Urat Rapuh Pulau Sulawesi
Jalan Trans-Sulawesi menyatukan seluruh Pulau Sulawesi dalam satu jaringan interkoneksi. Namun, sejumlah ruas memerlukan perhatian karena kerentanannya terhadap bencana.
Jalan Trans-Sulawesi adalah urat yang menopang kehidupan seluruh Sulawesi. Enam provinsi di pulau ini saling terhubung dengan jaringan infrastruktur vital tersebut. Namun, jalan nasional itu juga menyimpan kerapuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi mimpi buruk.

Kendaraan berbagai jenis susah payah melewati jalan Trans-Sulawesi yang berlumpur di Kecamatan Oheo, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Sabtu (4/12/2021).
Trans-Sulawesi membentang sepanjang 2.657,72 kilometer yang menyambungkan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Seluruh aktivitas ekonomi daerah, termasuk pengangkutan hasil pertanian dan perikanan yang menjadi penghidupan masyarakat, amat bergantung padanya.
Meski begitu, sejumlah persoalan menghantui keandalan jalan itu di sejumlah titik, mulai dari ancaman longsor, banjir, hingga kondisi ruas yang membahayakan pengendara. Itu belum termasuk kerusakan jalan yang menjadi “penyakit” rutin.
Salah satu ruas yang konstan menghadapi ancaman saat bencana adalah yang menghubungkan Sultra dengan Sulteng di Kabupaten Konawe Utara, Sultra. Selama beberapa tahun terakhir, ruas itu menjadi bertambah penting karena keberadaan dua pusat industri pengolahan nikel raksasa di Konawe (Sultra) dan Morowali (Sulteng).
Namun, setiap hujan lebat, jalur ini menjadi “neraka” bagi para pelintas. Banjir dipastikan merendam badan jalan sehingga mustahil dilalui. Bahkan, genangan air bisa bertahan hingga berminggu-minggu lamanya, seperti di Kecamatan Oheo.

Kendaraan umum hingga ambulans melewati jalan berlumpur di Oheo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Sabtu (4/12/2021).
Said (55), adalah saksi keganasan ruas itu saat banjir menerjang. Dia rutin melintasi ruas itu membawa sayur dan buah dari Kolaka Timur untuk memenuhi kebutuhan pelanggan di kawasan industri nikel di Morowali. Saat pulang dari Morowali, ia mengangkut kayu afkir, merica, cokelat, dan kopra untuk dijual di Kolaka Timur.
Akan tetapi, itu semua hanya bisa dilakukan saat cuaca bersahabat. Saat cuaca buruk memicu banjir, Said hanya bisa pasrah tak bekerja. Pasalnya, untuk melintasi banjir, mobilnya harus menggunakan jasa rakit dengan ongkos total Rp 1,2 juta pergi-pulang, biaya yang jelas membengkakkan modalnya.
“Tapi, kalau harga jual sayur dan buah bagus, kami paksakan berangkat. Kami tutupi (ongkos rakit) dengan harga beli hasil bumi yang sedikit murah,” tuturnya, saat ditemui di sebuah warung kopi di perbatasan Sultra-Sulteng, Sabtu (4/12/2021).
Baca juga: Jalur Trans-Sulawesi di Konut Belum Bisa Dilalui, Warga Terisolasi
Ruslin (42), warga Desa Sambandete, Oheo, menuturkan, banjir memang semakin rutin melanda daerah tempat tinggalnya itu. Saat banjir besar 2019 lalu, air dan lumpur menghanyutkan jembatan dan merendam jalan serta permukiman lebih dari satu bulan lamanya.
Sedikitnya ada tiga ruas jalan yang rutin terputus di Oheo. Pantauan Kompas, sejumlah titik jalan ini memang terlihat sedang dalam pengerjaan. Pekerja membangun dinding penahan setinggi tiga meter yang akan ditimbun. Jalan akan dibuat jauh lebih tinggi untuk menghindari banjir.

