Komitmen Bali Mengangkat Garam Lokal
Garam lokal dari proses tradisional kesulitan menembus pasar ritel modern karena kurang mengandung yodium dan belum berlabel SNI. Gubernur Bali mencanangkan pemanfaatan produk garam tradisional lokal Bali.
Bertempat di Dusun Sukadarma, Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Selasa (28/9/2021), Gubernur Bali Wayan Koster mengumumkan pencanangan pemberlakuan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemanfaatan Produk Garam Tradisional Lokal Bali. Keputusan Gubernur Bali itu mendapat sambutan positif pengusaha garam lokal di Bali.
Garam lokal yang dihasilkan petani garam dengan proses tradisional di Bali masih kesulitan menembus pasar ritel modern. Hal itu karena garam lokal kurang mengandung yodium dan belum berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI).
Menurut Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed Bali, Karangasem, I Nengah Suanda, garam lokal, atau lebih dikenal sebagai sea salt Bali, mendapat respons dan pasar di luar negeri, selain memiliki pembeli dari kalangan hotel dan restoran di Bali dan Jakarta.
”Kadar yodium pada garam lokal di bawah standar yang ditetapkan pemerintah, yakni, sekitar 40 ppm (parts per million),” kata Suanda saat dihubungi pada Selasa (28/9/2021).
Dengan keluarnya Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemanfaatan Produk Garam Tradisional Lokal Bali itu, garam yang dihasilkan petani garam tradisional Bali diharapkan dapat dipasarkan di toko, pusat perbelanjaan, dan pasar modern lainnya.
Bagi Desi Kristina (40), pedagang garam keliling di Kota Denpasar, garam lokal Bali lebih laris dijual. Pembeli dari kalangan pedagang makanan dan pengusaha kuliner yang menjadi pelanggannya lebih memilih garam lokal daripada garam kemasan yang dijual di pasar ritel atau pusat perbelanjaan.
”Garam beryodium rasanya lebih pahit,” kata Desi ketika ditemui di Kota Denpasar, Sabtu (2/10/2021). Desi menambahkan, garam lokal membuat rasa rujak lebih mantap.
Usaha
Pemilik usaha penggaraman tradisional di Suwung, Kelurahan Pemogan, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar, Komarudin (49), mengungkapkan, ada atau tidak adanya regulasi penggunaan garam tradisional tidak terlalu memengaruhi usaha penggaramannya. Garam lokal buatannya memiliki pasar tersendiri meskipun tidak dijual di pasar swalayan atau supermarket.
”Garam dari sini banyak digunakan di hotel sebagai produk perawatan kolam dan diambil pengelola spa,” kata Komarudin saat ditemui di tempat usahanya di Suwung, Sabtu (2/10/2021).
Lantaran terdampak pandemi Covid-19, pemasaran garamnya juga melorot karena banyak hotel dan usaha spa dan perawatan kesehatan kulit di Bali tidak beroperasi selama pandemi.
Komarudin menyambut baik perhatian Pemerintah Bali terhadap usaha penggaraman tradisional di Bali. ”Saya berharap surat edaran Gubernur Bali tentang garam lokal itu berpengaruh ke pasar,” ujar Komarudin yang mengelola usaha penggaraman sejak 20 tahun silam.
Saat ini yang banyak menjadi sorotan adalah isu mikroplastik. Salah satu garam tradisional dari Bali yang dipastikan bebas mikroplastik adalah garam Pemuteran.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, sentra usaha garam di Bali terdapat di Kabupaten Buleleng, Karangasem, dan Klungkung. Jumlah produksi garam di Bali pada 2020 sebanyak 3.047,8 ton.
Produksi garam di Bali itu dinilai masih belum mencukupi kebutuhan garam untuk konsumsi masyarakat. Adapun untuk kebutuhan konsumsi 4,3 juta penduduk Bali diperlukan garam sebanyak 3.784,32 ton. Selain dikonsumsi, garam tradisional juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan industri, termasuk usaha pembuatan makanan, pindang atau pengasinan ikan, dan untuk spa.
Budaya
Dalam artikel berjudul ”Teknologi Garam Palung sebagai Warisan Sejarah Masyarakat Pesisir Bali” yang dimuat di Jurnal Sejarah Citra Lekha, Volume 4, Nomor 1, 2019, Yety Rochwulaningsih dan tim dari Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang, mengulas perihal proses pembuatan garam tradisional di Bali. Pembuatannya berbasis penguapan dengan panas matahari (solar evaporation) dan diproses dengan menggunakan batang pohon lontar atau palungan.
