Kementerian LHK dan Perusahaan Swasta Diminta Reboisasi DAS di Kalbar
Presiden Joko Widodo meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama perusahaan-perusahaan swasta memperbaiki hutan di sekitar DAS Kapuas dan DAS Melawi. Kerusakan areal DAS ikut memicu bencana banjir.
Oleh
NINA SUSILO/EMANUEL EDI SAPUTRA
·6 menit baca
SINTANG, KOMPAS — Presiden Joko Widodo meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama perusahaan-perusahaan swasta besar membuat persemaian sekaligus memperbaiki hutan di sekitar Daerah Aliran Sungai Kapuas dan DAS Melawi, Kalimantan Barat. Upaya ini dinilai akan mencegah banjir yang kerap melanda, seperti yang merendam lima kabupaten selama lebih dari sebulan, November lalu.
Dalam kunjungan kerjanya ke Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Rabu (8/12/2021), Presiden Joko Widodo meninjau lokasi pembangunan tanggul sebagai penahan banjir, menyerahkan bantuan sosial kepada masyarakat terdampak banjir, dan menanam pohon. Presiden didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letnan Jenderal Suharyanto, Ketua Komisi V DPR Lasarus, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, serta Bupati Sintang Jarot Winarno.
Presiden mengatakan, pembuatan tanggul dari geotube yang diisi pasir diharapkan mampu mengatasi banjir dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka menengah dan panjang, penanaman kembali hutan di sekitar Sungai Kapuas dan Sungai Melawi harus dilakukan. Dengan demikian, daerah tangkapan air hujan di sekitar hulu kedua sungai tersebut akan membaik.
Seusai menanam pohon di bekas pertambangan emas yang beroperasi di tahun 1990-an di Sintang, Presiden juga mengatakan, hulu Sungai Kapuas dan Melawi rusak karena pertambangan dan perkebunan.
Oleh karena itu, dalam keterangan pers seusai peninjauan tanggul, Presiden meminta perusahaan-perusahaan swasta besar ikut serta dalam tanggung jawab lingkungan ini bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). ”Saya perintahkan Kementerian LHK serta perusahaan-perusahaan swasta besar yang ada di sini untuk membuat persemaian sehingga perhutanan kembali betul-betul bisa berjalan,” tuturnya.
Penanaman kembali juga diharap bisa dimulai di tempat-tempat lain. Area-area bekas tambang sudah semestinya direboisasi.
Sebelumnya, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menjelaskan, banjir di Kabupaten Sintang terjadi karena curah hujan tinggi serta daerah tangkapan air (catchment area) di hulu Sungai Kapuas dan Sungai Melawi sudah banyak berkurang. Akibatnya, sungai meluap terutama pada titik pertemuan sungai yang padat penduduk.
Oleh karena itu, untuk area terdampak besar, dipasang geobag seperti di pusat ekonomi kota. Hal ini dikerjakan Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan I dan PT Wijaya Karya. Pemasangan geobag diharap mampu menahan banjir pada puncak musim hujan yang diperkirakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika akan terjadi pada Januari-Februari 2022.
Adapun dalam jangka panjang disiapkan desain besar penanganan banjir wilayah Sungai Kapuas dan Melawi dengan mengeruk serta merehabilitasi danau-danau (retarding basin). Berdasarkan data BWS Kalimantan I Ditjen Sumber Daya Air, terdapat lebih dari 50 danau di sepanjang wilayah Sungai Kapuas.
”Kami akan hitung kapasitas tampung danau-danau alami tersebut untuk direhabilitasi. Pada 2021 sedang dilakukan pengerukan tiga danau, dan dilanjutkan dengan tujuh danau pada 2022 sebagai retarding basin. Di sepanjang Sungai Melawi belum ada danau (retarding basin),” kata Basuki pertengahan November lalu.
Selain itu, dilakukan juga kajian, penelitian, investigasi, dan desain untuk pembangunan bendungan di hulu Sungai Pinoh sebagai anak Sungai Melawi. Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Jarot Widyoko mengatakan, pembangunan tanggul akan dilakukan sepanjang 13,2 kilometer di sepanjang wilayah alur Sungai Kapuas dan Sungai Melawi yang terjadi genangan.
”Pembangunan tanggul tersebut terbagi di tiga titik/kluster. Pertama, sepanjang 7,3 km yang akan melindungi area Kota Sintang, selanjutnya sepanjang 3,2 km yang melindungi area Pasar Cina, dan terakhir sepanjang 2,7 km yang melindungi area Keraton. Ditargetkan semua tanggul tersebut selesai Maret 2022, utamanya prioritas yang sepanjang 7,3 km,” ujar Jarot.