Pengendara melalui jalan yang telah selesai ditinggikan di Asera, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Sabtu (4/12/2021).
Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) XXI Kendari Yohanis Tulak Todingara mengakui, bencana banjir menjadi ancaman paling besar di ruas Trans-Sulawesi ini. Selain bencana, kendaraan berat yang melebihi beban turut menyumbang semakin cepatnya jalan rusak. Karena itu, perbaikan dan pembangunan jalan akan terus dilakukan.
“Kami berharap di akhir 2022 semua akses ini betul-betul sudah mulus dan tidak ada kendala lagi. Saat banjir, jalur tetap bisa dilalui dan tidak menghentikan logistik bagi warga atau industri,” ujarnya.
Kebun Kopi
Gangguan konektivitas Trans-Sulawesi juga kerap dialami di wilayah Sulteng, tepatnya di ruas Parigi-Palu yang dikenal dengan sebutan Jalur Kebun Kopi. Jalur sepanjang sekitar 40 km tersebut membelah hutan pegunungan yang menghubungkan Kota Palu dengan sebagian besar kabupaten di Sulteng, seperti Parigi Moutong, Poso, Morowali, dan Banggai. Selain itu, jalan tersebut menghubungkan Palu dengan Provinsi Gorontalo, Sulut, dan Sulsel.
Ruas Kebun Kopi strategis sebagai akses utama untuk pengangkutan bahan baku ke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu. Namun, jalur tersebut dirundung bahaya longsor. Titik longsor menyebar hampir sepanjang 30 kilometer. Kerawanan disebabkan salah satu sisi jalan memotong tebing yang bisa mencapai ketinggian hingga 75 meter dengan elevasi sekitar 70 derajat.

Pantauan Kompas pada Selasa (30/11/2021), sejumlah material dari tebing dalam posisi menggantung sehingga sangat rawan longsor. Kondisi itu terlihat baik di tebing yang sudah dibalut dengan bronjong maupun tebing yang belum dibalut bronjong.
Saat hujan lebat, seperti pada pertengahan September 2021, ada sedikitnya 4 titik longsor besar yang harus dibersihkan di jalur itu. Kondisi itu menyebabkan lalu lintas tertahan berjam-jam dari arah Palu dan Parigi Moutong. Bahkan, penanganan longsor juga kerap dilakukan dengan sistem buka-tutup lalu lintas.
Baca juga: Beratnya Perjalanan Darat Palu-Poso
Jika itu terjadi, salah satu yang merasakan dampaknya adalah Sugiyono (65). Pemilik warung sayur dan buah di jalur itu kehilangan pelanggan. Jika kondisi berlangsung dua-tiga hari, sayur dan buahnya membusuk. “Saya rugi karena sebagian sayur dan buah saya beli, bukan murni dari kebun sendiri,” katanya.
Kerugian sama juga dialami Rahman (34), penjual dan pengangkut pisang dari Parigi Moutong ke Palu. Jika Jalur Kebun Kopi bermasalah, dia memilih tak bekerja karena khawatir pisang busuk di jalan.

Tampak alat berat membersihkan sisa longsor dan banjir di salah satu titik Jalur Kebun Kopi di Desa Nupabomba, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala, Sulteng, Selasa (30/11/2021).
Kepala Seksi Keterpaduan Pembangunan Infrastruktur Jalan BPJN Sulteng Mirayanti menyatakan, solusi jangka pendek selama ini yakni menyiagakan alat berat di lokasi untuk mempercepat penanganan jika terjadi longsor atau banjir. “Masalah kerawanan tersebut sedang dibahas dan dirapatkan di pusat (Kementerian PUPR). Seperti apa permasalahannya dan bagaimana solusi jangka panjangnya,” tuturnya.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, Palu, Ahlis Djirimu menyatakan, berdasarkan studi yang dilakukan pada 2021, biaya kemacetan pada jalur tersebut Rp 4,3 juta per jam atau Rp 9,6 miliar per tahun. “Jika dihitung dengan kemacetan karena longsor dan banjir, tentu lebih mahal lagi,” ujarnya.
Itu juga memperlambat laju kendaraan kami.
Menurut dia, solusinya adalah membangun jalur baru atau meningkatkan status jalur alternatif Tambu-Kasimbar dari jalan provinsi menjadi jalan tol. Ruas Tambu-Kasimbar berjarak sekitar 50 kilometer di utara ruas Kebun Kopi.
Jalur utara
Tantangan berbeda dialami jalur Trans-Sulawesi di Sulawesi Utara, khususnya di sepanjang pesisir utara yang membentang 289 km. Ruas itu menghubungkan Kota Manado dengan Atinggola di Kabupaten Gorontalo Utara, melewati beberapa kabupaten seperti Minahasa, Minahasa Selatan, Bolaang Mongondow, dan Bolaang Mongondow Utara.

