi sang leluhur.
Perjalanan dilanjutkan melalui jalur darat ke dua situs makam di daerah yang disebut Voa’a dan Vantayo dekat Bendungan Sangkub. Para peziarah kemudian menuju Desa Pangkusa untuk menyambangi tiga situs lainnya. Di sana banyak pecahan tembikar yang berserakan di sekitar makam, terutama di dekat makam Kadi Sarubansa Datunsolang, pangeran yang menolak menjadi raja demi mempelajari agama.
Ersad pernah mengumpulkan sekarung penuh pecahan tembikar bersama kawan-kawannya. Menurut dia, puing-puing tersebut membuktikan ada kehidupan masa lampau di dataran luas yang kini kosong itu. Adapun makam para raja yang tersebar menunjukkan jejak perpindahan pusat kerajaan dari masa ke masa.
Ziarah berakhir di makam Raja Mohamad Toraju Datunsolang, raja kesembilan dan terakhir Bintauna yang memimpin selama 1895-1948. Letaknya di Desa Pimpi dekat pesisir Bintauna. Makam itu menandai ujung dari jejak kembara Kerajaan Bintauna sebelum ia bubar dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Istana
Selain makam, peninggalan Kerajaan Bintauna yang masih dapat dijumpai fisiknya adalah kompleks istana alias komalig yang diperkirakan berdiri sejak 1914 ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Pimpi. Komalig itu terletak di Kelurahan Bintauna, berseberangan dengan kantor camat, lurah, dan kepolisian.
Namun, komalig itu menandai pula pudarnya Bintauna dari ingatan warganya. Menurut cicit Raja Mohamad Toraju Datunsolang, Remi Pontoh (52), gedung utama istana sudah habis dilalap api antara tahun 1958 dan 1960 semasa pergolakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulut. Hanya bagian dapurnya yang tersisa.
Dapur itu telah dialihfungsikan menjadi rumah bagi cucu Raja Mohamad Toraju Datunsolang, yaitu Bobby Wellem Pontoh yang sudah berusia 80-an tahun. Kehidupan Bobby tampak terlampau sederhana sekalipun keturunan raja.
Beberapa tahun lalu, kata Remi, ada upaya pemerintah untuk membangun sebuah replika komalig di sana. Namun, rencana itu mandek di tengah jalan, menyisakan sebuah fondasi gedung yang mangkrak. ”Mungkin sudah tidak dianggarkan di APBD,” kata Remi.
Para keturunan kerajaan pun kini hidup tanpa bergelimang kemewahan. Remi mengatakan, mereka masih kerap bersua dalam pertemuan keluarga, tetapi tak ada urusan kerajaan ataupun warisan yang jadi bahasan sekalipun sang raja terakhir telah mengatur pembagiannya dalam secarik surat wasiat.
Literasi
Menurut Wakil Bupati Bolaang Mongondow Utara Amin Lasena, segala peninggalan sejarah dan budaya di Bintauna adalah aset berharga untuk mengembangkan pariwisata minat khusus sejarah. Apalagi, selain Bintauna, masih ada dua wilayah eks-swapraja lain di kabupaten yang menjadi jalur perlintasan antara Sulut dan Gorontalo itu, yakni Kaidipang dan Bolangitang.
”Banyak situs-situs budaya di Bolaang Mongondow Utara. Kalau semua informasi itu bisa dikumpulkan dan menjadi tulisan yang berharga, kita bisa ”menjual” daerah kita. Penelitian situs budaya harus dikembangkan, dan kami akan menggencarkannya pada 2022,” kata Amin, Sabtu (13/11/2021) lalu, di Desa Vahuta.
Namun, para pemuda Bintauna tak suka berpangku tangan menunggu realisasi janji pemerintah. Sejak 2018, paguyuban Inomasa Study Club telah membentuk lembaga bernama Pusat Studi Sejarah, Adat, dan Kebudayaan Bintauna untuk mengumpulkan fakta-fakta sejarah dan menjawab berbagai pertanyaan seputar ke-Bintauna-an.
Sejak 2020, para cendekiawan muda Bintauna juga telah memiliki laman web untuk memublikasikan hasil pemikiran dan penelitian mereka dalam bentuk esai. Beberapa tulisan juga membahas jejak-jejak arkeologi Kerajaan Bintauna. ”Kami bermaksud melempar wacana ke publik dengan tujuan mengembangkan kesadaran kultural,” kata Ersad.
Baca juga: Imin Tinumbia, Mengabadikan Warisan Sejarah Bintauna
Ersad yang kini menempuh studi Pascasarjana Ilmu Sejarah juga giat meneliti dokumen-dokumen lama yang membahas Bintauna. Berbagai arsip peninggalan kerajaan yang masih tersimpan ia digitalkan. Potongan demi potongan informasi pun dirangkai menjadi cerita utuh soal Bintauna.
Tentu Ersad tak sendiri. Misi itu semakin gencar setelah Inomasa Stucy Club mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Teras Inomasa serta merintis kampung literasi di Desa Vahuta yang fokus pada urusan kebudayaan. Para cendekiawan muda yang tergabung di dalamnya bahkan menerbitkan sebuah buku untuk menyebarluaskan karya-karya mereka soal Bintauna.
Sebuah transformasi pun sedang berlangsung di Bintauna. Saat masyarakat sadar akan akar kebudayaannya melalui literasi, Ersad yakin kesejahteraan akan menyusul. Untuk sementara, pariwisata memang bukan tujuan utama, tetapi mimpi itu tentu tak jauh panggang dari api.