Tutupan Hutan Naik 14.000 Hektar, Tambang Liar Meluas 5.000 Hektar
Meskipun tutupan hutan meluas, kondisi alam di Jambi tidak sedang baik-baik saja. Perlu resolusi perbaikan dalam pengelolaan lingkungan ke depan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Tutupan hutan Jambi naik sekitar 14.000 hektar di tahun 2021. Di saat yang sama, tambang emas liar juga meluas 5.000 hektar, memicu kerentanan bencana.
Berdasarkan analisis citra satelit Sentinel 2 yang diolah Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, tutupan hutan sekunder hingga primer di Jambi meluas 14.391 hektar. Dari sebelumnya 882.272 hektar (2020) menjadi 896.662 ha (2021).
”Ini membawa kabar baik untuk pemulihan hutan kita,” ujar Rudi Syaf, Direktur KKI Warsi, dalam jumpa pers Catatan Akhir Tahun 2021 di Jambi, Jumat (17/12/2021).
Meski begitu, meluasnya tutupan hutan tidak serta-merta dengan turunnya praktik liar yang merusak alam. Pihaknya mencatat besarnya kontribusi tambang emas dan minyak ilegal serta pembalakan liar. Areal tambang emas liar di Jambi meluas jadi 42.000 hektar, bertambah 5.000 hektar dari tahun 2020.
Kawasan yang paling luas mengalami kerusakan akibat tambang emas liar ini berada di lahan masyarakat seluas 32.000 hektar, hutan lindung 2.900 hektar, hutan produksi 6.000 hektar, dan hutan produksi terbatas 154 hektar. Tambang emas liar juga merambah 572 hektar Taman Nasional Kerinci Seblat.
Tambang liar yang berlangsung di balik permukaan tanah atau dikenal dengan istilah ”lubang jarum” tidak dapat dihitung luasnya. Namun, kecelakaan dari aktivitas itu menimbulkan korban jiwa sembilan orang.
Dari upaya pemberantasan oleh aparat penegak hukum, 137 orang terjaring operasi. Sebanyak 53 di antaranya jadi tersangka. Aparat juga menyita 67 ekskavator, 1.241 dompeng, dan 1,5 kilogram emas.
Perhitungan rata-rata kemampuan alat menghasilkan emas berpotensi menimbulkan kerugian negara lebih dari Rp 6 triliun. ”Patut diduga uang yang beredar dari aktivitas ini sangat besar,” lanjutnya.
Persoalan lainnya tambang minyak ilegal. Terdata lebih dari 1.750 sumur tambang menyebar di Muaro Jambi, Batanghari, Sarolangun, dan Tebo. Aktivitas itu bahkan kerap memicu terjadinya kebakaran. Potensi kerugian negara darinya minimal Rp 1,4 triliun per tahun.
Kegiatan-kegiatan ilegal dalam hutan juga menyebabkan bencana ekologi, konflik lahan, dan konflik satwa. Sepanjang 2021, bencana ekologi menelan korban 2 orang meninggal, 6.265 rumah, serta 635 hektar sawah dan ladang terendam.
Terekam pula 18 konflik manusia dan satwa yang melibatkan 2 harimau sumatera, 7 gajah sumatera, 3 beruang, dan 19 buaya. Satu harimau yang terpaksa dievakuasi karena berkonflik di lokasi dekat tambang emas liar di Kabupaten Merangin akhirnya mati setelah tinggal dua pekan lamanya di Tempat Penyelamatan Satwa Jambi.
Dengan melihat bencana dan konflik yang masih terus berlanjut, Rudi menyimpulkan kondisi alam di Jambi tidak sedang baik-baik saja. Perlu resolusi perbaikan dalam pengelolaan lingkungan ke depan. Misalnya dengan menguatkan nilai-nilai pengelolaan hutan berkelanjutan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, pemulihan hutan tersisa, pengembangan ekonomi masyarakat sekitar hutan, serta penegakkan aturan hukum terhadap pelaku kejahatan kehutanan.
Berdasarkan data Kepolisian Daerah Jambi, lima kabupaten di Jambi menjadi target lokasi pertambangan emas ilegal, yakni Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo, dan Batanghari. Sebarannya pada 44 kecamatan di sepanjang jalur sungai.
Praktik tambang emas liar berlangsung dengan memanfaatkan alat berat ataupun mesin dompeng. Pemanfaatan mesin dompeng dan alat berat paling banyak di Kabupaten Merangin 3.423 unit dompeng dan 44 unit alat berat.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Komisaris Besar Sigit Dany menyebut, dari upaya penegakan hukum sepanjang Januari hingga 15 Desember 2021, 5,3 kg emas telah disita dari para pelaku dan uang senilai Rp 1 triliun. Dari 32 perkara yang ditangani terkait tambang emas liar, tersangka yang menjadi pemodal berjumlah enam orang.
Perlu resolusi perbaikan dalam pengelolaan lingkungan ke depan (Rudi Syaf).
Hasil riset tim Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri Jambi mendapati besarnya dampak negatif dari aktivitas tambang emas liar, seperti menurunkan kualitas Sungai Batangasai, tetapi juga menimbulkan alih fungsi hutan, pendangkalan sungai, abrasi tanah, serta hilangnya tanaman-tanaman dan ikan endemik. Dampak negatif salah satunya didapati pada daerah penelitian tim itu di Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Hasil penelitian yang melibatkan Try Susanti, Wiji Utami, Hidayat, dan Desia Amimi menunjukkan kualitas sungai menurun, pendangkalan kian parah, serta terjadi abrasi. Banyak tanaman endemik tergusur, di antaranya meranti dan damar. Populasi ikan semah juga menurun akibat tercemarnya air sungai. ”Padahal, ikan semah merupakan ciri khas ikan di daerah tersebut,” ujar Wiji, anggota tim peneliti.
Peneliti Ikan dari Universitas Jambi, Tedjo Sukmono, menambahkan, dampak tambang emas merusak habitat ikan. Hasil riset timnya di Batang Merangin, Agustus lalu, menunjukkan tingginya turbinitas dan rendahnya kecerahan air yang menekan daya hidup ikan.
Ancaman lain dari maraknya penggunaan karung plastik pada praktik tambang lubang jarum memperparah paparan mikroplastik di sungai. ”Bisa jadi mikroplastik sudah masuk ke dalam pencernaan ikan,” katanya.
Berdasarkan hasil pendataan terbaru yang dilakukan Badan Pusat Statistik Jambi, 30 persen desa dan kelurahan di wilayah Jambi mengalami banjir rutin sejak 2018. Dari total 1.562 desa yang tersebar pada 11 kabupaten dan kota di Jambi, terdapat 575 desa dan kelurahan mengalami banjir. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan kondisi pada 2014. Saat itu, terdata 518 desa yang mengalami banjir.
Peningkatan dampak kejadian juga pada banjir bandang dan longsor. Wilayah yang mengalami longsor di Jambi ada 98 desa pada tahun ini, atau bertambah hampir dua kali lipat dari tahun 2014 yang terjadi di 58 desa. Sementara bencana banjir bandang didapati terjadi pada 59 desa, naik dari sebelumnya hanya dialami 32 desa.