Dalam artikel tersebut, Yety dan kawan-kawan menyebutkan, memproduksi garam merupakan mata pencaharian utama penduduk pesisir Bali sejak berabad-abad lampau. Garam merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan antara Bali, Lombok, dan Batavia (Jakarta) dalam abad ke-17. Pembuatan garam di pesisir Bali mengenal sistem teknologi produksi garam yang khas, yakni, garam palung.
Made Widnyana, pengusaha garam di Tejakula, Buleleng, menuturkan, garam lokal Bali atau garam palung mengandung sejumlah mineral, antara lain, yodium, magnesium, kalsium, dan potasium. Ketika memberikan testimoninya dalam acara pencanangan pemberlakuan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 17/2021, Widnyana mengakui, kadar yodium secara alami pada garam lokal Bali di bawah standar kandungan yodium pada garam konsumsi.
Meski demikian, ia menyebutkan, garam lokal Bali diakui memiliki cita rasa gurih, kering, dan tidak terlalu pahit. Cita rasa garam Bali berkarakter sesuai wilayah produksinya. Adapun proses pembuatan garam secara tradisional dengan memakai palungan, yaitu batang kelapa atau palem, mengurangi rasa pahit saat proses pengkristalan garam.
Baca juga: Pertaruhan Destinasi ”Kotak Pasir” Bali-Mandalika
Menurut pendiri Javara Culture, Helianti Hilman, garam dengan kadar yodium rendah juga dibutuhkan kalangan masyarakat dengan kondisi kesehatan tertentu dan orang-orang yang menjalani diet khusus. Karena itu, garam tradisional tersebut tetap mendapat konsumen.
”Potensi garam lokal di Indonesia tinggi. Akan tetapi, kendala pemasarannya memang perizinan,” kata Helianti saat ditemui di Nusa Dua, Badung, Jumat (26/11/2021).
Garam ”specialty”
Helianti mengungkapkan, pemasaran garam tradisional dapat diupayakan dengan memproduksi garam specialty atau produk garam tradisional khusus dengan pengakuan Indikasi Geografis (IG). Produk garam bersertifikasi IG itu mengindikasikan garam tersebut juga produk budaya.
Lebih lanjut Helianti mengingatkan, pemasaran garam tradisional juga berkaitan dengan isu lingkungan. Kalangan internasional, sangat mencermati kualitas produk, isu kesehatan, dan lingkungan.
”Saat ini yang banyak menjadi sorotan adalah isu mikroplastik. Salah satu garam tradisional dari Bali yang dipastikan bebas mikroplastik adalah garam Pemuteran,” kata wirausaha sosial itu.
Usaha penggaraman tradisional di Bali dengan metode palungan secara tradisional masih lestari di Bali, tetapi terbatas lokasinya. Beberapa di antaranya terdapat di Amed, Kecamatan Abang, Karangasem; di Tejakula, Buleleng; dan Kusamba di Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Adapun usaha penggaraman di Kota Denpasar, seperti usaha milik Komarudin di Suwung, memakai metode perebusan garam.
Wayan Korta (67), warga Banjar Suwung Batan Kendal, Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, menuturkan, masyarakat di Kota Denpasar pernah mengenal usaha penggaraman, atau dikenal sebagai petasikan, yang berada di wilayah Sanur sampai Kuta. Namun, usaha penggaraman tradisional di Kota Denpasar saat ini sudah jauh berkurang.
”Mungkin tersisa tiga sampai lima usaha penggaraman yang masih bertahan di sekitar Suwung ini,” kata Korta yang juga mengelola usaha pemancingan di Suwung, Kota Denpasar.
Ketika mengunjungi sentra penggaraman tradisional milik Kelompok Sarining Segara di Banjar Batur, Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Rabu (3/11/2021), Gubernur Bali Wayan Koster mengingatkan agar pembuatan garam secara tradisional tersebut tetap mengindahkan kebersihan, higienitas, serta kualitas dan cita rasa yang khas. Agar garam tradisional mendapatkan pasar, maka garam tradisional harus dikemas menarik dan diberi jenama (brand) yang menarik pula.
Baca juga: Seabad Pariwisata Bali Dongkrak Optimisme di Tarikh Anyar