Gempa Flores dan Memori ”Desember Kelam” di Kepala Saya
Gempa yang mengguncang utara Pulau Flores pada Selasa (14/12/2021) mengingatkan kembali akan gempa serta tsunami yang menghancurkan daerah itu pada Sabtu (12/12/1992). Trauma itu kembali hadir.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Sabtu, 12 Desember 1992, pagi itu umur saya baru empat setengah tahun. Bersama seorang teman, kami menyusuri jalan di kampung kami, Desa Pandai, Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Tiba-tiba tanah bergoyang dan kami pun terjatuh ke badan jalan. Sebuah truk berlari dari arah depan, kami berusaha bangun namun terjatuh lagi.
Tak sanggup berdiri, kami berdua berusaha merayap secepat mungkin hingga ke pinggir jalan, sebelum truk itu melintas. Tiba di pinggir jalan, kami langsung menggulingkan badan ke dalam parit. Guncangan reda, kami berusaha bangun namun masih sempoyongan seperti orang mabuk minuman alkohol. Saya sempat muntah.
Saat itu ternyata terjadi gempa di Laut Flores yang terpaut ratusan kilometer dari kampung kami. Sebagaimana catatan Kompas, gempa saat itu berkekuatan magnitudo 7,8 dan diikuti tsunami. Sebagian wilayah Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, disapu tsunami yang tingginya sepertinya pohon kelapa.
Tsunami juga menyapu Pulau Babi yang berada di lepas pantai Maumere. Daerah itu terdampak paling parah. Pemerintah kemudian menyatakan Pulau Babi tak lagi layak dihuni. Gempa dan tsunami Flores saat ini menelan korban meninggal lebih dari 2.000 orang. Kerusakan bangunan tak terhitung banyaknya.
Cerita kelam pada 29 tahun lalu itu masih meninggalkan trauma bagi kami, masyarakat di bagian tengah hingga timur Flores. Setiap kali memasuki bulan Desember, kami selalu waspada. Desember seperti penanda musibah.
Selasa (14/12/2021), daerah itu kembali dilanda gempa. Peristiwa ini sontak membangkitkan kembali rasa trauma itu. Kali ini, gempa berpusat di Laut Flores pada kedalaman 12 kilometer di bawah permukaan laut. Titik gempa sekitar 112 kilometer barat laut Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur.
Getaran gempa terasa di bagian utara Flores, mulai dari Kabupaten Manggarai hingga Flores Timur, kemudian Lembata dan Alor. Dalam tarikan garis lurus, daerah itu terbentang sepanjang lebih kurang 500 kilometer dari barat ke timur.
Dari sejumlah video yang dihimpun Kompas, warga berhamburan ke luar rumah. Mereka berlari ke tempat yang lebih tinggi. Tanpa menunggu aba-aba, mereka berusaha menghindar karena khawatir terjadi tsunami. BMKG menyatakan, gempa itu berpotensi tsunami.
”Gempa ini seperti tahun 1992. Guncangannya sangat kuat, puluhan detik. Beda dengan tahun 1992 yang gempanya naik turun, gempa ini seperti ayunan kiri kanan,” kata Stefanus Kopong (61), warga Adonara.
Warga berlari ke atas bukit sebagai bentuk mitigasi mandiri. Mereka tidak menunggu aba-aba. Sebagaimana sosialisasi bahaya gempa yang sering mereka ikuti di media, saat gempa lebih dari 10 detik, mereka segera menjauhi pesisir. ”Masyarakat sudah sadar,” ujarnya.
Maksimus Masan Kian (34), warga Larantuka, menuturkan, gempa terasa sangat kuat di daerah itu. Lama guncangan lebih dari 20 detik. ”Air sumur dengan kedalaman 12 meter bisa tersembur keluar. Ini mengerikan sekali,” katanya.
Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, menjadi perhatian. Saat gempa dan tsunami 1992, daerah itu terdampak paling parah. Selasa siang kemarin, warga di daerah itu berlari histeris. Mereka menjauhi pesisir, terutama lokasi yang 29 tahun silam rata disapu gelombang.
Di kompleks permukiman Wuring, Kelurahan Wolomarang, permukaan air laut sempat naik, kemudian surut kembali. Khawatir dengan gempa susulan, banyak warga memilih menjauhi pesisir. Untuk sementara mereka tinggal di rumah penduduk dan pinggir jalan yang jauh dari pantai.
Remigius Nong (42), warga Maumere, menuturkan, penyelamatan diri warga belum berjalan dengan teratur. Saking paniknya, banyak warga yang terjatuh dan saling tabrak saat berlari. Kemacetan pun terjadi di beberapa ruas jalan.
”Ada yang luka-luka karena jatuh. Manajemen penyelamatan diri masih harus terus dilatih,” ucapnya.
Remigius mengatakan, ada rumah yang retak. Konstruksi rumah di daerah itu banyak menggunakan beton dengan kualitas seadanya. Padahal, daerah itu rawan gempa. Kualitas rumah belum memperhatikan aspek mitigasi bencana. Sementara rumah dari kayu semakin jarang ditemui seiring berkurangnya bahan baku. Harga kayu juga kian mahal.
Hingga Selasa petang belum ada laporan mengenai korban jiwa ataupun kerusakan bangunan akibat gempa tersebut. Wakil Gubernur NTT Josef N Soi mengatakan, pihaknya masih mengumpulkan data dari lapangan. Fokus pendataan di bagian utara Pulau Flores. ”Kami ingin datanya lebih akurat,” katanya.
Josef pun mengapresiasi mitigasi mandiri yang dilakukan warga. Ia mengingatkan warga agar tetap waspada. Gempa semacam itu berpotensi berulang sebab wilayah Flores berada dalam lingkaran cincin api. Di Flores banyak sesar aktif. Gempa senantiasa menghantui setiap waktu.
Gempa pada Selasa kemarin seperti menghadirkan kembali memori kelam akan kejadian gempa dan tsunami tahun 1992 yang menewaskan lebih dari 2.000 orang. Pun, gempa datang di bulan yang sama, yakni Desember. Mitigasi menjadi kunci agar tidak ada lagi air mata jika suatu saat nanti kejadian memilukan itu datang lagi.