Jejak Leluhur Minangkabau di ”Negeri Seribu Menhir”
Gugusan menhir di Nagari Maek, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, menyimpan kisah peradaban masa lampau yang merupakan jejak akar budaya Minangkabau.
Gugusan menhir di Nagari Maek bukan sekadar batu yang dibuat berdiri. Batu-batu itu menyimpan kisah peradaban masa lampau. Arkeolog mengaitkannya sebagai jejak akar budaya Minangkabau.
Di sebuah lapangan sunyi, angin berembus kencang menjelang siang akhir. Dedaunan pohon karet dan pinang di sekeliling lapangan pun bergoyang-goyang. Embusan angin meredam panasnya sinar terik matahari. Ratusan batu tegak membentuk gugusan di lapangan seluas sekitar setengah hektar di tengah kebun karet dan pinang itu akhir Oktober lalu.
Gugusan batu itu adalah menhir di situs Bawah Parit, Jorong Koto Tinggi 2, Nagari Maek, Kecamatan Bukik Barisan. Situs ini berada di perbukitan di pedalaman Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Lokasinya 45 kilometer (km) atau sekitar 1,5 jam via sepeda motor dari pusat Kota Payakumbuh. Sekitar 2 km sebelum situs juga terdapat Batang Maek, salah satu hulu Batang Kampar yang bermuara ke Selat Malaka.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar mencatat ada 374 menhir dan satu dakon di situs yang berada pada ketinggian 350 meter dari permukaan laut ini. Tinggi menhir beragam, mulai dari seukuran diameter kepala anak-anak hingga sekitar 3 meter. Ada pula satu menhir setinggi 4 meter tetapi sudah rebah.
Bentuk menhir itu bervariasi, antara lain menyerupai mata pedang, hulu pedang/keris, persegi, hingga kepala hewan. Bagian paling atas menhir umumnya membengkok dan mengarah ke satu tujuan ke Gunung Sago yang berada di arah tenggara. Beberapa menhir itu memiliki ukiran, seperti motif kaluak paku. Lutfi Yondri (2014) menyebutkan, menhir-menhir di situs ini dibuat dari batu andesit dan batu konglomerat.
”Dulu sebelum dilindungi pemerintah, menhir di sini lebih dari seribu. Banyak tersebar sampai ke luar pagar ini. Namun, karena masyarakat tidak tahu itu batu apa, digunakanlah untuk keperluan fondasi, tempat duduk di rumah, dan lain-lain. Sejak 1985, menhir tidak boleh lagi diganggu,” kata Wike Aprilia, juru pelihara Situs Menhir Bawah Parit, dihubungi dari Padang, Sabtu (27/11/2021).
Sekarang menhir di Bawah Parit menjadi salah satu destinasi yang dikunjungi di Nagari Maek, mulai dari warga biasa, pelajar dan mahasiswa, hingga peneliti. Selama pandemi Covid-19 ini, paling banyak sepuluh orang berkunjung dalam sepekan. Sebelum pandemi, dalam sepekan, biasa puluhan hingga seratusan orang berkunjung.
Negeri seribu menhir
Situs Menhir Bawah Parit bukan satu-satunya situs menhir di Nagari Maek. Di nagari yang berada di tengah Pegunungan Bukit Barisan ini, setidaknya ada 13 titik gugus menhir yang sudah didata dan dirawat oleh BPCB Sumbar. Maka, Nagari Maek pun dikenal sebagai negeri seribu menhir.
”Sebanyak 13 titik itu tersebar di jorong-jorong Nagari Maek. Kalau didata jumlah menhir tiap titik, ada ribuan. Titik dengan jumlah menhir paling banyak berada di Situs Menhir Bawah Parit,” kata Rafki, staf teknis Kelompok Kerja Pemeliharaan dan Pemugaran BPCB Sumbar. Adapun di Limapuluh Kota secara keseluruhan ada 50 titik situs menhir.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, kata Rafki, pernah melakukan penggalian beberapa menhir di Maek pada tahun 1984, 1985, dan 1986 dan ditemukan kerangka di beberapa menhir. Secara umum disimpulkan, menhir di Maek digunakan sebagai tanda kubur. Namun, di tempat lain, ada kemungkinan menhir juga digunakan sebagai tapal batas ataupun monumen peringatan arwah.