Selanjutnya, untuk penanganan jangka menengah, Jarot mengatakan akan melakukan rehabilitasi danau-danau alami di sekitar Sungai Kapuas dan Melawi sebagai kolam retensi. ”Di Sungai Kapuas ada sekitar 35 danau alami, tahun 2022 Ditjen SDA programkan empat danau yang akan direhabilitasi melalui pengerukan sedimentasi. Akan dikerahkan 10 ekskavator amphibi untuk pengerukan danau,” katanya.
Untuk penanganan jangka menengah, akan melakukan rehabilitasi danau-danau alami di sekitar Sungai Kapuas dan Melawi sebagai kolam retensi. (Jarot Widyoko)
Sementara untuk penanganan jangka panjang, Jarot mengungkapkan pada tahun 2022 akan memulai survei, investigasi dan desain (SID) pembangunan Bendungan Sungai Pinoh yang merupakan anak Sungai Melawi. Ditargetkan bendungan dengan rencana kapasitas tampung 30 juta meter kubik sudah mulai konstruksi pada 2023.
Potret kerusakan lingkungan
Sebelumnya, November lalu, lima kabupaten di Kalbar, yaitu Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sekadau, dan Sanggau dilanda banjir. Puluhan ribu warga terdampak. Banjir tersebut juga diduga karena faktor kerusakan alam. Banjir di Kabupaten Sintang merupakan banjir terparah.
Catatan Kompas, berdasarkan data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, dari sekitar 14 juta hektar luas DAS di Kalbar, sekitar 1,01 juta hektat di antaranya dalam kondisi kritis, di antaranya DAS Kapuas. Sejumlah daerah yang dilanda banjir saat ini dialiri Sungai Kapuas.
Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar menduga, kekritisan DAS Kalbar juga akibat berbagai beban izin penggunaan lahan. Di bibir sungai pun ada perkebunan. Kawasan penyangga DAS juga tak luput dari beban izin pertambangan hingga perkebunan.
Kompas beberapa tahun lalu pernah menelusuri Sungai Kapuas di Kabupaten Sintang. Pertambangan emas tanpa izin bahkan hingga ke badan sungai. Tepian sungai banyak yang runtuh dan menimbulkan sedimentasi. Di bibir sungai juga terdapat perkebunan.
Kondisi hutan Kalbar juga secara umum terdegradasi, hal itu tergambar dari luas tutupan hutan yang semakin berkurang. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalbar, pada tahun 1990 luas tutupan hutan Kalbar 7,5 juta ha. Pada 2012 menjadi 6,9 juta ha dan pada tahun 2018 menjadi 5,5 juta ha. Penyebab deforestasi tersebut karena lemahnya tata kelola.
Belum lagi persoalan tata ruang. Menurut Direktur Walhi Kalbar Nikodemus Ale, dalam tata ruang Kalbar, seluas 14,7 juta ha wilayah, terdiri dari kawasan produksi dan kawasan nonproduksi. Kawasan produksi atau APL (area penggunaan lain) berfungsi dibudidayakan atas kondisi potensi sumber daya alam. Artinya, boleh dipakai untuk kegiatan produksi baik investasi dan aktivitas lain.
Dari 14,7 juta ha luas Kalbar, sekitar 6,4 juta ha adalah kawasan produksi yang boleh dilakukan aktivitas ekonomi perkebunan, pertambangan dan sebagainya. Sisanya, sekitar 8,3 juta ha adalah kawasan nonproduksi termasuk kawasan konservasi, hutan lindung dan sebagainya yang harusnya menjadi kawasan strategis.
Konsep tata ruang ini dianggap ideal dan jika diterapkan, setidaknya mampu mengantisipasi bencana. Namun, faktanya, konsep tata ruang ini tidak dijalankan dengan baik. Kawasan produksi dalam konsepnya 6,4 juta ha, tetapi dalam pelaksanaannya di Kalbar sudah dialihfungsikan menjadi kawasan industri hampir menembus angka 13 juta ha.
”Di situlah pertambangan, perkebunan, dan industri-industri di sektor kehutanan. Artinya konsep perencanaan yang sudah dibuat dilanggar,” ungkap Nikodemus.
Dalam implementasi kawasan yang tersisa yang tidak dibebankan izin hanya sekitar 1 juta ha. Sementara itu, sekitar 13 juta ha telah dikuasai kelompok-kelompok investasi pertambangan, perkebunan, dan industri di sektor kehutanan.