Pemalsuan Surat Pengakuan Hak Jadi Akar Masalah Konflik Lahan di Mesuji
Polisi mengungkap praktik sindikat pemalsuan dokumen di balik kekisruhan yang terjadi antara polisi dan warga di Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Delapan orang ditetapkan sebagai tersangka.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Selatan mengungkap praktik sindikat pemalsuan dokumen di balik kekisruhan yang terjadi antara polisi dan warga di Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, Kamis (16/12/2021). Delapan orang ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus pemalsuan dokumen dan kepemilikan senjata api.
Kedelapan tersangka itu adalah AS dan SU untuk kasus pemalsuan dokumen serta AJ, AR, MJ, MK, PE, dan PP untuk kasus kepemilikan senjata tajam dan senjata api. Selain menangkap kedelapan tersangka, polisi juga menyita dokumen yang dipalsukan, 36 sertifikat hak milik (SHM) yang sudah dibatalkan, dua pucuk senjata api, empat senjata tajam, dan satu mobil milik warga.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumsel Komisaris Hisar Siallagan, Senin (20/12/2021), di Palembang menjelaskan, kasus ini bermula dari laporan mantan kepala desa Sukamukti, Sutamar, yang merasa tanda tangannya telah dipalsukan oleh oknum warga untuk pembuatan surat pengakuan hak (SPH). ”Bukti ini diperkuat dengan hasil uji laboratorium tim forensik yang menyatakan tanda tangan dan cap yang ada di SPH itu palsu,” ungkap Hisar.
SPH tersebut kemudian disalahgunakan sehingga terbitlah 36 sertifikat SHM oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ogan Komering Ilir dengan mengklaim lahan hak guna usaha milik PT Treekreasi Margamulia (TMM) yang telah disahkan sejak 1997. Namun, setelah kasus ini terkuak, SHM tersebut kemudian dibatalkan.
Untuk menindaklanjuti laporan tersebut, pihaknya memanggil ketiga orang terlapor, yakni BU, AR, dan AS. Namun, setelah dua kali pemanggilan, tidak ada satu pun yang menghiraukan.
Akhirnya, petugas menjemput ketiganya di lokasi sengketa yang berada di Desa Sukamukti, Kecamatan Mesuji. Di lokasi saat itu hanya ada AS dan beberapa warga yang tinggal di tenda.
Awalnya proses penjemputan berjalan baik. Tidak lama berselang, ada sekelompok orang yang diketahui berasal dari Desa Sodong, Kabupaten Mesuji, datang untuk menggagalkan penjemputan. Bahkan, di antara mereka ada yang mengeluarkan lima kali tembakan ke arah petugas sembari berteriak ”serbu”. Sempat terjadi tembak-menembak di lapangan. ”Namun, dalam peristiwa itu tidak ada satu pun petugas ataupun warga yang terluka,” kata Hisar.
Setelah kejadian itu, ujar Hisar, pihaknya membawa 14 warga untuk diperiksa. Dari hasil pemeriksaan, ditetapkan delapan tersangka. Dua tersangka untuk pemalsuan dokumen dan enam lainnya untuk kepemilikan senjata tajam dan senjata api. ”Sementara sisanya kami pulangkan karena mereka tidak terlibat dalam kedua kasus tersebut,” katanya.
Munculnya ke-36 SHM dengan luas lahan 72 hektar kepada warga, jelas Hisar, bermula dari adanya pemalsuan dokumen SPH yang dilakukan oleh BU dan Y yang sekarang masih dalam pengejaran. Yang dipalsukan adalah tanda tangan kepala desa serta cap kepala desa dan kelurahan.
”Mantan kepala desa merasa tidak pernah dilibatkan dalam semua hal, mulai dari penunjukan lahan hingga pengecekan lokasi,” ungkap Hisar. Saat ini, pihaknya terus mengejar dalang pemalsuan ini, yakni Y dan BU, termasuk memeriksa beberapa petugas BPN Ogan Komering Ilir.
Untuk kedua kasus ini, ucap Hisar, dua tersangka untuk pemalsuan dokumen dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pembuatan surat palsu dengan ancaman sanksi maksimal tujuh tahun penjara. Sementara enam tersangka lainnya dijerat dengan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan Pasal 212 KUHP tentang kepemilikan senjata api dan melawan petugas dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Tergiur SHM
AS, salah satu tersangka, menjelaskan, ia tergiur dengan ajakan BU yang menjanjikan kepemilikan lahan seluas 2 hektar dengan membayar sekitar Rp 10 juta. Dia mengajak serta warga lain untuk mengikuti ajakan BU tersebut. Kemudian AS mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) dari warga, termasuk uang yang diminta.
”Ada lima warga yang saya urus dengan uang sekitar Rp 50 juta saya serahkan ke BU. Namun, setelah sertifikat itu terbit, BU tidak bisa lagi dihubungi,” katanya.
AS menjelaskan, dirinya merupakan warga Sukamukti yang mendapatkan lahan dari program transmigrasi seluas 2 hektar per kepala keluarga. ”Saya juga yang menebas hutannya,” ujarnya.
Namun, setelah lahan tersebut diubah statusnya menjadi HGU PT TMM pada 1997, dia harus pindah dari tempat tersebut. ”Kami kira, dengan uang Rp 10 juta, kami bisa memperoleh kembali tanah kami,” kata AS.
Sebelumnya, kuasa hukum warga, Pius Situmorang, mengatakan, sejak Oktober 2021, warga memang mendirikan tenda di kawasan perkebunan milik perusahaan tersebut. Mereka menuntut langkah BPN yang secara sepihak membatalkan SHM yang sudah diberikan. ”Proses pembatalan SHM harus dilakukan melalui mekanisme pengadilan,” kata Pius.
Langkah petugas yang represif dalam membubarkan warga yang tinggal di lahan sengketa tersebut juga dinilainya berlebihan. Sebab, sejumlah upaya sudah dilakukan, termasuk mediasi dengan semua pihak, tetapi diakhiri dengan penangkapan warga.
Sekretaris Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir Husin mengatakan, situasi di Desa Sukamukti saat ini sudah kembali kondusif. Terkait status lahan, ungkap Husin, sudah dipastikan lahan itu berstatus hak guna usaha PT TMM. Saat ini, pemda akan melakukan revitalisasi ulang atas status lahan yang disengketakan, apakah lahan itu berstatus kebun inti atau tanah plasma milik masyarakat.