Terkait Ucapan Gubernur NTT, Pemimpin Harus Bersikap Egaliter dan Tak Feodal
Pemimpin daerah di NTT diharapkan membangun relasi egaliter dengan rakyat. Gaya feodal hanya membawa perpecahan. Hal itu mengemuka dalam sebuah diskusi merespons ungkapan Gubernur Viktor Laiskodat, beberapa waktu lalu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Setiap pemimpin, termasuk di Nusa Tenggara Timur, mesti menjaga tutur kata dan tindakan saat berkomunikasi dengan masyarakat. Sikap saling menghargai dan membangun relasi egaliter antara pemimpin dan warga jadi modal utama memajukan daerah. Sebaliknya, sikap feodal bakal berujung perpecahan.
Demikian pandangan yang mengemuka dalam diskusi yang digelar oleh Centra Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Widya Mandira (FISIP Unwira) di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (7/12/2021). Forum diskusi Centra FISIP Unwira secara khusus membahas tentang gaya komunikasi Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat.
Satu pekan sebelumnya, video berisi perdebatan antara Viktor dan tokoh adat di Pulau Sumba viral di media sosial dan berbagai grup percakapan. Perdebatan itu berlangsung dengan tensi tinggi di antara kedua belah pihak hingga Viktor melontarkan ujaran bernada kasar. Publik pun mengkritik gaya komunikasi tersebut.
Perdebatan itu berawal dari rencana Pemprov NTT yang ingin menjadikan lahan seluas 500 hektar di Kabupaten Sumba Timur sebagai tempat peternakan sapi wagyu, jenis sapi premium. Para tokoh adat sempat menolak menyerahkan lahan mereka kepada pemerintah. Mereka menganggap proses pengambilan lahan itu tidak tepat dan mengabaikan hak masyarakat adat.
Dalam diskusi itu, Dekan FISIP Unwira Marianus Kleden mengatakan, ketika berkomunikasi, seorang pemimpin harus menempatkan dirinya sejajar dengan masyarakat. Dengan begitu, dia akan menganggap masyarakat sebagai subyek yang harus dihormati. Di sisi lain, masyarakat akan merasa nyaman berkomunikasi dengan dirinya. Pemimpin tidak boleh menekan warganya.
”Pemimpin itu harus menghormati kebudayaan setempat dan masyarakat setempat. Dia tidak bisa memosisikan dirinya lebih tinggi dari masyarakat. Dia adalah bagian dari masyarakat serta membangun relasi egaliter antara penguasa dan masyarakat,” ungkap Marianus.
Dia tidak bisa memosisikan dirinya lebih tinggi dari masyarakat. Dia adalah bagian dari masyarakat, serta membangun relasi egaliter antara penguasa dan masyarakat. (Marianus Kleden)
Yasintus Runesi, pemerhati masalah sosial yang juga jadi pembicara, memaparkan, dampak dari ujaran Viktor menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat mengecam, tetapi tak sedikit yang mendukung sikapnya. Keterbelahan ini tampak di media sosial hingga ruang perjumpaan nyata.
Ia pun menyarankan agar Viktor fokus mewujudkan janji-janjinya selama kampanye dulu. Sebab, sikap kontroversi semacam ini malah menguras energi. Terlebih lagi pernyataan kontroversi bukan baru pertama kali. Setelah dihujani kritik, pemerintah sibuk melakukan klarifikasi dan pembelaan.
Seperti diberitakan sebelumnya, Staf Khusus Gubernur NTT Bidang Komunikasi Politik Frans Rengka mengatakan, Viktor menerapkan gaya komunikasi yang lugas. Ujaran bernada kasar tidak boleh diartikan sebagai ekspresi kebencian Viktor terhadap masyarakat. ”Viktor mencintai masyarakat NTT,” ujarnya.
Secara terpisah, kepada sejumlah awak media di Kupang, Viktor menuduh ada pihak-pihak tertentu yang ingin menjatuhkan dirinya. Mereka dinilai sengaja menggiring opini publik lewat video itu. Pihak tertentu dimaksud adalah lawan politiknya.
Viktor menegaskan, dirinya punya komitmen untuk membangun NTT, termasuk menjadikan wilayah Sumba Timur sebagai sentra peternakan sapi wagyu. Dengan begitu, ekonomi masyarakat di sana dapat tumbuh dan masyarakat sejahtera.