Sekarang di Tanah Datar, masih ada semacam tradisi ini. Ketika seseorang meninggal, ada tradisi mencari batu sebagai tanda kubur, seperti di Saruaso
Menurut Rafki, situs menhir juga tersebar di daerah lain di Sumbar, misalnya di Kabupaten Tanah Datar. Walakin, situs-situs menhir yang relatif lebih tua memang kebanyakan berada di Limapuluh Kota, terutama di Maek. Ini terlihat dari arah hadap menhir di Maek yang mengarah ke Gunung Sago atau tenggara-barat laut.
Menhir di Tanah Datar relatif lebih muda, yaitu pada era Islam. Hal ini ditandai dengan arah hadapnya yang sudah berorientasi utara-selatan, arah kuburan sesuai tradisi penganut agama Islam.
”Tidak tertutup kemungkinan tradisi megalit (batu besar) ini tradisi yang berlanjut dan dipakai pada generasi berikutnya. Sekarang di Tanah Datar masih ada semacam tradisi ini. Ketika seseorang meninggal, ada tradisi mencari batu sebagai tanda kubur, seperti di Saruaso,” ujar Rafki.
Guru Besar Arkeologi Universitas Andalas Herwandi mengatakan, ia tidak tahu pasti kenapa menhir paling banyak ditemukan di Maek atau Limapuluh Kota. Walakin, ia memperkirakan, hal ini berkaitan dengan lokasi daerah tersebut yang berada di ketinggian di kawasan pegunungan Bukit Barisan.
Kawasan tersebut, kata Herwandi, memang tempat persebaran tradisi megalitik di sepajang Pulau Sumatera. Di utara, ada Nias, yang juga daerah pegunungan. Di tengah, ada Sumbar sampai ke Kerinci. Di Selatan, ada Sumatera Selatan, khususnya situs Tinggi Hari yang banyak ditemukan menhir dan tradisi megalitik lainnya.
”Kenapa banyak di Limapuluh Kota? Karena memang tempat ketinggian. Bisa jadi tradisi ini disalurkan dari luar, dari daratan Asia. Ini bisa dilihat dari perkembangan alam. Daerah paling dekat dengan daratan Asia itu semenanjung Melayu. Bisa saja Sumatera bagian tengah adalah jalur paling cepat sampai ke Sumatera bagi mereka (pendatang),” kata Herwandi.
Ekskavasi
Santiana (52), pewaris tanah ulayat Situs Menhir Bawah Parit, mengatakan, menhir di tempat itu sudah ada sejak dahulu kala. Walakin, batu-batu ini bukanlah peninggalan nenek moyang kaum Santiana. Menurut dia, menhir ini peninggalan pendatang pertama yang kemudian pindah ke tempat lain. ”Nenek moyang kami pendatang ketiga dan bertahan sampai sekarang,” katanya.
Sebelum ekskavasi, kata Santiana, lokasi ini berupa semak belukar, tempat anak-anak sekitar menggembala ternak dan mencari buah kemunting. Masyarakat baru tahu fungsi dan sejarah batu ini saat dilakukan ekskavasi. Santiana, yang masih SMP tahun 1985, turut menyaksikan temuan kerangka di bawah menhir. Posisi kerangkanya beragam, antara lain terbelintang, duduk, dan kepala menghadap bawah.
Penggalian yang dilakukan Puslit Arkenas yang dilakukan pada 1985 dan 1986 dengan membuka delapan kotak galian menemukan tujuh rangka manusia ras mongoloid (Lutfi Yondri, 2014). Ketujuh rangka itu ditempatkan pada sebuah lubang yang dipersiapkan khusus sebagai liang lahat. Sementara, di satu kotak yang tidak ditemukan rangka masih ditemukan sisa-sisa kegiatan penguburan berupa liang lahat.
Penempatan mayat di dalam lobang dari permukaan tanah bervariasi, antara 125 centimeter (cm) hingga 195 cm dari permukaan tanah. Posisi tiap rangka diletakkan dengan satu pola membujur arah barat laut-tenggara dengan kepala berada di barat laut.
Kompas (6/11/1986) melaporkan, dari sembilan kotak penggalian di situs menhir Bawah Parit, Ronah, dan Koto Gadang di Maek dan situs menhir Belubus oleh Puslit Arkenas ditemukan delapan rangka manusia utuh. Dari analisis paleoantropologl, rangka-rangka itu berkelamin pria dan wanita bercirikan Mongoloid dengan unsur ras Austromelanesoid, berumur 20-45 tahun dengan panjang sekitar 160 cm.