Bendi motor alias bentor melintas di Jalan Trans-Sulawesi di Kecamatan Lolak, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, yang tampak baik dengan kondisi aspal yang mulus, Jumat (12/11/2021).
Kompas menelusuri ruas sepanjang 231 km antara Manado dengan Bintauna, Bolaang Mongondow Utara, pertengahan November lalu. Perjalanan ditempuh kurang lebih 9 jam. Secara umum, jalan itu hanya memiliki satu lajur di masing-masing arah yang berlawanan tanpa median, hanya dua garis kuning dengan road stud di beberapa titik.
Hanya di sebagian ruas dekat kantor bupati, seperti Amurang, Minahasa Selatan, dan Lolak, Bolaang Mongondow, yang diperlebar menjadi dua lajur dengan median. Secara umum, jalur tergolong mulus, tetapi sejumlah kendala tetap ada.
Baca juga: Proyek Infrastruktur Berlanjut, Jalan Lingkar Luar Manado III Mulai Dibangun
Abrizal Ang, pengusaha ikan kaleng di Bitung yang mendistribusikan produknya lewat jalur itu, mengatakan, di tikungan-tikungan, tidak ada ruang lebih untuk manuver sehingga kurang aman untuk kendaraan besar. “Itu juga memperlambat laju kendaraan kami,” kata dia.
Di samping itu, ada beberapa titik rawan kecelakaan, seperti di Desa Munte, Minahasa Selatan. Medan yang berbukit dan berkelok-kelok kerap menyulitkan truk-truk besar menanjak. Tak jarang truk-truk tersebut harus terhenti sehingga menghambat lalu lintas. Di wilayah itu, kecelakaan truk juga beberapa kali terjadi.

Sebuah mobil melaju di Jalan Trans-Sulawesi, di samping tanggul penahan longsor di Kecamatan Sangkub, Bolaang Mongondow Utara, Sulawesi Utara, Rabu (17/11/2021).
Gerald Ruauw (27), warga Manado yang kerap melewati jalur itu, menyebut wilayah tersebut adalah yang paling rawan kecelakaan. Karena itu ia selalu berusaha mendahului truk, demi menghemat waktu pula. Namun, hal itu berisiko juga karena ia harus mengambil jalur yang arusnya berlawanan.
Ahli logistik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam Ratulangi Magdalena Wullur menilai, Trans-Sulawesi di Sulut belum memadai karena banyaknya hambatan. Hal ini bukan semata disebabkan kualitas fisik jalan, melainkan juga manajemennya.
Ia mengambil tanjakan di Desa Munte sebagai contoh. Ketiadaan aturan yang membatasi truk hanya lewat di jam-jam tertentu kerap menghambat kendaraan lain yang lebih kecil.
Baca juga: Akses Trans-Sulawesi Rentan
“Mungkin tidak apa-apa kalau barang terlambat dikirim. Tetapi kebutuhan jasa bisa sangat terganggu dengan sistem yang ada sekarang. Misalnya, orang dari Kotamobagu dirujuk untuk perawatan jantung atau stroke di RS di Manado. Bayangkan kalau mereka terlambat mendapat pelayanan karena hambatan di jalan,” ujar Magdalena.
Dia menambahkan, Jalan Trans-Sulawesi sesungguhnya tidak harus menjadi satu-satunya jalur transportasi lintas kabupaten/kota di Sulut maupun antarprovinsi. Dengan status Bitung sebagai pelabuhan simpul (hub), seharusnya transportasi barang dan orang didukung moda lain, seperti feri. (LKT)