Tren bersepeda yang tumbuh di masa pandemi tak hanya mendorong gaya hidup sehat. Kayuhan pedal warga urban turut memutar roda ekonomi di perdesaan, termasuk di Yogyakarta. Warung, jasa sewa, hingga tur sepeda tumbuh.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Tumbuhnya tren bersepeda selama pandemi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tak hanya mendorong gaya hidup lebih sehat. Ditopang gairah berbagi di media sosial, kaum urban gandrung menjelajahi alam perdesaan. Dari kayuhan mereka, roda ekonomi pun turut berputar.
Setelah bersepeda sekitar 15 kilometer, Agus Subroto (42) sampai di area persawahan Dusun Pronosutan, Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, DIY, Sabtu (4/12/2021) pagi. Di tempat itu, ia berhenti sejenak, lalu duduk di tepi jalan yang membentang di tengah sawah. Beberapa saat, ia hanya diam menikmati semilir angin di antara hamparan padi menghijau dengan latar belakang Pegunungan Menoreh.
”Pemandangannya bagus karena ada hamparan sawah luas dan Pegunungan Menoreh. Di sisi utara juga bisa kelihatan Gunung Merapi dan Merbabu,” ujar Agus, warga Kabupaten Sleman, DIY.
Agus tak sendirian. Pagi itu, puluhan goweser lain lalu-lalang di kawasan yang disebut ”Pronosutan View” itu. Mereka mengayuh pedal di jalan cor semen di tengah persawahan, lalu berfoto-foto dengan latar belakang bentangan sawah nan estetik. Puas berfoto untuk konten media sosial, mereka singgah di sejumlah warung makan yang belakangan kian marak di sana.
Warga Pronosutan, Martinus Didi (35), menuturkan, area persawahan Pronosutan mulai dikenal luas sejak 2019. Sejak itu, Pronosutan banyak dikunjungi wisatawan dan pesepeda. Saat tren bersepeda meningkat selama pandemi Covid-19, jumlah goweser yang berkunjung pun melonjak.
Para pesepeda terpikat dengan hamparan sawah Pronosutan yang kerap dibandingkan dengan panorama kawasan Ubud, Bali. Bahkan, Pronosutan sering disebut Ubud-nya Yogyakarta. ”Padahal, sebelumnya, tempat ini, ya, sawah biasa. Yang datang ke sini cuma petani yang mau garap sawah,” ujar Didi.
Maraknya kunjungan pesepeda turut mengungkit perekonomian setempat. Hal itu, antara lain, tampak dari munculnya jasa penyewaan sepeda yang dikelola oleh masyarakat sejak Desember 2020. Dengan itu, pengunjung yang tak membawa sepeda pun bisa merasakan sensasi gowes di tengah area persawahan Pronosutan.
Didi mengatakan, jasa penyewaan bernama Tour Sepeda Menoreh itu melibatkan sekitar 15 keluarga di RT 058 RW 019 Dusun Pronosutan. Berdasarkan kesepakatan, setiap keluarga di RT 058 wajib menyediakan minimal satu sepeda, tetapi ada juga yang menyediakan lebih. ”Warga melihat jasa sewa sepeda ini jadi peluang menambah pemasukan,” katanya.
Saat ini, Tour Sepeda Menoreh memiliki 40 unit sepeda yang terdiri dari dua jenis, sepeda gunung dan sepeda lipat. Uniknya, sebagian besar sepeda ternyata dibeli warga secara kredit. ”Harga satu sepeda rata-rata Rp 2 juta. Setiap bulan, warga mencicil Rp 210.000 selama 10 bulan,” kata Didi yang juga pengelola Tour Sepeda Menoreh itu.
Tour Sepeda Menoreh mematok tarif Rp 15.000 per jam dan Rp 20.000 untuk dua jam. Selain pengunjung perorangan atau keluarga, penyewa sepeda juga berasal dari rombongan karyawan perusahaan yang kerap mengadakan acara di Pronosutan.
Menurut Didi, pada akhir pekan, jumlah penyewa sepeda bisa mencapai 80 orang per hari. Jadi, saat akhir pekan, pendapatan bisa mencapai Rp 1,2 juta per hari. ”Pendapatan dibagi rata ke semua warga yang terlibat. Meskipun ada warga yang sepedanya tidak disewa, mereka tetap dapat bagian,” ungkapnya.
Pendapatan dibagi rata ke semua warga yang terlibat. Meskipun ada warga yang sepedanya tidak disewa, mereka tetap dapat bagian.