Peneliti Haris Sukendar (1985) memperkirakan, usia tradisi penguburan dan rangka di menhir tersebut sekitar 1.500 tahun lalu (before period/BP). Perkiraan itu dengan membandingkan tipologi dengan data etnoarkeologi seperti di Timor Barat, Sumbar, Flores, Sabu, dan Kei.
Baca juga: Pusat Kebudayaan Minangkabau Diluncurkan
Adapun peneliti Fadhila Arifin Aziz dan Darwin Alijasa Siregar (1997) memperkirakan, berdasarkan tipologi artefak, menhir di Bawah Parit berasal dari masa 1.500-2.500 sebelum Masehi (SM; before Christ/BC). Kepurbaan manusianya, berdasarkan ciri anatomi, 2.000-3.000 SM. Sementara itu, berdasarkan penanggalan kronometrik radiokarbon, rangka manusianya berusia 2.070-2.130 SM.
Masa transisi
Haris Sukendar memperkirakan tradisi penguburan itu terjadi pada masa transisi, antara tradisi megalitik dan pra-Islam (Kompas, 6/11/1986). Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya bekas-bekas benda bekal kubur seperti layaknya suatu penguburan prasejarah.
”Posisi kerangka tertelungkup, kebanyakan membujur arah barat laut-tenggara, tangan tidak sedekap, tetapi terlipat ke arah kepala atau menyilang ke bawah perut,” ujar Sukendar, yang juga ketua tim penelitian menhir di Maek dan Belubus dari Puslit Arkenas.
Lutfi Yondri (2014) menyimpulkan, situs menhir Bawah Parit merupakan situs kubur yang mewakili dua periode budaya. Corak budaya yang dicerminkan oleh variabel kubur yang ditemukan di situs tersebut berada pada masa transisi budaya, yaitu dari tradisi penguburan megalitik dan tradisi penguburan Islam.
Hal tersebut antara lain terlihat pada sistem penguburan yang sudah menggunakan liang lahat sebagaimana lazimnya tradisi penguburan budaya Islam. Adapun ciri megalitik yang masih dipertahankan adalah orientasi mayat dan liang lahat, serta penggunaan menhir sebagai tanda kubur yang mengacu ke arah tenggara.
Yondri pun mengasumsikan, kemungkinan besar masyarakat yang dikuburkan di situs menhir Bawah Parit adalah masyarakat megalitik yang terdesak oleh masuknya budaya Islam ke wilayah Minangkabau pada masa lampau. Sebelum terdesak ke arah pedalaman, terjadi satu kontak budaya satu sama lain sehingga terjadi penerimaan beberapa unsur budaya Islam oleh masyarakat pendukung budaya mengalitik tersebut.
Peninggalan arkeologi (menhir dan tradisi megalitik lainnya) di Limapuluh Kota itu memperlihatkan akar budaya Minang sudah ada sejak zaman megalitik.
Bukti yang mendukung asumsi itu adalah terdapatnya situs di tepi aliran muara Batang Maek di daerah Pangkalan. Situs itu berupa satu kompleks penguburan yang menandakan beberapa periode waktu, seperti tanda penguburan yang ditemukan di situs menhir Bawah Parit, penguburan Islam dengan berbagai bentuk nisan, serta penguburan Islam masa sekarang.
Data lain yang memperkuat asumsi itu adalah adalah penyebutan menhir-menhir di situs Bawah Parit dengan istilah ”batu mejan”. Batu mejan merupakan sebutan lain dari batu nisan di Sumbar, yaitu batu yang didirikan sebagai penanda dari satu proses penguburan.
Fungsi menhir
Menurut Herwandi, selain tanda kubur, menhir juga berfungsi sebagai media untuk menuntun arwah leluhur menuju surga. Tradisi megalitik sangat menghargai dan mengagungkan arwah nenek moyang. Arwah nenek moyang itu dianggap suci dan berada di tempat tinggi. Surga mereka berada di bukit, gunung, atau daratan yang tinggi. Maka menhir sering dijumpai di perbukitan atau daerah pegunungan.
