”Nogo Sui”, Wujud Syukur atas Sungai Klawing di Purbalingga
Delapan belas lukisan karya Chune asal Purbalingga dipamerkan di Galeri Desa KieArt, Purbalingga, Jawa Tengah, 2-7 Desember. Pameran bertema Nogo Sui atau batuan Naga Tua ini adalah wujud terima kasih ke Sungai Klawing.
Oleh
Wilibrordus Megandika Wicaksono
·5 menit baca
Silang silau cahaya berpendar seolah merengkuh sekaligus memuliakan deretan lukisan dominasi warna hijau dan merah. Alunan musik nan tenang menambah syahdu nuansa perdesaan yang sejuk dinaungi rimbunnya pepohonan. Waktu terasa berhenti sejenak, membuai diri ke dalam lorong masa lalu. Imaji pun larut mengurut alur cipratan serta goresan cat yang tersaji abstrak di depan mata.
Setelah sukses menggelar pameran 33 lukisan dari putra-putri Desa Sidareja, Purbalingga, pada Agustus lalu, kini Galeri Desa atau Village Gallery KieArt memamerkan 18 lukisan karya Chune Ebeg Mayong (58). Pameran lukisan tunggal bertema ”Nogo Sui” dipersembahkan sebagai wujud syukur atas berkah melimpah dari Sungai Klawing yang terus mengalir dan memberikan rezeki kehidupan bagi masyarakat Purbalingga dan sekitarnya.
”Pameran saya ini menceritakan tentang warisan Kali Klawing. Kali Klawing itu mewarisi air, ikan, pasir, batu, hingga batu Nogo Sui. Apakah orang-orang yang duduk sini, tidak pernah berterima kasih kepada Kali Klawing. Fondasi dan lantai rumah kan berasal dari pasir Kali Klawing. Pernahkah kita: Wing kamsia ya. Coba kalau tidak ada Kali Klawing, kita harus beli pasir hingga ke Muntilan sana,” papar Chune mengawali kisahnya membuka pameran tunggalnya, di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (2/12/2021).
Ditemani bunyi desir serangga gareng pong, serta cimplung kudapan dari singkong yang manis rasanya, Chune mengisahkan betapa batu Nogo Sui itu pernah memberikannya keberlimpahan harta saat viralnya batuan akik beberapa tahun silam. ”Batu Nogo Sui punya kisah unik untuk saya. Saya beli rumah, beli mobil dari batu Nogo Sui,” kata pelukis senior asal Purbalingga ini.
Namun, seiring berjalannya waktu, bongkahan batu yang memiliki guratan-guratan unik di dalamnya perlahan kehilangan pamornya. Chune berefleksi betapa serakahnya manusia ketika mengirimkan bongkahan-bongkahan batu ke Jakarta dan hanya meninggalkan kenangan juga lubang-lubang tambang.
Salah satu lukisan favorit Chune adalah lukisan yang menyerupai batu martir di mana terdapat tetesan darah Kristus ketika wafat di kayu salib. Di Perancis, batu ini dikenal sebagai ”le sang du Christ” atau tetesan darah Kristus. Di atas kanvas dengan cat dasar hijau, tampak cipratan-cipratan warna merah yang menyerupai cipratan darah.
”Saya bermain Nogo Sui lama. Hampir 3-4 tahun. Saya hafal sekali karakter batu jesper nogo sui. Biasanya warna dasarnya hijau dan ada bercak merahnya. Untuk yang Nogo sui pancawarna biasanya ada warna kuning, biru, hijau, dan merah. Sebagian saya mengangkat warna hijau dan merah karena itu yang paling laku dan mahal,” papar pelukis berambut gondrong ini.
Founder of KieArt Project Gita Thomdean yang mencari banyak referensi terkait keberadaan batu ”Nogo Sui” ini menyampaikan, batuan ini punya ciri hijau tua dan bercak kemerahan karena memiliki kandungan zat besi yang tinggi. Konon tabib di Timur Tengah memanfaatkan batuan ini dengan digiling, dicampur madu dan telur untuk menyembuhkan tumor serta menghentikan pendarahan.
