Gerakan Literasi, Lompatan Besar Intelektual Muda Bintauna
Sebuah gerakan literasi mendadak masif di Bintauna, Bolaang Mongondow Utara. Motor penggeraknya adalah para pemuda yang resah. Mereka bertekad menyelamatkan nasib warisan budaya kampung halaman yang tergerus zaman.
Desa Vahuta tampak semarak, Sabtu (13/11/2021) siang itu. Sebuah panggung besar dengan dekorasi warna-warni didirikan di bawah tenda selebar jalan desa beserta mediannya. Warga riuh berkumpul menyaksikan pertunjukan dua penari muda berlenggang seiring irama rancak alat musik kulintango.
Atas restu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), hari itu Desa Vahuta ditetapkan sebagai kampung literasi pertama di Bolaang Mongondow Utara, sekaligus satu dari 30 kampung literasi terbaru di Indonesia. Pertunjukan seni, maraton puisi, loka karya literasi dan kebudayaan, serta ziarah makam raja-raja pun digelar untuk merayakannya.
Kampung Literasi Vahuta-Bintauna adalah buah kerja keras 24 pengurus dan 18 relawan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Teras Inomasa. Mereka adalah para pemuda yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Gorontalo, Manado, dan Minahasa lalu pulang kembali ke kampung halaman untuk mengabdi, salah satunya sebagai guru.
Bagi pembina TBM Teras Inomasa, Ersad Mamonto (26), pendirian kampung literasi menjadi lompatan besar dalam misi membangkitkan kesadaran masyarakat akan kekayaan adat, budaya, dan sejarah Bintauna. Semangat ini mereka jaga dalam nama inomasa pada TBM mereka, yaitu pohon keramat yang lambang kekuasaan Tuhan dalam hikayat lisan Bintauna.
”Awalnya kami hanya berniat mendirikan rumah baca, menyediakan bahan bacaan untuk masyarakat. Namun, kami butuh sesuatu yang transformatif,” katanya.
TBM ini adalah bentuk gerakan sosial kami.
Bintauna dahulu adalah sebuah swapraja yang dipimpin oleh raja selama hampir tiga abad, tepatnya pada 1675-1950. Daerah berpenduduk 12.000 orang itu pun kini bergelimang warisan budaya, mulai dari bahasa, seni musik dan tari, ritual adat, hingga peninggalan arkeologis dalam bentuk situs makam dan istana kerajaan.
Namun, kekayaan ini semakin dilupakan warga, terutama kalangan generasi muda. Ersad dan kawan-kawan pun ingin mempromosikan kembali segala warisan budaya Bintauna tersebut. ”TBM ini adalah bentuk gerakan sosial kami,” kata mantan guru Sejarah Indonesia di SMK Paramita Bintauna itu.
Salah satu langkah awal yang mereka ambil adalah menerbitkan buku berjudul Memotret Bintauna: Dari Sejarah, Budaya, Agama, hingga Kecintaan pada Tanah Leluhur. Isinya adalah kumpulan esai dengan tema arkeologi, permainan tradisional, dan kepemudaan yang telah terbit di situs laman mereka, Terasinomasa.online.
Ersad berharap buku ini dapat menjangkau pembaca muda, seperti anak SMA, serta masyarakat umum. ”Ini adalah cara kami untuk mengingatkan masyarakat Bintauna akan kekayaan warisan budaya di sekitar kita dan beragam persoalannya,” ujarnya.
Asriadi Lakoro (32), relawan TBM Teras Inomasa, mengatakan, TBM dapat mendorong minat baca masyarakat secara umum, terutama terkait profesi masing-masing. Sejak TBM didirikan pada April 2021, mulai banyak petani dan nelayan—dua mata pencarian utama di Bintauna—yang datang mencari buku.
