Bencana erupsi Semeru kali ini lagi-lagi membuktikan bahwa bangsa ini tidak pernah kehilangan orang-orang baik dan tulus membantu sesama. Masih banyak sukarelawan mau membantu sesama, tanpa embel-embel kepentingan.
Oleh
DAHLIA IRAWATI, AMBROSIUS HARTO, NINO CITRA
·3 menit baca
Di luar TNI/Polri, peran penting dalam penanganan pengungsi terdampak erupsi Gunung Semeru 2021 diambil alih oleh sukarelawan. Mereka mengoordinasi pengungsi, bantuan, hingga menjadi tumpuan warga untuk menemukan anggota keluarganya yang hilang.
M Mansur (25), misalnya, datang pada Sabtu (04/12/2021) malam ke Supiturang, Lumajang, setelah mendengar ada bencana awan panas. Saat itu ia mendapati banyak warga kalut seusai menyelamatkan diri dari guguran awan panas Semeru. Malam itu bantuan dari berbagai pihak datang mengalir, tetapi tanpa tahu tujuan. Akhirnya, Mansur dan lima temannya dari YDSF Malang memutuskan membuka posko pengungsian di SDN Supiturang 04.
Mereka mulai menyiapkan ruang istirahat, mendata pengungsi, membeli makanan jadi, dan kebutuhan lain. Oleh karena hanya berenam, Mansur kemudian menghubungi teman-teman komunitas lain untuk bergabung membantu mengurusi posko pengungsian tersebut. Akhirnya, bantuan sumber daya pun mulai bertambah dan pengungsi mulai tertangani dengan baik.
Tidak mudah mengelola pengungsi di SDN Supiturang. Kawasan itu terpisah dari pusat pemerintahan Lumajang karena terputusnya jembatan Gladak Perak. Pemerintah, dalam hal ini staf Kecamatan Pronojiwo, baru datang berkoordinasi dengan Mansur pada hari ke-5 erupsi, tepatnya Rabu (08/12/2021). Itu pun setelah sukarelawan menyuarakan kritiknya pada media.
Tantangan berbeda dialami sukarelawan tim evakuasi. Mereka berkejaran dengan waktu dan risiko untuk menyelamatkan warga. Sukarelawan SAR dari Probolinggo, Anang Nugroho, mengatakan, cuaca selama operasi berubah-ubah. Saat cerah mereka bergerak dan bekerja cepat. Namun, jika diketahui Gunung Semeru erupsi dan membahayakan, operasi terpaksa dihentikan sementara, anggota menjauh untuk memastikan keselamatan.
Menyeberangi lapisan tebal abu dan menyusuri kawasan berbahaya menjadi makanan mereka sehari-hari. ”Ketika menemukan korban, perasaan campur aduk tetapi lega karena yang dinyatakan hilang tentu berkurang,” kata Wahyudi, warga Curah Kobokan, yang turut menjadi potensi dalam tim SAR terpadu.
Menghibur warga
Sukarelawan tak hanya bergerak mengurus warga. Ada pula yang datang untuk membuat mereka tertawa melupakan kepedihan. Komunitas Entertainment Jawa Timur dan Galena Rescue, misalnya, datang dan menghibur anak-anak pengungsi di SDN Supiturang 04. Mereka mengajak anak-anak bernyanyi, bermain games, sulap, dan tebak-tebakan.
Sepanjang acara, tampak puluhan anak yang rumahnya rusak tersapu guguran awan panas Semeru tertawa riang. Tanpa ragu-ragu, mereka bersemangat menyanyi dan mengikuti setiap arahan dari petugas.
”Saya senang ikut acara ini karena lucu. Saya paling suka Si Momon. Lucu,” kata Septia Ananda (11), anak pengungsi asal Dusun Gumuk Mas, Desa Supiturang. Rumah Septia juga terkena paparan abu vulkanik Semeru. Saat ini ia mengungsi di kerabatnya tak jauh dari SDN Supiturang 02.
Tawa anak-anak seperti Septia lah yang selama ini diharapkan para sukarelawan dari komunitas Entertainment Jawa Timur dan Galena Rescue. ”Bagi kami, tawa mereka adalah rezeki. Kami datang untuk menghibur adik-adik ini agar mereka melupakan apa yang mereka alami kemarin dan bisa ceria lagi. Kami tidak bisa memberikan apa-apa selain menghibur mereka,” kata Vicky Firmansyah, si pesulap dari Entertainment Jawa Timur-Galena Rescue.
Bencana erupsi Semeru kali ini lagi-lagi membuktikan bahwa bangsa ini tidak pernah kehilangan orang-orang baik dan tulus membantu sesama. Masih banyak sukarelawan yang mau membantu sesama meski tanpa embel-embel kepentingan di belakangnya.