Potensi awan panas guguran Semeru masih terus ada, Namun, warga nekat bertaruh nyawa untuk mengambil barang berharga. Mereka kini berada di titik nol setelah kehilangan rumah, kebun, bahkan keluarga.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
Senin (6/12/2021) siang, saat Gunung Semeru terlihat tenang, seorang warga terlibat adu mulut dengan polisi di jalan Dusun Kajarkuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. Si bapak itu kesal karena petugas melarangnya menuju kediaman di Dusun Curah Kobokan, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, untuk mengambil harta benda.
Padahal, dia sudah membawa truk untuk mengangkut perabotan rumah, sepeda motor, ataupun ternak yang belum sempat diambil sejak erupsi pada Sabtu (4/12/2021) siang.
Petugas yang berjaga berusaha menerangkan alasannya mengapa ia melarang masuk. Kondisi Semeru kadang tak terduga. ”Pak, kami ini di sini tidak ada untuk merecoki, tetapi membantu, tidak usah marah-marah,” ujar polisi berpangkat komisaris itu.
Namun, warga itu telanjur kesal. Sebelumnya, ia juga sempat menumpahkan kekesalannya kepada wartawan yang sedang duduk menunggu di mobil di jalan desa itu. ”Bapak ini siapa? Oh, wartawan, tidak ada kepentingan di sini, cuma syuting, pergi saja. Saya ke sini enggak boleh sama petugas, padahal barang-barang di rumah banyak yang hilang,” katanya.
Bapak itu tak sendirian, banyak warga lain yang datang dan berusaha kembali ke desa mereka untuk mengambil barang berharga. Saat Kompas berjalan bersama Tim SAR Terpadu yang akan melakukan evakuasi, Kompas banyak bertemu warga Curah Kobokan yang mengambil harta dan ternak. Ada yang sendiri bersepeda motor membawa sangkar dan burung, kulkas, mesin cuci, televisi, kasur, bahkan kambing.
Ada juga warga yang dibonceng oleh petugas Polri membawa kasur, tas berisi pakaian dan selimut, ataupun perkakas dapur dari rumah yang ambruk kembali ke pengungsian. ”Matur nuwun (terima kasih) ya Pak,” kata Sriyanti, warga Curah Koboan, kepada seorang bintara yang akan mengantarnya dengan sepeda motor trail.
Berisiko
Poniman, warga Kajarkuning, mengatakan harus kembali ke rumah untuk mengambil sepeda motor yang tidak sempat dibawa saat sekeluarga menyelamatkan diri sejauh mungkin dari erupsi.
”Saya tahu setiap saat Semeru bisa meletus kembali. Saya tidak nekat ke sini sendiri, lihat-lihat jika ada warga lain, petugas, tim SAR ke sini, sepatutnya kondisi aman,” kata Poniman.
Kembali ke rumah yang atapnya ambrol di saat situasi belum aman memang berisiko. Namun, bagi Poniman, jika sepeda motor bisa diambil dan dikemudikan, akan lebih leluasa dalam pergerakan, misalnya mengungsi ke rumah saudara di kecamatan lain, mencari kebutuhan, dan membantu sesama.
Saya kembali untuk mengecek siapa tahu ketemu bapak.
Ali (38), warga Dusun Sumbersari, Desa Supiturang, juga kembali untuk memberi makan sapinya yang sempat ditinggal begitu saja. Sapi berwarna coklat itu tampak bingung. Ia takut saat orang mendekat. Bahkan, ia enggan melangkahkan kaki saat ditarik oleh tuannya.
Namun, begitu disodori daun dan air, sapi seharga Rp 25 juta itu dengan lahap mengunyah dedaunan. ”Oh, lapar rupanya. Ini minum sekalian,” kata Ali mengambilkan minum. Sapi itu hendak ia bawa ke tempat aman agar tetap bisa bertahan hidup.
Ada juga warga yang kembali untuk mencari sanak saudara. Rusmanto, warga Sumberwuluh, mengaku belum bertemu ayahnya. Saat erupsi terjadi, Rusmanto bersama istri dan anak menyelamatkan diri, tetapi orangtua tertinggal karena mungkin berada di ladang. ”Saya kembali untuk mengecek siapa tahu ketemu bapak,” kata Rusmanto.
Tak terbendung
Menurut Kepala Desa Sumberwuluh Abdul Aziz, sulit untuk mencegah warga tidak kembali. Harta benda dan ternak adalah bagian dari kehidupan mereka. Oleh karena itu, selagi bisa diselamatkan, perlu diambil untuk keberlangsungan hidup. ”Dalam situasi bencana terkadang ada juga orang-orang yang berniat jahat, misalnya mengambil barang orang lain,” kata Abdul Aziz.
Hal senada diutarakan oleh Kepala Desa Penanggal Cik Ono. Balai Desa Penanggal di Candipuro menjadi salah satu lokasi pengungsian warga terdampak terutama dari Sumberwuluh.
”Dampak erupsi begitu luas,” kata Cik Ono. Petugas di lokasi tentu akan kesulitan berjaga di setiap akses menuju dusun-dusun terdampak. Apalagi jika warga amat berkeras ingin memastikan harta yang belum diambil dalam kondisi aman.
Liswanto, Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Semeru, menegaskan, potensi awan panas guguran masih terus ada. Memang, erupsi yang terjadi belum ada yang sebesar pada Sabtu siang lalu. ”Namun, potensinya tetap ada sehingga mutlak perlu kewaspadaan,” kata Liswanto.
Bagi warga yang sudah kehilangan rumah bahkan anggota keluarga, harta yang tersisa sangat berharga. Mereka bisa selamat dari erupsi, tetapi mungkin harus memulai hidup dari nol lagi. Kebun mereka hangus, ternak mereka tak terurus, bahkan mati. Mereka belum mempunyai bayangan mengenai hidup mereka ke depan.
Wajar jika ada warga yang mudah tersulut emosi, bahkan depresi. Dengan kembali ke lokasi bencana untuk sekadar melihat rumah dan mengambil harta tersisa, mereka mengaku lebih tenang ketika berada di pengungsian. ”Setelah seluruh keluarga berkumpul di sini, semua selamat, dan bisa menitipkan ternak juga kendaraan tidak rusak, jadi lega, Mas,” kata Poniran, warga Sumberwuluh di Balai Desa Penanggal.
Lihat juga : Hari Ketiga Pascaerupsi Gunung Semeru
Di sisi lain, petugas tak henti-hentinya mengingatkan warga agar segera meninggalkan rumah dan kembali ke pengungsian. Bahkan, petugas pun membantu warga mengevakuasi barang-barang milik warga yang hendak diselamatkan agar mereka lekas kembali. Mereka menjadi tambatan bantuan saat sesekali Semeru terlihat ”batuk-batuk” dan berasap.