Antisipasi Bencana, Kalteng Perlu Perbaiki Tata Ruang Berbasis Sungai
Dalam setahun, Kalimantan Tengah diterjang banjir tiga kali, pun di saat kemarau. Pendangkalan sungai akibat aktivitas manusia menjadi salah satu sebab. Oleh karena itu, tata kelola sungai di Kalteng mesti diperbaiki.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pendekatan ramah lingkungan dalam penyusunan perencanaan tata ruang bisa menjadi awal untuk melihat kembali kondisi daya dukung dan tampung alam di Kalimantan Tengah. Agar tak menjadi bencana, pendekatan tata ruang bisa dibuat dengan sudut pandang aliran sungai.
Bencana banjir tiga kali melanda Kalteng, mulai dari awal hingga akhir tahun. Peristiwa ini menjadi yang terburuk dalam beberapa tahun, bahkan puluhan tahun terakhir.
Kota Palangkaraya menjadi salah satu yang terdampak banjir cukup parah. Seluruh lima kecamatan di ”Kota Cantik” itu diterjang banjir. Dampaknya, bukan hanya fasilitas publik dan rumah penduduk yang terendam, tetapi juga kawasan pertanian.
Hartini (59), warga Langkai, mengungkapkan, selama tinggal di kompleks Flamboyan, dirinya tidak pernah mengungsi karena banjir. Menurut dia, banjir pada awal November lalu cukup buruk karena air cepat naik. ”Padahal sudah sempat surut, kami sudah bersih-bersih, tapi datang lagi,” ujarnya di Palangkaraya, Jumat (17/12/2021).
Banyak faktor menjadi penyebab banjir tahun 2021 menjadi yang terburuk, mulai dari fenomena alam La Nina hingga berkurangnya daya dukung dan tampung lingkungan di Kalteng. Hal itu bisa dilihat dari pendangkalan sungai-sungai besar di Kalteng.
Pada Kamis (16/12/2021), Borneo Nature Foundation (BNF) menggelar diskusi dengan tema ”Refleksi Akhir Tahun Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah” melalui serial podcast yang rutin disiarkan. Diskusi itu menghadirkan Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kalteng Adiyaksa Prasidapati; akademisi dari Universitas Palangka Raya (UPR), Hendrik Segah; serta Wakil Direktur BNF Bidang Kerja Sama dan Pengembangan Program Agnes Ferisa.
Selain melakukan reboisasi dan restorasi, perlu ada perbaikan tata kelola lahan melalui kebijakan pemerintah.
Hendrik Segah memulai diskusi dengan memaparkan kajian terkait kondisi sungai di Kalteng yang kian dangkal karena berbagai aktivitas manusia di dalam ataupun pinggir sungai. Aktivitas itu mulai dari yang legal hingga ilegal. Akibatnya, sedimentasi sungai tak terhindarkan.
”Kalteng dilanda banjir tiga kali pada 2021. Saya melihat ini bukan sebagai kejadian kebetulan, ini ada faktor alam dan juga manusia,” ungkap Segah.
Menurut dia, selain reboisasi dan restorasi, perlu ada perbaikan tata kelola lahan melalui kebijakan pemerintah. ”Kesimpangsiuran pemanfaatan lahan ini perlu ditata kembali,” ujarnya.
Agnes Ferisa menambahkan, BNF memiliki tiga wilayah kerja di tiga lanskap dengan ekosistem berbeda. Tiga wilayah kerja itu dimulai dari wilayah hulu di Kabupaten Murung Raya hingga ke hilir di lanskap Rungan serta Sebangau. Wilayah hulu didominasi ekosistem dataran tinggi, sedangkan wilayah hilir didominasi gambut dan juga mangrove.
Agnes menjelaskan, kondisi hulu Sungai Barito, salah satu sungai terpanjang di Indonesia, terdapat aktivitas seperti pertambangan batubara. Namun, tidak semua benar-benar aktif beroperasi.
Sementara di bagian hilir, kondisi gambut belum sepenuhnya terestorasi. ”Kerusakan gambut karena karhutla (kebakaran hutan dan lahan) 2015 saja belum pulih total,” katanya.
Terkait kondisi itu, Adiyaksa menyampaikan, pemerintah memproyeksikan ”Kalteng Hijau” dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2021-2026. Artinya, segala bentuk program ke depan akan berbasis pada kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Salah satu, upaya pemerintah memperbaiki pengelolaan lahan yang tidak berbasis lingkungan adalah dengan merevisi kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng.
Adiyaksa menilai, perencanaan tata ruang tidak bisa lagi disusun berdasarkan pendekatan administrasi wilayah kabupaten ataupun provinsi semata, tetapi juga daerah aliran sungai (DAS). Hal itu dilakukan untuk menghindari berbagai bencana.
”Kalau berbicara pendekatan pola tata ruang yang prolingkungan, basisnya adalah pendekatan DAS, agar tidak menjadi masalah di kemudian hari,” ujarnya.
Menurut dia, semua kegiatan pembangunan di Kalteng dalam lima tahun mendatang bisa dipastikan memperhatikan aspek-aspek lingkungan hidup. ”Output-nya nanti rekomendasi. Sederhananya, kalau PUPR mau bangun jalan, setelah dilihat di tempat itu rawan longsor, jadi ya mohon digeser,” katanya.
Dalam tata ruang, lanjut Adiyaksa, pemerintah juga tetap menghormati aspek legal formal perizinan yang sudah dimiliki pihak swasta. Pengelolaan tata ruang tidak bisa membatalkan, apalagi mencabut, semua perizinan, tetapi lebih menyesuaikan dengan kondisi lingkungan.
Hal serupa disampaikan Segah. Menurut dia, Kalteng yang hijau bukan hanya soal menanam, melainkan juga menjaga pertumbuhan, baik aspek ekonomi maupun sosial. ”Jangan hanya ekonominya yang bagus, tetapi kehidupan masyarakatnya juga harus baik,” ucapnya.