Pos pit
Tren bersepeda juga ikut menggerakkan perekonomian di Dusun Sangurejo, Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Sleman. Sejak 2016, warga dusun mengembangkan Desa Wisata Sangurejo. Sebelum pandemi, wisatawan bisa mengikuti jelajah alam dan susur sungai, menikmati kesenian lokal, menjajal jemparingan atau panahan tradisional, serta menginap di homestay warga. Namun, pandemi membuat aktivitas itu terhenti.
Ketua Pengelola Desa Wisata Sangurejo, Nurrohmat Fitriyanto (36), menuturkan, sejak Mei 2020, pihaknya mengembangkan pos pit atau tempat istirahat pesepeda di dusun tersebut. Idenya berawal dari banyaknya pesepeda yang singgah di Embung Kaliaji yang sebagian wilayahnya berada di Dusun Sangurejo.
”Setelah pandemi itu, kan, banyak goweser karena masyarakat ingin berolahraga dan menjaga imunitas. Waktu itu, saya lihat setiap hari banyak pengunjung sepedaan ke sini. Akhirnya, kami membuka pos pit,” ujar Nurrohmat.
Pos pit Dusun Sangurejo dilengkapi warung makan yang menjual soto beserta aneka gorengan dan minuman. Awalnya, warga berjualan soto dengan gerobak, sedangkan pengunjung duduk lesehan di bawah pepohonan dekat Embung Kaliaji. Meski sederhana, pos pit disambut antusias.
”Dulu, saat ramai-ramainya goweser, dari pukul 06.00 sampai 09.30 pernah habis 200 porsi soto,” tutur Nurrohmat. Seiring waktu, pengelola Desa Wisata Sangurejo pun menambah sejumlah fasilitas di pos pit, di antaranya sejumlah gazebo dan minibar.
Pendapatan pos pit terhitung lumayan, berkisar Rp 4 juta hingga Rp 4,5 juta per bulan. Meski belum terlalu banyak, pendapatan itu bisa menambah penghasilan warga. ”Kami enggak tahu dampak pandemi ke desa wisata sampai kapan. Makanya, kami harus bangkit dengan usaha kuliner di pos pit ini,” ungkap Nurrohmat.
Peluang ekonomi dari tren gowes juga dimanfaatkan pemilik biro perjalanan Java Paradise Travel, Irfan Yusuf (40). Sejak setahun lalu, Irfan mengembangkan tur wisata sepeda dengan nama ”Sepedaan di Jogja”. Lewat promosi di medsos, sebagian besar tamu justru datang dari luar kota. ”Kalau travel agent itu sejak 2006, tetapi selama pandemi, kan, tidak ada kegiatan. Lalu muncul tren bersepeda itu, ya sudah kami coba ambil pasar itu,” ungkapnya.
Yang paling laku rute ke Menoreh karena pemandangannya beragam, mulai dari gunung, lembah, sawah, hingga sungai. Untuk orang-orang Jakarta, itu kan pemandangan langka dan mahal.
Dalam tur sepeda itu, Irfan menyiapkan sejumlah jalur yang bisa dipilih tamu, misalnya menjelajahi kawasan Pegunungan Menoreh, Sungai Oya, lereng Gunung Merapi, Candi Prambanan, Candi Borobudur, atau sekadar tur dalam Kota Yogyakarta. Rute dibagi tiga kategori, jarak pendek 30 kilometer (km), jarak menengah 50-60 km, dan jarak jauh lebih dari 100 km.
”Yang paling laku rute ke Menoreh karena pemandangannya beragam, mulai dari gunung, lembah, sawah, hingga sungai. Untuk orang-orang Jakarta, itu kan pemandangan langka dan mahal,” ungkap Irfan.
Selain rute, Irfan juga menyiapkan kebutuhan logistik dan mekanik, dokumentasi foto dan video, serta pemandu dan marshall. Jika ada tamu yang tak membawa sepeda, Irfan juga bisa menyiapkannya. Namun, biasanya, para tamu sudah membawa sepeda sendiri. Bahkan, beberapa tamu luar kota rela menyewa bus untuk mengangkut sepeda-sepeda mereka.
”Rata-rata, tamu kami memang dari luar kota, misalnya Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Banyak dari mereka ke Yogyakarta khusus untuk bersepeda. Mereka sampai bawa sepeda dengan bus atau mobil,” ujar Irfan.
Itulah ekonomi sepeda, terminologi yang mungkin pantas disematkan pada fenomena belakangan saat gaya hidup bersepeda ikut menggerakkan banyak sektor usaha. Tak hanya investor besar, peluang ini juga digarap warga lokal, seperti di Yogyakarta.