Di atas cat dasar hijau, Chune memainkan cipratan dan goresan cat warna merah secara abstrak untuk mengungkapkan imajinasinya. Ada yang menggambarkan sosok laba-laba berkepala manusia, ada yang berbentuk sosok harimau, ada pula yang berbentuk naga. Konon di kaki Gunung Slamet, terdapat sebuah goa yang berbentuk nogo atau naga dan ini menjadi inspirasi nama sebuah batu. Adapun sui memiliki arti lama atau tua. Dengan demikian, Nogo Sui berarti batuan tua dan diperkirakan pembentukannya butuh waktu lebih dari 5.000 tahun serta berasal dari aliran lahar Gunung Slamet.
Gita menyebutkan, di belahan bumi lain, batu jenis ini dikenal dengan nama The Heliotrope, The Sun Stone, The Bloodstone, The Magical Stone, dan The Martyr Stone, The Stone of Spiritual Warrior, The Stone of Babylon, serta Le Sand Du Christ.
Founder of KieArt Project Slamet Santosa menambahkan, kekeliruan penjualan batu Nogo Sui saat viral beberapa tahun silam adalah karena pencari batu di Purbalingga menjual batu berupa bongkahan ke Jakarta. Lalu setelah diolah di sana, harganya bisa berkali lipat. ”Saat saya ke lapangan, saya menemui petani batu ini ambruk. Tiarap semua. Mesin-mesinnya tidak terpakai sampai berkarat tidak ada proyek,” kata Slamet yang juga berharap ke depan penambangan batu bisa tetap dilakukan secara manual atau tradisional, bukan memakai mesin sehingga merusak alam.
Lewat pameran ini, lanjut Slamet, diharapkan pamor batu Nogo Sui kembali pulih. Pameran lukisan ini dipilih lantaran memiliki story yang kuat dan punya potensi pasar yang jelas. ”Kalau KieArt bikin pameran itu harus punya cerita, ini mau dilempar ke mana, siapa yang mau beli. Apakah Cuma dipajang, difoto-foto saja, sudah. Kalau hanya itu kan hanya cari pamer saja. Padahal, kan ujung-ujungnya kanvas butuh, cat butuh,” kata Slamet yang berencana membawa lukisan ini berpameran di Jakarta pada 9 Februari 2022.
Slamet juga mengkritik kecenderungan pelukis di daerah yang masih berorientasi pada art for mart atau dalam istilahnya seni pasaran. ”Coba sekali-kali ada yang art for art. Jadi punya karakter. Setiap seniman pasti punya ciri khas. Ini yang saya belum menemukan di ciri khasnya itu lho. Kalau tidak pemandangan, gunung, sawah. It’s OK. Tapi punya karakter untuk mengubah teknik. Bali kuat karena tekniknya luar biasa,” tuturnya.
Pada Februari mendatang, Slamet juga akan melibatkan tim karawitan serta kesenian ebeg atau kuda lumping untuk memeriahkan pameran lukisan tunggal Chune di Jakarta. Selain untuk mengemas pameran yang unik, kesempatan itu juga jadi ajang mengenalkan kesenian tradisi dari Desa Sidareja, Purbalingga.
Wujud syukur kepada alam ciptaan dalam hal ini Sungai Klawing diwujudkan oleh Chune bersama KieArt Project lewat pameran lukisan ”Nogo Sui”. Bongkahan batu dari Sungai Klawing kiranya tidak lagi serta-merta diperjualbelikan secara bebas di luar Purbalingga, tetapi juga sudah diolah sedemikan rupa sehingga bisa lebih bernilai dan kian memberi rezeki pada masyarakat sekitar. Namun, jangan sampai keserakahan manusia justru menghancurkan alam sekitar yang telah lebih dulu menghidupi. Sekali lagi, Kamsia Klawing. Terima kasih Klawing.