Tim KJRI Johor Bahru segera mendatangi lokasi kejadian dan Rumah Sakit Sultanah Aminah, Johor Bahru, untuk identifikasi dan penanganan korban. Berdasarkan keterangan pihak terkait, identitas 11 jenazah belum diketahui.
Oleh
Pandu Wiyoga
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Kabar duka kembali terdengar setelah 11 warga negara Indonesia tewas dalam kecelakaan kapal motor yang tenggelam di perairan Johor, Malaysia, Rabu (15/12/2021). Mereka diduga berusaha masuk ke Malaysia untuk bekerja tanpa dokumen resmi.
Para korban tewas telah dibawa ke rumah sakit di Johor untuk diidentifikasi. Kepastian terkait korban WNI yang tewas dalam kecelakaan itu disampaikan Duta Besar RI untuk Malaysia Hermono ketika dihubungi dari Jakarta.
”Jumlah korban tewas 11 orang, terdiri dari 7 laki-laki dan 4 perempuan,” kata Hermono. Adapun 12 laki-laki dan 2 perempuan selamat.
Menurut keterangan dari penumpang yang selamat, kata Hermono, kapal naas itu mengangkut 50 penumpang. Kapal berangkat dari Tanjung Uban, Kepulauan Riau. Hingga berita ini ditulis, otoritas keamanan Malaysia masih mencari 25 penumpang lain.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha di Jakarta menyatakan, Konsulat Jenderal RI (KJRI) Johor Bahru telah menerima informasi awal dari otoritas Malaysia mengenai kejadian tenggelamnya kapal itu. Disebutkan kapal terbalik pada Rabu sekitar pukul 05.00 waktu setempat, tepatnya di 0,3 mil laut (500 meter) tenggara Tanjung Balau, Kota Tinggi, Johor. Kecelakaan diduga karena cuaca buruk di sekitar lokasi kejadian.
Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial, dan Budaya KJRI Johor Bahru Andita Putri Purnama menjelaskan, tim KJRI Johor Bahru segera mendatangi lokasi kejadian dan Rumah Sakit Sultanah Aminah, Johor Bahru, untuk identifikasi dan penanganan korban. Berdasarkan keterangan pihak terkait, identitas 11 jenazah belum diketahui. Belum diketahui pula secara pasti total jumlah WNI di atas kapal sebelum kejadian.
Diduga ilegal
Media Malaysia, The Star, mengutip juru bicara Departemen Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Johor, mengatakan, kapal itu membawa total 60 orang. Angkatan Laut Malaysia membantu dalam operasi penyelamatan dengan mengambil perahu untuk memastikan tidak ada korban yang terperangkap di dalamnya. Kepala Penjaga Pantai Malaysia Laksamana Mohamad Zubil Mat Som kepada AFP mengungkapkan, para korban tewas ditemukan tentara Malaysia yang berpatroli. Para penumpang yang selamat telah ditahan otoritas keamanan setempat. Para penumpang kapal diduga kuat merupakan imigran yang mencoba masuk secara ilegal ke Malaysia. ”Kami sangat menyesalkan tragedi mematikan ini. Saya mendesak para migran untuk tidak memasuki Malaysia secara ilegal,” kata Zubil.
Kepala Seksi Kelembagaan dan Pemasyarakatan Program Unit Pelayanan Teknis (UPT) Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Tanjung Pinang Darman M Sagala menduga, kapal itu berangkat dari pelabuhan tidak resmi di Pulau Bintan. Sindikat penyelundup orang kini sering memanfaatkan Pulau Bintan karena pengawasan di Pulau Batam sudah ketat.
Aktivis kemanusiaan di Batam, RD Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong, mengatakan, peristiwa kecelakaan kapal berpenumpang WNI, yang diduga pekerja migran Indonesia (PMI), sudah berulang kali terjadi di Selat Malaka. Ia meminta pemerintah lebih serius mencegah peristiwa tragis seperti ini tidak terus terulang.
”Saya minta aparat menginvestigasi kasus ini secara serius. Sindikat perdagangan orang di balik kasus ini harus diungkap,” kata Paschalis.
Dalam catatan Kompas, Batam dan Bintan di Kepulauan Riau sering digunakan PMI tak berdokumen resmi menyeberang ke Malaysia. Pada 20 September 2020, enam orang yang menyeberang dari Bintan tewas setelah kapal berpenumpang 15 orang karam di perairan Bandar Penawar, Malaysia.
Kecelakaan paling parah terjadi pada 2 November 2016. Ketika itu, kapal pengangkut 93 pekerja migran Indonesia ilegal dan lima anak balita dari Johor Bahru tenggelam di perairan Batam. Sebanyak 54 orang tewas dan enam orang hilang.
Di Banten, Kepolisian Resor (Polres) Kota Tangerang menangkap sepasang suami istri yang menyalurkan PMI secara ilegal ke Timur Tengah di Kecamatan Sindang Jaya, Kabupaten Tangerang, Banten. Kepala Polresta Tangerang Komisaris Besar Wahyu Sri Bintoro menyebutkan, polisi menerima informasi tempat penampungan calon PMI ilegal di perumahan kawasan Sindang Jaya, yang ternyata rumah AR dan A. Mereka tengah menampung enam calon PMI asal Lampung. AR merupakan mantan petugas keamanan dan A mantan PMI. A merekrut calon PMI menggunakan akun media sosial dan AR mengurus paspor, vaksinasi Covid-19, dan keberangkatan ke luar negeri.
Wahyu mengatakan, keduanya memasang tarif Rp 20 juta-Rp 30 juta per orang untuk penempatan sebagai pekerja rumah tangga di Timur Tengah. Biaya itu untuk pembuatan paspor, visa, vaksinasi Covid-19, dan tiket pesawat.
”Mereka tiga laki-laki dan tiga perempuan. Ditawari bekerja secara ilegal di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Turki dan Qatar, dengan gaji Rp 16 juta per bulan,” ujarnya.
Anis Hidayah, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, menuturkan, penegakan hukum belum berjalan optimal. Selama ini pengungkapan kasus baru menyasar sebatas auktor lapangan sehingga tidak timbul efek jera. ”Kasus-kasus ini fenomena gunung es. Penindakan belum menyentuh auktor utama, baik individu maupun korporasi. Keterlibatan oknum pemerintah juga belum diusut tuntas sehingga terus berulang,” ucapnya. (BEN/DAN)