Warga terdampak gempa di utara Pulau Flores masih mengungsi. Lantaran tak ada korban jiwa dan kerusakan berarti, pemerintah daerah tidak menetapkan status tanggap darurat.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Gempa susulan yang terus meneror pesisir utara Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, membuat warga masih khawatir akan keselamatan mereka. Sebagian warga memilih mengungsi di tempat yang aman hingga kondisi benar-benar pulih. Mereka yang mengungsi kebanyakan penyintas gempa dan tsunami Flores 1992.
Pius Lewar (33), warga Desa Patisirawalang, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, yang dihubungi pada Rabu (15/12/2021) mengatakan, banyak warga di kecamatan itu masih mengungsi. ”Mereka mengungsi sendiri-sendiri ke kebun yang berada di perbukitan,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan, pada Selasa terjadi gempa tektonik dengan magnitudo 7,4. Episenter gempa pada koordinat 7,59 Lintang Selatan dan 122,24 Bujur Timur di kedalaman 10 kilometer di bawah permukaan laut. Titik gempa sekitar 112 kilometer arah barat laut Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur.
Pius menyebutkan tidak ada laporan kerusakan akibat gempa. Korban jiwa juga nihil. Padahal, daerah di pesisir utara Flores itu termasuk dekat dengan pusat gempa. ”Guncangannya sangat kuat, tetapi mengayun, tidak naik turun. Mungkin ini yang tidak menimbulkan kerusakan,” katanya.
Menurut Pius, warga setempat masih trauma dengan gempa dan tsunami yang pernah melanda daerah itu tahun 1992. Desa Lamatutu, sekitar 15 kilometer dari Patisirawalang, mengalami longsor dan tenggelam. Itulah bencana terburuk yang masih terekam generasi saat ini.
Seluruh masyarakat yang berada di wilayah Flores, Lembata, dan sekitarnya agar tetap tenang, jangan panik, serta dapat kembali ke rumah masing-masing. (Viktor Laiskodat)
Sementara itu, di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, sekitar 130 kilometer sebelah barat Larantuka, banyak warga masih mengungsi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, jumlah pengungsi di Maumere sebanyak 770 orang. Tak ada laporan korban jiwa ataupun kerusakan bangunan.
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat meminta warga tidak panik dengan kondisi tersebut. ”Seluruh masyarakat yang berada di wilayah Flores, Lembata, dan sekitarnya agar tetap tenang, jangan panik, serta dapat kembali ke rumah masing-masing,” katanya.
Menurut Viktor, pihaknya terus berkoordinasi dengan semua pihak untuk terus memantau perkembangan gempa susulan. Lantaran tidak ada korban jiwa dan kerusakan dalam jumlah besar, pemerintah tidak menetapkan masa tanggap darurat.
Yohanes Minggus (62), warga Maumere, mengatakan, gempa pada Selasa kemarin mengingatkan bahwa Pulau Flores dan sekitarnya merupakan daerah yang rawan dilanda gempa. Oleh karena itu, masyarakat harus siaga kapan saja sebab kejadian gempa tidak bisa diprediksi.
”Siaga itu tidak hanya bagaimana kita lari pada saat gempa, tetapi juga bagaimana kita membangun rumah tahan gempa. Selain itu, kita memilih tempat tinggal jauh dari pesisir. Juga yang paling penting, jangan tebang mangrove di pesisir karena mangrove jadi benteng saat tsunami,” ujarnya.
Minggus yang juga penyintas gempa dan tsunami tahun 1992 menuturkan, ketika terjadi tsunami saat itu, daerah di Kabupaten Sikka yang pesisirnya ditumbuhi mangrove lebat relatif lebih aman. Energi dan kecepatan tsunami dari Laut Flores diredam. Sementara pesisir tanpa pelindung rata dengan tanah.
”Sayang sekali, saat ini sebagian masyarakat kembali lagi ke daerah yang pernah dilanda tsunami dulu. Juga banyak warga yang menebang mangrove untuk membangun rumah dan membuat tempat wisata. Perilaku ini justru membahayakan diri kita sendiri,” katanya.
Dalam catatan kegempaan di Indonesia, gempa serupa pernah terjadi pada 12 Desember 1992, yang diikuti tsunami di Laut Flores yang merusak pesisir utara Pulau Flores. Maumere menjadi daerah yang terdampak paling parah kala itu. Total korban jiwa saat itu lebih dari 2.000 orang.