Pulau Kecil di Laut Flores Berisiko Tinggi Dilanda Gempa dan Tsunami
Pulau kecil di Laut Flores sangat rentan diguncang gempa dan diterjang tsunami. Kendati menyadari bahaya itu, warga enggan pergi dari sana.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
MAUMERE, KOMPAS — Pulau kecil yang berada di tengah kepungan Laut Flores berisiko diguncang gempa dan diterjang tsunami. Masyarakat setempat pun menyadari akan bahaya tersebut, tetapi mereka memilih tetap tinggal di sana. Edukasi mengenai mitigasi bencana dan evaluasi mandiri perlu terus digaungkan.
Kekhawatiran itu kembali diungkapkan warga setelah gempa bermagnitudo 7,4 mengguncang daerah itu pada Selasa (14/12/2021). Gempa susulan juga terus meneror mereka. BMKG mencatat, hingga Selasa (21/12/2021) pagi atau satu pekan setelah gempa pertama, telah terjadi 949 gempa susulan.
Suman (40), warga Pulau Dambila, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, menuturkan, sebagian masyarakat masih bermalam di lokasi perbukitan. Mereka khawatir terjadi gempa berpotensi tsunami. Gempa pada 14 Desember itu menghadirkan kembali trauma akan gempa dan tsunami yang terjadi 1992.
Juga ada yang memilih naik perahu motor untuk menyelamatkan diri. Pengalaman tsunami 1992, mereka yang naik perahu motor selamat semua (Suman).
Menurut dia, masyarakat setempat menyadari akan bahaya bencana, tetapi tidak mungkin meninggalkan pulau tersebut. Warga pulau mayoritas suku Bajo yang datang dari Sulawesi. Mereka biasanya membangun rumah panggung di atas permukaan air laut. Kehidupan mereka pun berada di laut.
Kendati demikian, mereka memiliki cara untuk menghindar jika terjadi tsunami. Mereka sudah menyiapkan jalur evaluasi ke lokasi perbukitan. ”Juga ada yang memilih naik perahu motor untuk menyelamatkan diri. Pengalaman tsunami 1992, mereka yang naik perahu motor selamat semua,” ucapnya.
Roni (44), pengemudi kapal motor yang melayani pulau-pulau kecil itu, menuturkan, dirinya juga was-was ketika melayari perairan tersebut. Pada saat gempa 14 Desember lalu, ia tengah berada di Pulau Babi mengantar penumpang ke sana. Ia langsung berlari ke perbukitan.
Roni lahir di Pulau Babi, tetapi kini menetap di Pulau Flores, tepatnya Desa Nangahale, Kabupaten Sikka, sekitar satu setengah jam perjalanan dengan kapal motor dari Pulau Babi. Roni, penyintas gempa dan tsunami 1992 itu, ikut program relokasi ke Pulau Flores.
Ketika gempa diikuti tsunami yang menghancurkan Pulau Babi, Roni sudah berumur belasan tahun. Ia lolos, tetapi beberapa anggota keluarganya meninggal. Saat itu, korban meninggal di Pulau Babi lebih kurang 700 jiwa. ”Kami pergi dari Pulau Babi karena khawatir kejadian yang dulu terulang lagi,” katanya.
Saat ini, lebih dari 20 rumah berdiri di Pulau Babi. Warga yang menetap di sana beralasan, Pulau Babi menjadi sandaran hidup mereka. Di sana mereka mencari ikan, berkebun, dan beternak. Hasilnya mereka jual ke Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, dan sekitarnya.
Tak layak huni
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Abdul Muhari mengatakan, Pulau Babi oleh pemerintah dinyatakan tidak layak huni karena rentan dilanda gempa dan tsunami. ”Tidak boleh lagi ada rumah permanen yang berdiri di sana,” ujarnya.
Oleh karena itu, masyarakat setempat diminta agar sadar dengan ancaman bencana gempa dan tsunami yang bisa datang kapan saja. Pemerintah daerah pun diharapkan memperkuat upaya mitigasi bencana dan evakuasi mandiri ketika dalam kondisi darurat.
Sementara itu, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sikka Muhammad Daeng Bakir mengatakan, di Laut Flores, terdapat tujuh pulau berpenghuni yang berada di dalam wilayah Kabupaten Sikka. Total keseluruhan penduduk lebih kurang 5.000 jiwa.
”Memang kondisi pulau-pulau itu sangat berisiko dilanda gempa dan tsunami. Di setiap desa atau kampung sudah terbentuk semacam tim penanggulangan bencana. Masyarakat di sana sudah sadar, makanya ketika terjadi gempa, mereka langsung mencari lokasi perbukitan,” katanya.