Jadi Tumpuan Ekonomi Sumut, Jalan Tol Perlu Didukung Jalur di Luarnya
Membentang 112,6 kilometer dari Medan ke sejumlah daerah di Sumut, jalan tol memberikan harapan perbaikan ekonomi. Namun, jalur itu juga perlu diimbangi dengan perbaikan jalan di sekelilingnya.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
Keberadaan Jalan Tol Trans-Sumatera yang membentang sepanjang 112,6 kilometer dari Medan ke sejumlah daerah di Sumatera Utara sudah dinikmati warga. Sejumlah sektor berpotensi untuk digarap, seperti hilirisasi produk perkebunan dan pengembangan pariwisata superprioritas Danau Toba. Namun, keberadaan jalan tol juga perlu didukung pembangunan jalur di luarnya.
Pantauan Kompas yang menelusuri Jalan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi, Jumat (10/12/2021), angkutan logistik, seperti truk tangki minyak sawit mentah (CPO), truk peti kemas, bus penumpang, dan kendaraan pribadi tampak ramai melintasi tol itu.
Kendaraan pun melaju mulus di jalan dengan dua kali dua lajur itu. Tidak ada antrean yang cukup berarti di gerbang tol yang semuanya sudah menggunakan uang elektronik itu. Jalan beton itu pun membentang membelah perkebunan sawit, karet, sawah, dan sedikit permukiman.
Namun, keluar dari Gerbang Tol Tebing Tinggi, pengendara langsung berhadapan dengan jalan berlubang. Kondisi jalan lebih buruk terjadi di jalan provinsi. Kondisi itu menciptakan ekonomi berbiaya tinggi.
”Dunia usaha sangat optimistis Tol Trans-Sumatera akan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi beberapa tahun ke depan. Setelah pandemi Covid-19 sudah terkendali, kami yakin perekonomian Sumut akan melaju kencang dengan dukungan infrastruktur yang cukup bagus,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sumatera Utara Parlindungan Purba, di Medan.
Ada tiga ruas tol yang sudah beroperasi di Sumut, yakni Tol Belawan-Medan-Tanjung Morawa (Belmera) sepanjang 34 kilometer, Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi (61,8 kilometer), dan Medan-Binjai 16,8 kilometer. Ketiganya sudah tersambung seluruhnya dan menghubungkan Kota Medan dengan Kota Binjai, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Serdang Bedagai.
Dunia usaha dan masyarakat pun kini mulai menikmati keberadaan jalan tol. Waktu tempuh bisa dipangkas cukup signifikan dan biaya logistik pun bisa ditekan. ”Tol Trans-Sumatera itu sekaligus menjadi ikon ekonomi daerah. Ini tol kebanggaan Sumut,” kata Parlindungan.
Parlindungan mengatakan, Tol Trans-Sumatera akan mendukung hilirisasi produk perkebunan, khususnya sawit dan karet. Saat ini sudah dibangun Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei di tengah perkebunan sawit di Kabupaten Simalungun. Pembangunan jalan tol dari Tebing Tinggi pun sudah dilanjutkan agar tersambung hingga KEK Sei Mangkei dan Pelabuhan Kuala Tanjung.
Keberadaan jalan tol pun akan menjadi daya tarik utama di kawasan yang disiapkan untuk menampung 200 pabrik itu. ”Biaya logistik bisa ditekan cukup signifikan dengan keberadaan jalan tol. Tingginya biaya logistik selama ini menjadi salah satu masalah dunia industri di Sumut,” kata Parlindungan.
Jalan tol pun akan mendukung kawasan Danau Toba sebagai destinasi superprioritas nasional. Dari Bandara Kualanamu, kawasan itu kini bisa ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari sebelumnya bisa sampai lima jam. Dengan konektivitas Bandara Kualanamu yang cukup luas, akses wisatawan pun semakin dekat dengan Danau Toba.
Penumpang antarkota dalam provinsi di Sumut pun kini bisa menikmati efisiensi waktu dengan adanya Jalan Tol Trans-Sumatera di Sumut. ”Saya biasanya harus berangkat pagi-pagi sekali dari Medan karena butuh waktu tiga jam untuk melihat toko saya di Tebing Tinggi. Saat ini saya hanya butuh waktu satu jam,” kata Mulyadi (40), warga Medan yang mempunyai toko elektronik di Kota Tebing Tinggi.
Mulyadi yang biasanya hanya datang sekali seminggu untuk melihat tokonya kini bisa dua kali karena waktu tempuh yang singkat.
