Para Perempuan Tangguh Pelestari Ukir Jepara dari Petekeyan
Di Desa Petekeyan, Jepara, tradisi mengukir dilakoni oleh perempuan secara turun-temurun, sedangkan laki-lakinya menjadi perajin kayu. Umumnya, ukiran yang dihasilkan sederhana untuk pelengkap produk mebel.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Tumbuhnya industrialisasi membuat lapangan pekerjaan kian beragam serta turut mengalihkan minat sebagian anak muda Jepara, Jawa Tengah. Dari urusan ukir dan perkayuan menjadi pekerja pabrik. Komitmen sejumlah warga untuk tetap mengukir menjadi perisai warisan budaya. Di Desa Petekeyan, pekerjaan itu dilakukan oleh perempuan.
Di dalam gudang penuh tumpukan kayu, di Desa Petekeyan, Kecamatan Tahunan, Jepara, Jawa Tengah, Jumat (10/12/2021), Musrofah (51) membereskan dua kayu relatif tipis, kurang dari 1 sentimeter, sepanjang 50 cm dan lebar 30 cm. Ukiran sederhana berbentuk kembang pada kayu itu baru saja ia selesaikan. Belasan alat ukir berupa tatah serta satu kayu yang menjadi ”senjata” ia rapikan di meja.
”Bagaimanapun, ukir akan terus saya tekuni karena ilmunya tidak hilang. Dari kecil sudah diajari mengukir. Ini bantu-bantu saja. Mengukir kasar, tidak sampai lentik-lentik. Bisa disambi beres-beres rumah,” ujar Musrofah.
Musrofah merupakan salah seorang perempuan pengukir di Petekeyan. Di desa tersebut, tradisi mengukir dilakoni oleh perempuan secara turun-temurun, sedangkan laki-lakinya menjadi perajin atau tukang kayu. Umumnya, ukiran yang dihasilkan sederhana untuk pelengkap produk mebel. Desa itu juga dikenal sebagai sentra mebel minimalis.
Terletak sekitar 5,5 kilometer dari selatan pusat kota Jepara, terdapat papan bertuliskan ”Kampoeng Sembada Ukir” di tikungan Jalan Raya Jepara-Bugel menuju Desa Petekeyan. Dari Sabtu hingga Kamis akan tersuguhkan pemandangan para perempuan mengukir di teras rumah mereka. Sementara pada Jumat, mereka libur.
Namun, terkadang ada yang tetap mengerjakannya pada Jumat, seperti yang dilakukan Musrofah. Ia sendiri bukan pekerja, tetapi memiliki usaha mebel bersama suaminya, yang dimulai sejak 2000. Sejak sekitar enam bulan terakhir, ukiran ia kerjakan sendiri. Di samping ketersediaan tenaga yang berkurang, ia juga bisa tak perlu mengeluarkan biaya upah pekerja.
”Kalau pakai tenaga ukir, kan, keluar biaya Rp 40.000-Rp 50.000 per hari. Jadi, kalau ukir sendiri, uangnya bisa dipakai buat keperluan sehari-hari,” kata ibu empat anak dan tiga cucu tersebut.
Sekitar 300 meter dari rumah Musrofah, Diya Ayu Lestari (27) bersiap berangkat mengunjungi saudaranya. Pada Kamis, ia baru menyelesaikan pekerjaan ukir dari bosnya. Ada istilah ”Kamisan” atau sudah waktunya ukiran diberikan kepada bos yang memberi pekerjaan. Jumat libur dan pekerjaan baru dimulai lagi Sabtu.
Tidak tergoda
Diya merupakan salah satu di antara generasi muda perempuan pengukir di Petekeyan. Saat ramai pesanan, pendapatannya berkisar Rp 600.000-Rp 800.000 per pekan, sedangkan saat sepi sekitar Rp 300.000 per pekan. Apabila sebagian rekan sebayanya mulai memilih menjadi pekerja pabrik garmen, ia memilih tetap menjadi pengukir.
”Saya memang lebih nyaman mengukir daripada di pabrik. Kalau dihitung-hitung, penghasilannya sama saja. Kalau ukir, kan, dikerjakannya bisa di rumah. Tatah punya sendiri, tetapi kayu dari bos. Jadi, tinggal ukir,” kata Diya yang sejak kelas VI madrasah ibtidaiyah sudah mulai mengukir, membantu pekerjaan ibunya.