Baca Juga: Bolaang Mongondow Utara Buat Regulasi Dukung Kampung Literasi
”Petani dan nelayan sudah tahu praktiknya dan sangat rajin, tetapi hidupnya begitu-begitu saja. Ini karena mereka tidak punya ilmu, misalnya, soal pengelolaan pascapanen. Masalah seperti ini bisa diatasi dengan menyediakan bacaan bagi masyarakat. TBM ini ada untuk menyejahterakan masyarakat,” tuturnya.
Dalam skala yang lebih besar, kehadiran TBM dapat berkontribusi memperbaiki peringkat minat baca Indonesia yang menurut indeks Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu yang tertarik membaca.
Masalah budaya
Pembentukan TBM Teras Inomasa dan Kampung Literasi Vahuta-Bintauna berakar dari suatu keresahan. Mereka menilai warisan budaya Bintauna yang adiluhung tengah menghadapi krisis eksistensial di era digital. Semakin hari, identitas kultural mereka sebagai orang Bintauna semakin pudar.
Gejalanya sangat nyata. Misalnya, hari ini tak banyak pemuda ataupun anak-anak yang mau bertutur bahasa Bintauna sekalipun mampu. Bahkan, kata seru yang umum digunakan sehari-hari, seperti amapa’i (maknanya ekuivalen dengan yaelah dalam dialek Jakarta) kini dianggap aneh, kuno, dan memalukan.
Jadi, generasi muda sekarang lebih suka mengikuti budaya populer dan memakai bahasa gaul.
Penggunaan bahasa lain, seperti Melayu Manado pun lebih populer. ”Kalau ada yang bicara bahasa Bintauna, mereka akan tegur ’Babahasa biasa jo kwa (Berbahasa biasa saja lah).’ Penyebabnya digitalisasi dan arus globalisasi. Jadi, generasi muda sekarang lebih suka mengikuti budaya populer dan memakai bahasa gaul,” kata Ersad.
Sadli Datunsolang (58), Ketua Lembaga Adat Kecamatan Bintauna, mengeluhkan hal yang sama. Bahasa Bintauna tidak dijadikan muatan lokal di sekolah sehingga anak-anak tidak mampu menuturkannya. ”Guru-gurunya juga hanya sedikit yang bisa,” ucapnya.
Di tataran seni budaya, Sadli mengatakan, sangat sulit menemukan anak-anak yang mau memainkan kulintango, alat musik yang terdiri dari tambur, gong, dan sejenis bonang dalam gamelan Jawa. Tari joke yang selalu ditampilkan bersama kulintango juga nyaris tak ada peminat, kecuali dua remaja. Sadli telah menawarkan jasa ke sekolah-sekolah untuk mengajarkan seni tersebut, tetapi tiada jawaban.
Nasib permainan tradisional pun tak kalah ironis. Tak ada lagi anak-anak yang bermain senapan bambu berpeluru biji jambu air yang disebut gogotupa, atau mainan dari batok kelapa yang bernama pingsika. Anak-anak bahkan tak lagi moingku ongkaku, yaitu ramai-ramai mandi dan berenang di sungai. Semuanya digeser oleh gim daring ponsel.
Baca Juga: Menabuh Kulintango, Menyelamatkan Bintauna
Ersad mengakui, masalah kebudayaan ini terkesan receh, apalagi pada masa di mana modernisasi tak mungkin dihindari. Namun, dampaknya bisa jadi sangat pelik jika tidak dikampanyekan dari sekarang. ”Ini masalah memupuk mental, identitas, dan kepercayaan diri terhadap nilai-nilai baik dalam warisan sejarah dan budaya,” ujarnya.
Bicara budaya, lanjut Ersad, juga berarti bicara tentang keterikatan manusia dengan tanah tempat tinggalnya. Mainan senapan gogotupa, misalnya, merupakan warisan budaya yang muncul dari pengetahuan orang Bintauna akan ruang hidupnya. Mereka mampu memanfaatkan bambu dan biji jambu air yang alam sediakan cuma-cuma sekadar untuk mendapatkan kebahagiaan.
