Penyehat tradisional meminta Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional direvisi. Layanan pijat, akupunktur, dan peracik jamu terpuruk setelah terbitnya aturan itu.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Klusterisasi penyehat tradisional dan aturan terkait pengajuan izin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional disoal. Aturan dinilai tidak memberi ruang bagi penyehat terlatih dan membuat banyak penyehat tradisional seperti pijat, akupunktur, akupresur, bekam, dan ramuan jamu tradisional terpuruk setelah terbitnya peraturan itu.
”PP No 103/2014 hanya menonjolkan pengawasan dan perizinan, sangat minim unsur pembinaan dan pengembangan. Banyak praktisi penyehat tradisional tidak bisa memperpanjang izin setelah terbitnya aturan itu,” kata Wakil Direktur Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) Iswan Kaputra dalam seminar di Medan, Selasa (21/12/2021).
Seminar nasional bertajuk ”Peluang dan Tantangan PP No 103/2014 terhadap Eksistensi Praktisi dan Organisasi Penyehat Tradisional” itu dihadiri pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Medan Area Rustam Ependi, Ketua Perkumpulan Asosiasi Penyehat Alternatif Sumut (P-Apasu) M Yusuf Harahap, dan para praktisi penyehat tradisional di Sumut.
Pembicara lain tersambung melalui sambungan konferensi video, yakni Ketua Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia Ranny Zarman, Kepala Bidang Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan Tradisional CD Bethesda Yogyakarta Eko Rusmiyati, serta Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Kementerian Kesehatan Wirabrata.
Iswan menjelaskan, lebih dari 50 persen masyarakat Indonesia masih mengandalkan layanan kesehatan tradisional dan merasakan manfaatnya. Namun, keberadaan praktisi penyehat tradisional tidak diperhatikan.
Rustam, yang melakukan kajian terhadap PP No 103/2014, menyebut ada dua hal sangat mendasar yang perlu direvisi dari PP itu. Pertama, klusterisasi layanan kesehatan tradisional yang hanya meliputi tiga kluster, yakni empiris, komplementer, dan terintegrasi.
Tiga kluster itu, menurut Rustam, tidak mengakomodasi penyehat tradisional terlatih yang mengikuti pelatihan selama berbulan-bulan, bersertifikasi, dan pengalaman bertahun-tahun. Penyehat ini mengikuti latihan pijat, akupunktur, akupresur, bekam, meramu jamu, atau kemampuan lain dan terbukti manfaatnya secara empiris.
Namun, PP No 103/2014 memasukkan penyehat tradisional terlatih dalam satu kluster dengan penyehat tradisional turun-temurun atau sering disebut dukun. Pihaknya mendorong supaya ada satu kelompok lagi, yakni penyehat tradisional empiris terlatih.
Sementara penyehat tradisional komplementer adalah layanan kesehatan tradisional yang manfaat dan keamanannya terbukti secara ilmiah. Tenaga kesehatannya mendapat ilmu kesehatan tradisional dari perguruan tinggi paling rendah diploma.
Adapun kelompok ketiga adalah terintegrasi, yakni paduan antara empiris dan komplementer.
Substansi kedua yang perlu direvisi adalah perihal perizinan yang harus mendapat rekomendasi dari organisasi profesi berskala nasional. Sebelum PP No 103/2014 diterbitkan, rekomendasi bisa didapat dari P-Apasu yang memang sudah sejak 1989 menjadi wadah bagi penyehat tradisional di Sumut.
”Sudah lebih dari 800 penyehat tradisional dilatih dan dibina di P-Apasu dengan pendampingan Bitra. P-Apasu juga sudah puluhan tahun menjadi mitra Kementerian Kesehatan setiap ada kegiatan penyehatan tradisional. Namun, saat ini rekomendasi dari P-Apasu tidak diakui lagi karena hanya lokal di Sumut,” kata Rustam.
Salah satu yang merasakan dampak cukup signifikan dari PP 103/2014 adalah penyehat tradisional akupunktur. ”Setelah PP itu terbit, banyak akupunkturis tidak bisa berpraktik, perkembangan pelayanannya sangat kurang, dan banyak yang melakukan secara diam-diam,” kata Eko.
Setelah PP itu terbit, banyak akupunkturis tidak bisa berpraktik, perkembangan pelayanannya sangat kurang, dan banyak yang melakukan secara diam-diam. (Eko Rusmiyati)
Di Yogyakarta, kata Eko, akupunktur berkembang pesat sebelum PP No 103/2014 disahkan. Masyarakat pun merasakan manfaat dari layanan kesehatan tradisional dari akupunkturis yang telah mendapat sertifikasi. Namun, saat ini layanan itu tidak bisa dilaksanakan karena tindakan invasif dengan jarum wajib dilakukan tenaga kesehatan tradisional paling rendah berpendidikan diploma.
Untuk mendapat gelar diploma di bidang akupunktur, kata Eko, mereka harus membayar uang kuliah Rp 5,4 juta per semester selama empat semester. ”Dengan PP No 103/2014, kami seolah-olah ingin dimusnahkan. Semua sertifikasi yang sudah didapat tidak berlaku lagi,” kata Eko.
Ranny mengatakan, persoalan serupa dialami penyehat tradisional di bidang jamu dan obat tradisional. Berdasarkan PP No 103/2014, penyehat tradisional hanya dapat memberikan obat tradisional dari industri jamu atau obat yang sudah memiliki nomor izin edar. Akhirnya, banyak peracik jamu yang hanya membeli izin edar dari industri jamu.
Ada juga yang membuka kemasan yang punya izin edar dan memasukkan atau mencampur racikan sendiri ke kemasan itu. ”Pemerintah seharusnya mendorong bagaimana penyehat tradisional bisa mendirikan fasilitas bersama untuk memproduksi obat tradisional,” kata Ranny.
Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Kementerian Kesehatan Wirabrata tidak memberikan tanggapan secara langsung tentang dorongan revisi PP itu. Ia menyebut, masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan layanan kesehatan tradisional.
”Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat,” katanya.