Menhir di Limapuluh Kota, kata Herwandi, jika tidak mengarah ke bukit lebih tinggi di sekitar lokasi, ia akan selalu menghadap ke Gunung Sago, tempat tertinggi di kabupaten itu. Meskipun secara umum kata sago dalam bahasa Minang merujuk kepada biji tumbuhan berwarna merah atau saga, Herwandi menemukan indikasi makna lain dari sago.
”Tahun lalu saya wawancara dengan masyarakat setempat, ada indikasi sago itu adalah perluasan atau penyamaan kata dari sarugo atau surga. Jadi, sago pada gunung ini tidak merujuk ke biji tumbuhan, tetapi sarugo. Dari sarugo menjadi sago. Menhir diarahkan ke puncak gunung, ke surga. Itu orientasi mereka. Makanya, semua menhir selalu dihadapkan ke tempat tinggi atau Gunung Sago,” ujarnya.
Baca juga: Menjaga Kearifan ”Kincia” nan Kian Memudar
Selanjutnya, menhir juga berfungsi sebagai media tempat masuknya arwah nenek moyang ke dunia nyata. Ritual-ritual menghormati nenek moyang selalu berada di sekitar situs-situs menhir. Di Maek, misalnya, ada balai batu tempat penyembahan arwah nenek moyang. Ritual tersebut dipimpin oleh primus interpares atau pimpinan suku, yang diyakini sebagai cikal seorang datuak di Minangkabau.
Selain itu, kata Herwandi, menhir juga menjadi tapal batas wilayah, baik untuk penanda wilayah sakral atau tidak sakral maupun penanda wilayah nagari atau desa.
Akar Minangkabau
Herwandi meyakini akar budaya Minangkabau sudah ada sejak zaman megalitik. Pada beberapa menhir ditemukan hiasan-hiasan. Pola hiasan pada menhir itu erat hubungannya dengan pola hias tradisional Minangkabau. Beberapa pola hias yang ditemukan di menhir antara lain kaluak paku kacang balimbiang dan saik galamai.
”Sampai sekarang kaluak paku kacang balimbiang masih ditemukan di rumah gadang, balai adat, dan masjid. Di Limapuluh Kota, banyak ditemukan saik galamai, sekarang juga masih ada di rumah gadang,” kata Herwandi.
Karakter masyarakat Minang yang religius diperkirakan juga sudah ada sejak zaman megalitik. Itu terlihat dari tradisi megalitik yang sangat menghargai nenek moyang, mencintai surga, dan hidup dengan aturan keagamaan, serta tidak mau melanggar ajar kepercayaan mereka. Begitu pula dengan masyarakat Minang, selain taat beragama, juga selalu menyebut dan mendoakan arwah nenek moyang atau arwah nan tua-tua.
Selanjutnya, karakter egalitarian dan demokratis masyarakat Minang saat ini juga ditemukan pada tradisi megalitik. Herwandi mengatakan, ia banyak menemukan balai batu (stone chair) peninggalan tradisi megalitik yang diperkirakan sebagai tempat bermufakat. Balai batu itu adalah cikal bakal terbentuknya balai adat.
Matrilinealisme yang dianut masyarakat Minangkabau diperkirakan pula sudah ada sejak zaman megalitik. Pada beberapa menhir, misalnya di situs menhir Belubus, Herwandi menemukan simbol-simbol perempuan yang dipahami sejumlah arkeolog sebagai simbol matrilinealisme. Selain itu, di nagari-nagari tua di Limapuluh Kota, situs menhir tersebut adalah tanah ulayat satu suku/kaum yang diwariskan secara turun-temurun kepada perempuan.
”Peninggalan arkeologi (menhir dan tradisi megalitik lainnya) di Limapuluh Kota itu memperlihatkan akar budaya Minang sudah ada sejak zaman megalitik,” kata Herwandi. Namun, tambah Herwandi, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan, terutama terkait makna dan warisan budaya, serta hubungannya dengan masyarakat sekarang.
Sementara itu, kata Santiana, keberadaan menhir di Nagari Maek menjadi kebanggaan bagi masyarakat. Ini menandakan Maek adalah nagari tua yang sudah eksis sejak beribu tahun silam. Walakin, ia berharap ada pembangunan untuk menunjang keberadaan situs menhir sehingga nagari ini tidak lagi menjadi daerah pelosok.