Salah Tangkap, Dua Polisi di Polres Palu Diduga Langgar Kode Etik
Perbaikan penanganan perkara di lapangan di tubuh kepolisian harus terus dilakukan agar tak terjadi kesalahan prosedur yang bisa melukai keadilan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Dua anggota Satuan Intelijen Kepolisian Resor Palu, Sulawesi Tengah, diduga melanggar kode etik. Keduanya menangkap dan menganiaya seorang anak yang mereka duga sebagai pelaku penjambretan. Padahal, anak tersebut bukan pelaku penjambretan. Ia justru sempat membantu polisi mengejar pelaku.
Kepala Kepolisian Resor Palu Ajun Komisaris Besar Bayu Indra Wiguno mengatakan, kedua polisi tersebut diduga melanggar Pasal 3 huruf (g) dan Pasal 5 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 02 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia.
”Dari tiga personel yang terlibat, berdasarkan pemeriksaan, ada dua orang yang ditetapkan sebagai terduga pelanggar (kode etik),” ujar Bayu, di Palu, Jumat (10/12/2021).
Dua polisi itu, yakni Brigadir RP dan Brigadir FA, menangkap dan menganiaya P (17) pada Minggu (28/11/2021) sore di salah satu ruas jalan di Kota Palu. Saat itu terjadi penjambretan. Korban berteriak meminta tolong. Kebetulan, tiga polisi ada di sekitar lokasi.
Mereka dengan responsif langsung mengejar pelaku. Namun, yang mereka tangkap adalah P, siswa sekolah menengah atas di Palu. P sempat dipukul yang menyebabkan luka di bagian lehernya. Dari pemeriksaan, P sebenarnya justru sedang mengejar pelaku karena mendengar teriakan korban dan melihat pelaku lari dengan sepeda motor.
”Ada salah perhitungan dari anggota sehingga terjadi penangkapan dan pemukulan terhadap P,” ujar Bayu. Kondisi P saat ini sudah membaik. Ia sempat trauma dengan tak keluar rumah setelah kejadian tersebut.
Selain itu, mereka mengabaikan fakta ada informasi dari korban jambret bahwa P bukan pelaku.
Bayu mengatakan, penyidik menyimpulkan kedua tersangka melakukan tindakan represif berdasarkan informasi yang tak cukup terhadap P. Selain itu, mereka mengabaikan fakta ada informasi dari korban jambret bahwa P bukan pelaku. Mereka tidak segera menolong setelah informasi tersebut, malah membiarkan P dalam keadaan luka.
Berkas atas nama Brigadir RP dan Brigadir FA sudah lengkap. Polres Palu tinggal menunggu saran hukum dari Kepolisian Daerah Sulteng untuk proses lebih lanjut, yakni sidang kode etik keduanya.
Bayu juga menyatakan, pihaknya meminta maaf kepada keluarga korban atas tindakan represif yang dilakukan kedua polisi tersebut. Penetapan kedua polisi itu sebagai terduga pelanggar kode etik merupakan wujud keseriusan untuk menuntaskan dugaan pelanggaraan sekaligus demi menjaga profesionalisme kepolisian.
Saat ini, RP dan FA sudah dibebastugaskan untuk kelancaran pemeriksaan kasus. Mereka dikenai status wajib lapor. Terkait dengan dugaan pidana, Bayu mengatakan, hal itu sementara didalami Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal Polres Palu. Penyelidikan pidana berjalan paralel dengan penyidikan kode etik.
Sementara, ibu dari P mengatakan, dirinya menyerahkan semua proses hukum kepada Polres Palu. ”Saya pikir ada mekanisme di kepolisian untuk menangani dan memberikan sanksi kepada anggota yang melanggar. Apakah dipecat atau dipidana penjara, itu harus mereka terima sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindakan mereka,” katanya.
Perbaikan
Bayu menuturkan, untuk menjaga disiplin anggota, pihaknya setiap hari Kamis menggelar latihan fungsi. Latihan itu dilakukan untuk memantapkan disiplin anggota dalam menjalankan tugas, seperti bagaimana prosedur menangkap atau membawa tahanan dan menghindari hal-hal yang membahayakan petugas.
Namun, di lapangan sering muncul hal-hal tak terduga yang memengaruhi psikologi petugas. ”Kami akan selalu memperbaiki (disiplin anggota) melalui latihan dan tes psikologis rutin,” kata Bayu.
Sebelum kejadian ini, penegakan kode etik terhadap anggota kepolisian juga dilakukan atas mantan kepala kepolisian sektor di Polres Parigi Moutong. Kasusnya sudah disidangkan pada tingkat pertama dengan hasil rekomendasi untuk dipecat.
Putusan final menunggu hasil sidang banding. Ia dinyatakan bersalah karena memanfaatkan posisinya untuk bersetubuh dengan anak seorang tahanan dengan iming-iming membebaskan ayah korban.
Kepala Bidang Humas Polda Sulteng Komisaris Besar Didik Supranoto beberapa waktu lalu mengatakan, untuk mengontrol perilaku anggota dalam penanganan perkara, di semua tingkatan kepolisian terdapat mekanisme kontrol internal. Ada satuan yang dibentuk untuk pengawasan tersebut. Di polda ada bidang profesi dan pengamanan (propam) dan inspektur pengawasan daerah. Hal yang sama terdapat di tingkat polres.