”Kalau budaya dibiarkan hilang, kita juga kehilangan pengetahuan dan keterikatan dengan tanah kampung halaman kita. Kita hanya akan melihatnya sebagai tanah yang ditinggali tanpa rasa kepemilikan yang kuat. Kalau sudah begitu, apa artinya Bintauna bagi kami?” kata Ersad.
Muda
Sebelum TBM Teras Inomasa dibentuk pun, para pemuda Bintauna telah menaruh perhatian terhadap masalah kebudayaan. Mereka membentuk Inomasa Study Club (ISC) pada 2009, sebuah paguyuban beranggotakan mahasiswa asal Bintauna yang ingin merawat pengetahuan soal Bintauna.
Asriadi adalah salah satu pendirinya. Para anggota ISC, kata dia, melakukan kajian untuk menjawab berbagai pertanyaan terkait kampung halaman mereka. Bahkan, pada 2018 mereka membentuk sebuah ”lembaga coba-coba” bernama Pusat Studi Sejarah, Adat, dan Kebudayaan Bintauna (Pussakabin).
Pussakabin mewadahi ambisi para pemuda untuk melestarikan, salah satunya, bahasa Bintauna. Mereka nekat menyusun kamus Bintauna-Indonesia. Proyek itu kini masih berlangsung di bawah bimbingan Balai Bahasa Sulut sehingga lebih terarah dan ilmiah. ”Pussakabin kami gunakan untuk mengangkat lagi ke-Bintauna-an,” kata Asriadi.
Semasa pandemi Covid-19, ISC juga menjadi ruang bagi lahirnya Terasinomasa.online. Menurut Asriadi, platform itu menjadi sarana yang efektif untuk terus mengembangkan sekaligus menyebarkan pengetahuan soal Bintauna kepada generasi muda. Situs ini pula yang kemudian mendorong penerbitan buku Memotret Bintauna.
Lalu, mengapa para pemuda yang gencar mengampanyekan soal budaya di Bintauna? Menurut Ersad, itu sekadar karena para pemuda punya lebih banyak waktu ketimbang para orang tua. ”Kami juga dibekali pengetahuan dari studi di perguruan tinggi. Ini justru mendorong kami untuk kembali ke kampung dan melakukan sesuatu,” katanya.
Apresiasi
Para penggiat adat dan budaya Bintauna, seperti Sadli Datunsolang, pun mengaku senang dengan ketanggapan para pemuda. Ia selalu merasa dilibatkan dalam kegiatan yang mereka gelar, contohnya, lokakarya kulintango dan ziarah makam. ”Mereka selalu konsultasi dengan kami soal adat dan kebudayaan. Kami pun akan dukung terus pekerjaan mereka,” ujarnya.
Duta Baca sekaligus Ketua Forum TBM Sulut Faradilla Bachmid pun menilai TBM Teras Inomasa sebagai satu dari 89 organisasi literasi di Sulut yang berhasil. Pembentukan kampung literasi adalah prestasi pertamanya. Buku Memotret Bintauna yang dikemas dengan perspektif milenial juga menjadi pelepas dahaga akan literatur soal Bintauna.
Wakil Bupati Bolaang Mongondow Utara Amin Lasena bahkan berharap Kampung Literasi Vahuta-Bintauna dapat menjadi pemicu munculnya kampung literasi lain. Ia pun berambisi menjadikan Bolaang Mongondow Utara sebagai kabupaten literasi dengan menyediakan pendanaan bagi pegiat literasi di kabupaten tersebut.
”Mengajak orang membaca itu tidak gampang. Kampung literasi ini bisa menjadi solusi. Pemkab akan bekerja sama dengan semua pihak agar membaca bisa memiliki daya tarik yang kuat,” kata Amin.
Ersad mengamini perkataan Amin. Namun, menurut dia, penentu utama keberhasilan literasi bukanlah pendanaan, melainkan kerja sama. Di situlah nilai gotong royong Bintauna, Tiayo, harus diingat dan diterapkan agar literasi mentransformasi kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
Baca Juga: Imin Tinumbia, Mengabadikan Warisan Sejarah Bintauna