Rob dan Tantangan Pengelolaan Sampah Kampung Nelayan di Semarang
Tambakrejo berada di sebelah timur kampung nelayan Tambaklorok, yang sejak beberapa tahun silam didengungkan untuk menjadi kampung wisata bahari. Namun, sejumlah permasalahan masih mendera. Rob rutin menerjang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
Panas terik menyorot kawasan permukiman nelayan di Kelurahan Tanjung Mas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (17/12/2021) jelang siang. Genangan rob setinggi sekitar 15 sentimeter di jalan raya pun perlahan surut. Namun, sejumlah sampah masih berserakan di sejumlah sudut kampung, baik Tambaklorok, maupun Tambakrejo.
”Di selokan sekitar kampung nelayan atau kampung deret Tambakrejo sini tergenang rob, terutama untuk RT 005, RW 016 Tanjung Mas. Sampah kami usahakan terkelola dengan baik. Jadi, ada yang mengurusi atau mengumpulkan sampah,” ujar Abdullah Achmad Marzuki (32) dari Paguyuban Armada Laut Tambakrejo.
Kampung nelayan Tambakrejo terletak di sekitar 2,5 km dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Permukiman berada di area bekas Kali Banger yang airnya dibendung di Polder Banger. Pemerintah Kota Semarang membangun rumah di sana sebagai relokasi dari sekitar tanggul kanal banjir timur yang dinormalisasi. Ada sekitar 100 keluarga di sana.
Lokasi kampung nelayan itu berada di sebelah timur kampung nelayan Tambaklorok yang sejak beberapa tahun silam didengungkan untuk menjadi kampung wisata bahari. Namun, sejumlah permasalahan masih mendera. Sekitar dua tahun terakhir, rob nyaris tak berhenti melimpas permukiman, terutama pada pagi hingga siang hari.
Tantangan terbesar di pesisir ini adalah pada habit (kebiasaan) mereka, juga aksesibilitas.
Kendati sheet pile (dinding turap) pada dermaga di Tambaklorok sudah terbangun, warga masih menanti bangunan serupa, sepanjang 800 meter. Sebelum itu terwujud, rob masih melimpas ke permukiman warga. Sebagian warga meninggikan jalan dan rumah secara swadaya.
Di tengah kondisi tersebut, pengelolaan lingkungan, termasuk pengelolaan sampah, menjadi tantangan. Apalagi, tak dimungkiri bahwa selama ini perkampungan nelayan identik dengan suasana kumuh dan kotor.
Oleh sebab itu, semangat kepedulian lingkungan coba ditularkan lewat Kolaborasi Aksi Mariners Peduli Lingkungan di Tambakrejo, Jumat (17/12). Acara digelar PT Pelindo Marine Service, berkolaborasi dengan dua start up, yakni Bersukaria Tour dan Rapel ID. Juga didukung National Geographic Indonesia.
Acara yang juga sebagai peringatan HUT ke-10 Pelindo Marines itu diisi edukasi warga tentang pengelolaan dan pemilahan sampah serta penanaman mangrove. Mengrove sebagai benteng alami diharapkan setidaknya mengurangi laju abrasi di kawasan pesisir Semarang tersebut.
Achmad Marzuki berharap, ke depan, pengelolaan sampah di Tambakrejo akan lebih baik. ”Tadi kami mendapat ilmu baru juga. Mudah-mudahan bisa terus diterapkan dengan baik,” katanya.
Operational Head Rapel ID Semarang Fitri Rizky A mengemukakan, setelah berdiskusi dan sharing dengan warga, diketahui pengelolaan sampah di Tambakrejo belumlah optimal. Pengelolaan sampah masih tercampur antara yang organik dan yang anorganik. Warga pun memerlukan edukasi tentang penanganan sampah.
”Tantangan terbesar di pesisir ini adalah pada habit (kebiasaan) mereka, juga aksesibilitas. Sebab, di pesisir, kan, nyaris setiap hari terdampak rob, apalagi jika surutnya lama. Memang harus pelan-pelan dan nanti bisa dimulai dengan pemilahan sampah organik untuk menjadi kompos,” kata Fitri.
Rapel ID merupakan aplikasi untuk menjual sampah anorganik yang masih memiliki nilai jual, serta telah dipilah oleh pemilik sampah yang menjadi pengguna aplikasi. Nantinya sampah dijual kepada kolektor atau agen pengepul sampah yang menjadi mitra. Lewat aplikasi itu diharapkan terbangun sistem pengelolaan berkelanjutan.
Direktur Keuangan, SDM, dan Umum Pelindo Marines Lia Indi Agustiana mengatakan, edukasi amat dibutuhkan oleh masyarakat Tambakrejo. Harapannya, bagaimana kreativitas beserta implementasinya dijalankan dengan baik sehingga lingkungan terjaga, bahkan dapat memberi nilai tambah secara ekonomi bagi masyarakat.
Pihaknya, kata Lia, memberi perhatian kepada pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan. ”Edukasi warga secara terus-menerus, serta pemeliharaannya. Jadi, warga tidak ditinggalkan, tetapi disupervisi agar sampah bisa terolah, bahkan hingga menghasilkan nilai,” ucapnya.
Editor In Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim menuturkan, berbagai persoalan yang ada saat ini, termasuk terkait lingkungan, akan bisa teratasi dengan kemampuan adaptif. Inovasi dan kolaborasi dibutuhkan guna mengakselerasi sudut pandang baru dan solusi-solusi masa depan.