Demi mencegah terjadinya kekerasan pada anak dan perkawinan dini, sejumlah anak muda berkarya lewat puisi dan pantun. Bait demi baitnya mengetuk pintu kesadaran untuk turut peduli dan menolak adanya kekerasan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
Demi mencegah terjadinya kekerasan pada anak dan perkawinan dini, sejumlah anak muda berkarya lewat puisi dan pantun. Bait demi baitnya mengetuk pintu kesadaran untuk turut peduli dan menolak adanya kekerasan.
”Sayat-sayat bergemuruh.
Titik-titik yang menggores hati.
Seonggok tiang yang terjatuh menjalin cinta,
Tetapi malah menjadi duka.
Tubuh kecil tersenyum manis,
kini berubah menjadi tangis.”
Bait awal yang diciptakan Ibnu Sabil, seorang pelajar asal Lombok Barat, memincut perhatian para juri lomba menulis pantun dan puisi yang diselenggarakan akhir November lalu.
”Kami menyangka penulis puisi ini adalah seorang perempuan, mungkin pernah menjadi korban kekerasan. Ternyata laki-laki,” ujar Zulfa Amira, salah seorang juri lomba itu, Rabu (15/12/2021).
Ibnu terpilih sebagai juara lomba puisi bertema ”Dampak Negatif Perkawinan Anak” itu. Lomba itu salah satu rangkaian Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan yang merupakan bagian kampanye internasional mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Setiap tahun, kegiatan ini berlangsung mulai dari 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Menurut Zulfa, semua puisi dan pantun yang masuk memiliki kedalaman makna, menyiratkan kepedulian dan keprihatinan yang besar atas fenomena kekerasan terhadap anak. Para peserta juga memiliki pemahaman yang mendalam atas isu terkait.
Pendiri Beranda Perempuan, Zubaidah, menyebutkan, kekerasan terhadap anak cenderung meningkat selama masa pandemi. Bentuknya lewat kekerasan seksual hingga pernikahan dini atau budaya perjodohan anak. Peningkatan fenomena itu bahkan lebih besar didapati di wilayah perdesaan.
Kekerasan terhadap anak cenderung meningkat selama masa pandemi.
Orangtua umumnya menganggap, menikahkan anak perempuan menandakan upaya mereka untuk melindungi anaknya. Sebab, dikiranya suami mampu melindungi anak perempuannya. ”Padahal, suaminya belum cukup kuat karena masih terlalu muda juga. Bukannya melindungi, malah bahaya akan muncul,” ujarnya.
Selama festival, anak-anak muda dilibatkan memahami risiko menikah di usia dini. Selain itu, remaja dikuatkan dan dimotivasi untuk memantapkan diri bersekolah.
Zubaidah melanjutkan, perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan berbasis jender yang dapat menurunkan kualitas hidup anak. Upaya pencegahan perkawinan anak yang dilakukan melalui pendewasaan umur kawin yang semula 16 tahun menjadi 19 tahun untuk perempuan dan laki-laki dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ternyata belum memberikan perubahan signifikan. Perkawinan anak terus berlangsung, bahkan meningkat.
Peringatan Hari Antikekerasan terhadap Perempuan ini menjadi momen penting mengajak anak-anak muda untuk aktif merespons kegentingan maraknya kekerasan berbasis jender dalam praktik perkawinan anak di Jambi. Saat ini, lanjutnya, Jambi berada di urutan ke-9 daerah dengan tingkat perkawinan dan kekerasan anak paling tinggi. Persentasenya 14,8 persen. Presentase itu meningkat dari tahun 2018 sebesar 12,1 persen.
Tingginya angka tersebut menempatkan Provinsi Jambi sebagai salah satu dari tiga provinsi yang harus menjadi perhatian dengan angka kenaikan signifikan dalam rentang waktu 2018-2019. Kenaikannya sebesar 2,07 persen, lebih tinggi daripada Papua Barat yang naik 2,04 persen dan Kalimantan Barat yang berada di urutan pertama dengan kenaikan 3,54 persen (Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2018 dan 2019).
Peraih penghargaan Women of the Year oleh Her World Indonesia, Suci Apriani, mengatakan, berbagai penelitian telah mengungkap rentetan dampak perkawinan di bawah umur 18 tahun, salah satunya dapat berisiko pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Risiko lain, meningkatkan angka perceraian.
Anak juga rentan mengalami kekerasan seksual dan penurunan kualitas hidup. Bahkan, pernikahan di bawah umur bisa memicu tingginya angka kemiskinan. Budaya perjodohan, interpretasi agama, dan praktik tradisi lokal yang turut melegitimasi perkawinan anak harus dicegah.
Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan diselenggarakan Beranda Perempuan bersama 17 lembaga mitra kampaye Plan Indonesia serta didukung Kompas. Kegiatan itu membuka ruang bagi anak-anak muda, khususnya perempuan, untuk bersuara serta turut mendorong pemenuhan hak dan kesetaraan bagi anak perempuan.
Selain sejumlah lomba, para remaja juga turut berkreasi dalam pentas yang diselenggarakan di Pulau Raman, Kabupaten Batanghari.