Pertimbangan lain, lanjut Diya, tren permintaan mebel sudah berubah. Apabila sebelumnya banyak pesanan mebel dengan ornamen ukir rumit, seperti pada kursi lois, kini lebih banyak pesanan mebel minimalis. Selain waktu pengerjaan yang lebih lama, kala itu bayarannya pun lebih sedikit, berbeda sekitar Rp 30.000.
Saya memang lebih nyaman mengukir daripada di pabrik. Kalau dihitung-hitung, penghasilannya sama saja. Kalau ukir, kan, dikerjakannya bisa di rumah. Tatah punya sendiri, tetapi kayu dari bos. Jadi, tinggal ukir.
Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Musrofah dan Diya juga sejatinya tengah menjaga warisan budaya ukir Jepara. Apalagi, sekitar lima tahun terakhir, seiring masuknya penanaman modal asing, tumbuh berkembang industri, seperti garmen dan sepatu, di Jepara. Minat anak muda pada ukir pun teralihkan.
Keduanya tetap berharap ukir Jepara tidak punah meski tergerus perkembangan zaman. ”Bagaimanapun, tradisi ini sudah turun-temurun. Ukir Jepara harus tetap lestari,” kata Diya.
Kendati zaman banyak berubah, Musrofah yakin generasi penerus ukir Jepara, khususnya di Petekeyan, tidak akan hilang. ”Memang sekarang sudah banyak berkurang. Tapi, generasi penerus yang tetap mengukir juga banyak. Saya yakin tidak akan musnah,” ucapnya.
Tantangan
Bupati Jepara Dian Kristiandi mengatakan, pelestarian budaya ukir menjadi tantangan di tengah meningkatnya industrialisasi. Pihaknya, antara lain, berupaya mengedukasi masyarakat dengan mengenalkan lebih jauh bahwa ukir merupakan warisan budaya serta kearifan lokal yang harus dilestarikan.
Pemerintah Kabupaten Jepara juga terus menjalin komunikasi dengan para pengusaha mebel melalui Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). ”Dengan komitmen pengusaha untuk selalu menawarkan kepada buyer, agar disertakan ukiran sebagai ornamen meski barang pesanannya berbentuk minimalis,” ucap Andi, sapaan Dian Kristiandi.
Upaya lain dilakukan melalui kegiatan pameran oleh dinas terkait, seperti dinas kebudayaan dan pariwisata; dinas koperasi, UKM, tenaga kerja, dan transmigrasi; serta dinas perindustrian dan perdagangan. Hal tersebut penting sebagai promosi sehingga pasar diharapkan terus berkembang.
Petekeyan sendiri, yang merupakan desa wisata berbasis ekonomi kreatif, akan terus dikembangkan sehingga geliat ekonomi dengan napas pelestarian budaya ukir tidak berhenti. ”Dinas terkait akan lebih mendorong promosi,” ujar Andi.
Kus Haryadi dalam bukunya, Langgam Relief Jepara (2016), menyebutkan, secara alami, para perajin seni ukir Jepara cenderung membangun unit usaha secara berkelompok di suatu kawasan tertentu, secara bertahap. Banyaknya perajin yang membangun unit usaha biasanya didorong keberhasilan perajin yang lebih dulu, lalu ditiru.
Dengan berkumpulnya unit usaha di satu kawasan, mereka saling belajar dan bekerja sama dalam mengembangkan usaha serta meningkatkan kualitas produknya. ”Dengan demikian, produk dari kawasan itu semakin menonjol. Pembeli pun lebih banyak yang datang ke kawasan kluster perajin karena akan banyak pilihan,” tulisnya.
Selain Desa Petekeyan sebagai sentra furnitur minimalis, Jepara juga punya Desa Senenan di Kecamatan Tahunan yang menjadi sentra relief, Desa Mulyoharjo di Kecamatan Jepara sebagai sentra patung, dan Desa Blimbingharjo di Kecamatan Nalumsari sebagai sentra gebyok. Upaya pelestarian perlu terus digelorakan agar warisan budaya luhur itu tidak punah.