Belum Terdeteksi Anggota Baru dalam Kelompok Teroris di Poso
Meskipun belum ada indikasi anggota baru untuk bergabung dengan MIT di Poso, Sulteng, aparat diminta tetap waspada dengan memperkuat intelijen.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Satuan Tugas Operasi Madago Raya, pasukan untuk mengejar kelompok teroris, belum mendeteksi adanya simpatisan atau anggota baru yang bergabung dengan kelompok teroris di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Bersamaan dengan pengejaran empat anggota kelompok teroris tersebut, aparat memperkuat pencegahan dengan penyuluhan guna memutus rantai terorisme di masyarakat.
Hal itu disampaikan Wakil Kepala Satuan Tugas Humas Operasi Madago Raya Ajun Komisaris Besar Bronto Budiyono saat ditanya terkait perkembangan operasi di Palu, Sulteng, Selasa (7/12/2021). ”Untuk tambahan atau anggota baru yang bergabung dengan empat daftar pencarian orang kami belum ada informasinya. Sampai saat ini masih empat orang itu yang terdeteksi,” ujarnya.
Untuk mencegah warga terpapar dengan terorisme atau bergabung dengan kelompok yang menamakan diri Mujahidin Indonesia Timur (MIT) tersebut, Bronto menyatakan pihaknya memperkuat pencegahan. Pencegahan dilakukan dengan penyuluhan di sekolah, pesantren, masjid, dan kelompok di lingkungan masyarakat.
Penyuluhan dan dialog tersebut dilakukan di desa-desa sekitar wilayah Operasi Madago Raya di Kabupaten Poso, Parigi Moutong, dan Sigi. ”Warga antusias mengikuti penyuluhan,” kata Bronto.
Satuan Tugas Operasi Madago Raya yang terdiri dari Polri dan TNI dibentuk untuk mengejar empat anggota MIT. Sebanyak 1.300 personel tersebar di sejumlah pos dengan tugas pengamanan desa, pengejaran anggota MIT, dan penyuluhan atau pencegahan. Operasi pengejaran terhadap anggota MIT sudah dilakukan sejak 2016 yang waktu itu bernama Operasi Tinombala.
Pada pertengahan September 2021, pemimpin MIT Ali Kalora dan salah satu anak buahnya tewas ditembak Satuan Tugas Operasi Tinombala di Desa Astina, Kecamatan Torue, Kabupaten Parigi Moutong. Keduanya memang bergerilya terpisah dengan empat anggota MIT yang tersisa yang masih terus dikejar sampai saat ini. Anggota MIT bergerilya di hutan pegunungan Poso, Parigi Moutong, dan Sigi.
Kelompok MIT dibentuk pada 2012 oleh Santoso. Ia tewas di tangan aparat dalam operasi pengejaran pada pertengahan Juni 2016. Setelah Santoso tewas, kelompok tersebut dipimpin Basri. Ia lalu menyerahkan diri sebulan setelah Santoso tewas. Terakhir, kelompok itu dipimpin oleh Ali Kalora. Setelah tewasnya Ali pada September lalu, aparat tak menyebutkan lagi pemimpin kelompok tersebut.
Kelompok MIT selama ini terdeteksi masih aktif merekrut anggota atau simpatisan. Pada Februari 2020, misalnya, aparat menangkap dua simpatisan anggota kelompok tersebut (Kompas, Senin, (20/11/2020) hal 11).
Peneliti Lembaga Pengkajian dan Studi HAM Sulteng, Moh Arfandy, menyatakan, meskipun belum terdeteksi memiliki anggota baru, aparat mesti terus meningkatkan kewaspadaan terhadap MIT. Dalam beberapa tahun terakhir, ada perubahan pola perekrutan dan aksi terorisme. Perekrutan dan aksi terorisme cenderung dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil, bahkan lebih sering dari individu ke individu.
”Aparat, terutama bagian intelijen, harus terus diperkuat untuk mendeteksi dini terorisme agar tak meledak menjadi aksi yang terbuka dan frontal. Aparat tentu harus tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia,” katanya.
Keberhasilan operasi bisa diukur dari kenyamanan dan keamanan warga di sekitar daerah operasi dalam memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya. (Moh Arfandy)
Terkait operasi pengejaran MIT, lanjut Arfandy, hal yang tak kalah penting adalah melindungi warga yang beraktivitas di kebun yang berbatasan dengan hutan tempat anggota kelompok teroris bergerilya. Keberhasilan operasi bisa diukur dari kenyamanan dan keamanan warga di sekitar daerah operasi dalam memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Selain menyasar aparat keamanan, anggota MIT selama ini menebar teror dengan membunuh warga yang ditemui di sekitar hutan. Sejak akhir 2014, terhitung 20 orang dibunuh anggota MIT. Teror terakhir mereka lakukan dengan membunuh empat petani Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Poso, pertengahan Mei 2020.
Otniel Papunde (56), warga Desa Kaligamo, Kecamatan Lore Timur, menyatakan dirinya berharap masalah terorisme segera diselesaikan aparat. Warga tak bisa terus-menerus hidup dalam bayang ketakutan akan kehadiran kelompok MIT.
Bronto menyatakan, operasi pengejaran akan terus dilakukan hingga empat anggota MIT ditangkap atau menyerahkan diri. Pihaknya juga tak ingin masalah terorisme di Poso berlarut-larut.
Menurut dia, kendala utama pengejaran terhadap sisa anggota MIT adalah beratnya medan operasi. Wilayah gerilya mereka merupakan pegunungan dengan hutan lebat atau rapat. Mereka telah mengenal dengan baik medan gerilya mereka sehingga mereka tahu ke mana harus menghindar dari aparat.
Namun, hal itu tak menjadi alasan bagi petugas untuk terus mengejar empat anggota MIT. Pasukan selalu siap untuk mengejar dan bertempur dengan anggota MIT.