Jalin lintas
Runggu Silitonga (45), sopir minibus jurusan Medan-Tarutung, mengatakan, sejak tol Medan-Tebing Tinggi dibuka, mereka bisa menghemat waktu dari sekitar delapan jam menjadi enam jam perjalanan. Namun, ia mengeluhkan tarif tol yang dinilai masih terlalu mahal. Untuk kendaraan golongan I, misalnya, tarif dari Gerbang Tol Amplas sampai Tebing Tinggi mencapai Rp 58.500.
”Kalau pergi-pulang jadinya Rp 117.000, itu setengah dari gaji saya sehari. Karena itu, lebih sering kami mengutip Rp 5.000 per penumpang untuk membayar tol. Kadang penumpangnya tidak mau bayar, jadi jalan biasa,” kata Runggu.
Runggu mengatakan, jalan tol juga seharusnya diintegrasikan dengan Jalan Lintas Sumatera yang lebih baik. Ia mengeluhkan keadaan jalan arteri dari Medan hingga Tarutung yang kondisinya saat ini kurang baik. Dalam setahun belakangan ini, jalanan semakin banyak berlubang.
Pantauan Kompas, hampir setiap 200 meter selalu ada lubang berdiameter 20-40 sentimeter di jalan. Kerusakan jalan pun semakin parah dari Parapat hingga ke Tarutung.
Jalan tol juga seharusnya diintegrasikan dengan Jalan Lintas Sumatera yang lebih baik. (Runggu Silitonga)
Tol belum juga didukung jalan provinsi yang memadai. Di Jalan Saribu Dolok yang menjadi urat nadi perekonomian, terutama bagi warga empat daerah, yakni Kabupaten Simalungun, Karo, Dairi, dan Kota Pematang Siantar, misalnya, rusak parah. Di beberapa tempat, jalan berlubang, longsor, dan hampir tidak menyisakan aspal. Beberapa jembatan rusak dan dibiarkan hanya jembatan darurat selama berbulan-bulan.
Padahal, jalan itu merupakan jalan penghubung sentra pertanian di Simalungun, Karo, dan Dairi dengan Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Asahan, Batubara, Tanjung Balai, dan daerah lainnya. Produksi pertanian itu bahkan diekspor ke banyak negara.
Penelusuran Kompas, Rabu-Kamis (8-9/12/2021), sebanyak 40 kilometer di antaranya, yakni dari Pematang Siantar hingga Pematang Raya, rusak parah.
Kendaraan yang membawa hasil pertanian, seperti sawit, sayur-sayuran, jeruk, dan jagung, tampak harus melaju sangat pelan agar tidak oleng. Beberapa kali kernet harus turun mengambil sawit yang jatuh dari bak truk.
”Sudah sangat sering truk pengangkut hasil bumi oleng dan terjatuh di jalan ini. Kalau sepeda motor bahkan setiap hari pasti ada yang jatuh,” kata Marudut Damanik (45), warga Panei, Kabupaten Simalungun.
Kondisi jalan yang buruk itu membebani petani dan menaikkan biaya produksi sehingga pendapatannya berkurang. Andreas Purba (35), sopir angkot CV Gok Prima jurusan Pematang Siantar-Panei, mengatakan, sewaktu kondisi jalan masih lebih baik sekitar tiga tahun lalu, mereka hanya butuh waktu sekitar 40 menit untuk sekali jalan. ”Saat ini paling tidak 1,5 jam baru bisa sampai. Biaya bahan bakar kami pun dua kali lipat,” katanya.
Marudut dan warga lainnya berharap jalan segera diperbaiki atau dinaikkan statusnya jadi jalan nasional karena letaknya yang strategis di kawasan wisata strategis nasional Danau Toba.
Berdasarkan data Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi Pemprov Sumut, panjang jalan provinsi di Sumut 3.005 kilometer dengan 880 jembatan. Pada tahun 2020, kondisi jalan 19,92 persen rusak berat dan 5,07 persen rusak ringan. Kemantapan jalan provinsi mencapai 74,67 persen. Sejak 2016, kemantapan jalan terus menurun.
Provinsi Sumatera Utara tampaknya kewalahan mengurus jalannya itu. Dalam rapat bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, awal Desember lalu, Wakil Gubernur Sumatera Utara Musa Rajekshah menyampaikan, kondisi infrastruktur jalan di Sumut yang mengalami kerusakan parah karena beban jalan yang harus ditanggung cukup besar.
Musa pun meminta pemerintah pusat mengambil alih sebagian jalan provinsi menjadi jalan nasional. ”Beban jalan provinsi ada 3.000 kilometer lebih, kalau boleh sebagian dialihkan menjadi jalan nasional,” kata Musa kepada Luhut.